Floresa.co – Debat terbuka yang diikuti enam pasangan calon kepala daerah di Kabupaten Lembata mendapat sorotan publik karena dinilai minim menyinggung persoalan utama masyarakat.
Debat yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum [KPUD] Lembata itu berlangsung pada 26 Oktober dengan mengusung tema “Menuju Lembata Maju, Sejahtera, dan Berkelanjutan.”
Peneliti Indonesia Judicial Research Society, Gregorius Yoseph Laba berkata, tema debat pertama itu masih terlalu umum dan tidak dijabarkan dalam topik-topik strategis sesuai kebutuhan serta kondisi masyarakat Lembata.
Yoris, sapaannya, berkata KPUD Lembata mestinya mengelompokkan beberapa isu spesifik untuk dibahas oleh para paslon.
Tema-tema yang menurut Yoris penting untuk dijabarkan, antara lain, persoalan tengkes, kemiskinan ekstrim, penanggulangan bencana dan ketangguhan komunitas, krisis air bersih, serta aksesibilitas dan konektivitas Lembata sebagai pulau kecil.
Selain tema, menurut Yoris, mekanisme debat belum menyediakan umpan balik yang baik untuk “memastikan ada dialog interaktif atau adu gagasan antarpasangan calon.”
“Terlihat hanya pertanyaan oleh satu paslon kepada paslon lain” yang “membuat mereka sulit membandingkan satu gagasan dengan setiap isu strategis yang ditawarkan.”
Debat yang digelar di Aula Koperasi Kredit Ankara itu menghadirkan enam paslon yakni Yeremias R. Sunur – Lukas Lipamatan Witak, Thomas Ola Langoday – Gaudensius Mado H. Noning, Yohanes Viany Burin – Paulus Doni Ruing, Kanisius Tuaq – Muhammad Nasir, Marsianus Jawa – Paskalis Laba Witak, dan Simeon Lake Odel – Marsianus Zada Uayang.
Minim Substansi
Yoris juga menyinggung tema transparansi dan akuntabilitas, integrasi visi-misi dengan dokumen perencanaan pemerintah, serta pemaknaan terhadap otonomi daerah yang luput dari perhatian para paslon.
Transparansi dan akuntabilitas serta reformasi birokrasi dalam penyelenggaraan pemerintah, kata dia, penting untuk disentil para paslon guna “memastikan adanya keterbukaan penggunaan anggaran serta efisiensi dan efektivitas tata kelola birokrasi.”
“Hal ini mendesak untuk konteks perubahan birokrasi Lembata dalam mengatasi persoalan tata kelola birokrasi yang adaptif serta mencegah potensi korupsi dalam internal pemerintahan,” katanya kepada Floresa.
Artinya, tambah Yoris, jika sistem pemerintahan berbasis elektronik diintegrasikan dalam birokrasi, maka potensi penyalahgunaan anggaran dapat diminimalisasi dan akuntabilitas pemerintah dapat tercipta.
Di sisi lain, lanjutnya, para paslon juga belum mendudukkan konsep otonomi daerah, antara lain desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan.
Yoris berkata, para paslon justru menawarkan sejumlah program bombastis yang berbanding terbalik dengan kemampuan fiskal daerah yang terbatas, dengan APBD hanya Rp879 miliar dan target PAD Rp56 miliar per tahun.
Karena itu, menurut Yoris, integrasi visi dan misi yang dicanangkan para paslon mestinya didokumentasikan sesuai dengan perencanaan pemerintah daerah [RPJMD dan RPJPD], serta keterkaitannya dengan dokumen perencanaan pemerintah pusat [RPJMN dan RPJPN].
Untuk mengintegrasikan ini, lanjutnya, roda pemerintahan mestinya berurusan dengan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat, kewenangan bersama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dan kewenangan pemerintah pusat yang dijalankan oleh pemerintah daerah.
Sementara itu, Martinus Laba Uung, aktivis sosial dan peneliti isu kebijakan publik menilai para paslon belum menguasai secara mendalam visi dan misinya, juga tidak mendalami berbagai persoalan yang ada di Lembata.
“Terbukti visi dan misi hanya dibaca, tanpa dikonsepkan dengan baik,” katanya.
