Floresa.co – Mahkamah Agung [MA] mengabulkan permohonan kasasi Gregorius Jeramu, warga adat di Kabupaten Manggarai Timur yang dipenjara karena menjual tanah tanpa alas hak ke pemerintah, kasus yang sejak awal memicu dugaan adanya permainan dalam proses hukum.
Dalam amar putusan perkara kasasi nomor 5047 K/Pid.Sus/2023 pada Kamis, 16 November itu, MA menyatakan pria berusia 63 tahun itu “tidak terbukti melakukan tindak pidana dalam dakwaan penuntut umum.”
MA juga “memerintahkan terdakwa dikeluarkan dari tahanan,” demikian bunyi amar putusan itu seperti dikutip Floresa dari kepaniteraan.mahkamahagung.go.id.
Putusan kasasi ini keluar setelah lebih dari setahun Gregorius berada di balik jeruji besi.
Putusan ini disambut dengan sukacita oleh keluarga Gregorius.
Silvester Jenabut, putra sulungnya mengatakan berterima kasih kepada semua pihak yang telah memperjuangkan keadilan bagi ayahnya.
“Syukur atas perjuangan yang tidak sia-sia ini,” katanya.
“Terima kasih kepada kuasa hukum, media massa, tokoh-tokoh adat, tokoh-tokoh masyarakat, keluarga, Fakultas Hukum UGM, dan semua pihak yang terlibat dengan caranya masing-masing,” katanya.
Fakultas Hukum UGM adalah pihak yang ikut mengajukan pandangan hukum ke MA, yang memihak Gregorius.
Yulianus Soni Kurniawan, salah satu pengacara Gregorius mengatakan dengan putusan tersebut MA “betul-betul melihat persoalan ini dalam kacamata keadilan.”
Selain itu, kata dia, putusan kasasi itu juga “memberi legitimasi kepada kelompok masyarakat yang tanahnya belum bersertifikat.”.
“[Keputusan] ini sejalan juga dengan kebijakan reforma agraria,” katanya kepada Floresa.
“Keputusan kasasi ini menunjukkan bahwa ada pengakuan hak atas tanah masyarakat adat” dan “tidak semena-mena menganggap bahwa tanah masyarakat yang belum bersertifikat sebagai tanah negara.”
Gregorius adalah pemilik tanah di lokasi pembangunan Terminal Kembur di Kabupaten Manggarai Timur.
Bersama Benediktus Aristo Moa, ASN di Dinas Perhubungan dan Kominfo Manggarai Timur saat pengadaan lahan terminal itu, ia ditahan pada Oktober tahun lalu oleh Kejaksaan Negeri Manggarai usai penetapan tersangka.
Kejaksaan menjerat Gregorius karena menjual tanahnya yang belum bersertifikat dan saat melakukan perjanjian pembebasan lahan, ia hanya menggunakan Surat Pemberitahuan Terhutang Pajak Bumi dan Bangunan ;SPT PBB] sebagai alas hak.
Menurut Kejaksaan, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, SPT PBB bukanlah alas hak atau bukti kepemilikan tanah.
Sementara Aristo dinyatakan bertanggung jawab karena tidak meneliti status hukum tanah itu sebelum membuat dokumen kesepakatan pembebasan lahan serta menetapkan harganya.
Pada 29 Maret 2023, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Kupang kemudian memvonis Gregorius 2,6 tahun penjara, denda Rp100 juta subsider kurungan tiga bulan, dan mengembalikan kerugian negara Rp402 juta. Sementara Aristo dihukum 1,6 tahun penjara dan denda Rp100 juta subsider kurungan tiga bulan.
Hukuman Gregorius bertambah menjadi 4 tahun saat jaksa mengajukan banding ke pengadilan Tinggi Kupang, sementara Aristo menjadi 2 tahun.
Keluarga dan pengacara Gregorius kemudian mengajukan kasasi.
Sementara permohonan kasasi Gregorius dikabulkan oleh MA, Aristo ditolak.
Dugaan Permainan
Sejak awal, proses hukum kasus ini menuai protes publik, dengan dugaan permainan mencuat untuk menyelamatkan pihak tertentu.
Dugaan itu muncul sejak penetapan tersangka Aristo dan Gregoris.
Saat Kejaksaan Negeri Manggarai mulai menyelidiki kasus ini pada Februari 2021, sasarannya memang pada dugaan korupsi pembangunan terminal.
Terminal yang direncanakan menjadi penghubung angkutan pedesaan dari daerah di wilayah utara Borong, ibu kota Manggarai Timur, dengan angkutan khusus menuju kota di pesisir pantai selatan Flores ini dibangun bertahap pada 2013-2015. Proyek ini menelan Rp3,6 miliar. Namun, selesai dibangun, terminal ternyata tidak dimanfaatkan. Kondisinya saat ini telantar.
Setidaknya 25 orang diperiksa sebagai saksi, mulai dari mantan Bupati Yoseph Tote hingga beberapa mantan pejabat di Dinas Perhubungan dan Informatika seperti Kepala Dinas Fansialdus Jahang dan Kepala Bidang Perhubungan Darat Gaspar Nanggar.
Kontraktor yang mengerjakan pembangunan fisik terminal itu juga sempat diperiksa, yakni Direktur CV Kembang Setia, Yohanes John, dan staf teknik CV Eka Putra, Adrianus E. Go.
Namun, pada Oktober 2022, Kejaksaan Negeri Manggarai mengumumkan kasus itu diarahkan kepada pengadaan lahan, dengan tersangka Gregorius dan Aristo.
Itu seketika memicu aksi protes dari berbagai elemen masyarakat, yang melakukan rangkaian unjuk rasa di Borong, Ruteng, Kupang, hingga Jakarta. Kelompok aktivis juga menggalang dana publik. Dana terkumpul diharapkan dapat membantu keluarga Aristo dan Gregorius menghadapi proses hukum.
Sebuah laporan kolaborasi Floresa dan Project Multatuli yang dirilis pada September mengungkap dugaan permainan jaksa selama penanganan kasus ini.