Ia berkata, Lembata dengan teritorial kabupaten satu pulau sebetulnya sangat unik untuk didesain dalam perencanaan pembangunan praktis dan pengembangan sektoral yang unik dan indah, misalkan sektor pariwisata, perikanan, peternakan dan pertanian, serta budaya kearifan lokal.
Menurut Martin, hal ini bisa dikembangkan dalam program-program yang bisa berskala regional, nasional bahkan secara global.
Ia juga mengatakan para paslon belum menjelaskan secara mendetail tentang pengembangan berbagai sumber daya di kabupaten itu.
Ia mencontohkan sumber daya ASN, “orang muda Lembata yang luar biasa kreatif,” dan pemanfaatan atau optimalisasi aset daerah yang selama ini terlantar.
Selain itu perbaikan jalan rusak antarkecamatan sebagai strategi peningkatan PAD kabupaten, termasuk tentang “sumber alam yang luar biasa.”
“Banyak pertanyaan ataupun permasalahan di Lembata yang tidak bisa dijabarkan lebih spesifik, sehingga terkesan tidak ada penguasan materi visi dan misi para paslon,” kata Martin.
Air Bersih Seharusnya Jadi Isu Krusial
Benediktus Kia Asan, peneliti dari Nimo Tafa Institut menyoroti kealpaan para paslon membedah postur APBD Lembata dan kontribusinya terhadap upaya peningkatan Indeks Pembangunan Manusia [IPM] di wilayah itu.
Semua paslon, kata dia, hampir tidak menguasai akar masalah yang seharusnya dapat disandingkan dengan kebijakan strategis mereka.
Salah satu yang menjadi sorotan utama adalah pengidentifikasian solusi terhadap masalah air minum bersih yang kini mendesak bagi masyarakat.
Benediktus mencatat para paslon belum mengurai persoalan mendasar itu.
Menurutnya, Perusahaan Daerah Air Minum [PDAM] merupakan “sektor pelayanan publik dengan core bisnis yang berbeda dengan layanan publik lainnya seperti Rumah Sakit dan Pendidikan tinggi yang masuk kategori BLUD [Badan Layanan Umum Daerah] yang sudah pasti bukan ranah bisnis.”
Karenanya, kata dia, core bisnis PDAM adalah peningkatan pelayanan yang berdampak pada peningkatan pendapatan daerah.
Solusi kebijakan anggaran dengan penyertaan modal juga berdampak pada PAD untuk menyelesaikan masalah sesuai konteks di lapangan.
Benediktus juga menyoroti pemberantasan kemiskinan ekstrim dan tengkes, ancaman bencana, relokasi wilayah zona merah bencana, kekerasan seksual pada remaja, serta transparansi dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan pemerintah.
Hal lainnya adalah eksploitasi geothermal Atadei yang hingga kini menuai penolakan warga setempat karena cemas akan dampak buruknya bagi hidup mereka dan lingkungan.
Terhadap isu-itu tersebut, kata dia, pandangan serta gagasan dan program yang ditawarkan para paslon seharusnya bisa muncul agar pemilih dapat teryakinkan untuk memilih atau tidak memilih paslon tertentu.
“Misalnya, bagaimana pandangan paslon terhadap rencana eksploitasi geothermal di Lembata serta keterkaitannya dengan ruang penghidupan masyarakat setempat dan ancaman lingkungan hidup,” kata Benediktus.
“Sebagai arena sosialisasi gagasan calon pemimpin, pekerjaan rumah bagi para paslon untuk memastikan pilkada yang berkualitas, yang menurut Ben, darinya pemilih “bisa menjatuhkan pilihan dengan basis gagasan yang tergambar dari debat publik.”
Bagi Yoris Laba, “seharusnya, program-program yang akan dijalankan terintegrasi dengan arah kebijakan yang telah direncanakan oleh pemerintah pusat dan daerah.”
Ia juga berkata, para paslon mestinya menjabarkan program kerja yang berbasis pada tantangan strategis yang dialami Lembata dan sasaran strategis yang ingin dicapai dalam lima tahun ke depan.
“Paparan visi dan misi belum terlihat jelas dalam program kerja, program prioritas, serta output dan outcome yang ditargetkan akan dicapai,” katanya.
Editor: Anno Susabun