ReportasePeristiwaKasus Kekerasan Seksual di NTT Kian Marak, Mahasiswa di Kupang Gelar Diskusi yang Soroti Tanggung Jawab Bersama dan Kolaborasi Antarelemen

Kasus Kekerasan Seksual di NTT Kian Marak, Mahasiswa di Kupang Gelar Diskusi yang Soroti Tanggung Jawab Bersama dan Kolaborasi Antarelemen

Proses hukum harus berpusat pada perspektif korban, kata narasumber

Floresa.co – Perlindungan perempuan dan anak bukan hanya tugas negara, melainkan tanggung jawab bersama, termasuk dalam menyediakan rumah aman bagi korban kekerasan seksual dan edukasi publik, kata pembicara dalam diskusi yang diselenggarakan oleh komunitas mahasiswa di Kupang.

Karena itu, kata mereka dalam diskusi pada 31 Mei itu, kolaborasi antara pemerintah, lembaga advokasi dan masyarakat menjadi kunci untuk menekan angka kasus kekerasan seksual. 

Diskusi itu bertajuk “Lawan Kekerasan Seksual: Saatnya Perempuan dan Anak Mendapat Perlindungan Nyata,” yang berlangsung secara hybrid dari Mozza Kaffe dan Galery, Desa Penfui Timur, Kabupaten Kupang.

Diinisiasi Mendi Project,  para pembicaranya adalah Maria W. Invilata Watu Raka, dosen Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana dan Margaritha H. Mauweni, Kepala Seksi Tindak Lanjut Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) NTT.

Sementara Marta Muslin, seorang aktivis perempuan di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat hadir secara daring.

Klarita Moren yang menjadi moderator memulai diskusi dengan memaparkan data kasus kekerasan seksual di NTT.

Ia merujuk pada informasi Ketua Pembinaan Kesejahteraan Keluarga NTT, Asti Laka Lena yang menyebut sepanjang tahun lalu terdapat sekitar 1.700 laporan kekerasan terhadap anak di 22 kabupaten/kota dan tingkat provinsi.

Sementara pada tahun ini, hingga Maret, laporan dari tingkat provinsi sudah mencapai lebih dari 140 kasus.

Asti juga menyebut sebanyak 75 persen narapidana di NTT dipenjara karena kasus kekerasan seksual dan 60 persen korban adalah anak-anak. 

Klarita menyinggung beberapa kasus kekerasan seksual yang mencuat sepanjang tahun ini, termasuk kasus yang melibatkan eks Kapolres Ngada, AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja.

Fajar diberhentikan setelah Mabes Polri menangkapnya karena tersangkut kasus pencabulan anak di bawah umur.

Ia dilaporkan melakukan kekerasan seksual terhadap tiga orang anak di bawah umur dan satu perempuan dewasa. Delapan video kekerasan seksual itu kemudian diunggah ke situs porno berbasis di Australia. 

Kasus lain yang disinggung Klarita adalah AR, pegawai bank di Kecamatan Larantuka, Kabupaten Flores Timur yang melecehkan delapan remaja laki-laki. AR yang dikenal dermawan dan kerap aktif dalam kegiatan gereja juga dilaporkan melecehkan 14 remaja lainnya.

Klarita juga menyinggung temuan Kepala UPTD Kesejahteraan Sosial Tuna Netra dan Karya Wanita Kupang dari Dinas Sosial NTT, Yusi T Kusumawardhani yang mengungkap sejumlah pelajar SD hingga SMP diduga terlibat dalam praktik prostitusi di Labuan Bajo.

Kendati tak merinci, Yusi menyebut ada sebuah hotel di Ruteng, Kabupaten Manggarai yang setiap Jumat menampung remaja putri SMP dan SMA, termasuk pelajar SD kelas VI. Ia menyebut anak-anak tersebut diantar menggunakan mobil travel ke sejumlah hotel di Labuan Bajo.

Margaritha Mauweni mengklaim, hingga Mei tahun ini, UPTD PPA telah menangani 241 kasus, termasuk 59 kasus kekerasan seksual terhadap anak. Sementara pada tahun lalu, pihaknya menangani 398 kasus.

Ia menjelaskan, ada  beberapa tantangan dalam penanganan kasus, seperti kesulitan memperoleh identitas korban, terutama dari wilayah terpencil, keterbatasan akses layanan dan kendala komunikasi.

Karena itu, pihaknya terus memperkuat kolaborasi lintas sektor, termasuk dengan lembaga keagamaan, seperti Sinode untuk Gereja Protestan, Majelis Ulama Indonesia dari kelompok Islam dan  Keuskupan Agung Kupang, lembaga Gereja Katolik.

Margaritha menyatakan pihaknya juga menyediakan rumah singgah sementara bagi penyintas di Jalan Beringin, Fontein, Kupang.

Ia menjelaskan, berdasarkan Peraturan Gubernur Nomor 49 Tahun 2022, UPTD PPA memiliki struktur yang memungkinkan penanganan komprehensif, mulai dari pengaduan, penjangkauan korban, pengelolaan kasus, mediasi, hingga pendampingan psikologis dan hukum.

Maria W. Invilata Watu Raka berkata, perlindungan terhadap perempuan dan anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang sudah diperjuangkan jauh sebelum adanya instrumen hukum formal.

Ia menegaskan pentingnya pendekatan sosio-legal agar penegakan hukum tidak hanya terpaku pada norma tertulis, tetapi juga melihat realitas sosial dan budaya yang melatarbelakangi kasus kekerasan. 

Ia mengkritisi sistem peradilan pidana yang seringkali justru “menyulitkan korban” sembari mengingatkan “pentingnya pengakuan terhadap bentuk-bentuk kekerasan seksual non-tradisional” seperti pelecehan seksual verbal dan sentuhan yang tidak diinginkan.

“Perlindungan hukum yang efektif harus melibatkan pemulihan korban dan menjadikan perspektif korban sebagai pusat dalam proses hukum,” katanya.

Diskusi tersebut yang dipandu Klarita Moren (tengah) menghadirkan para pembicara Maria W. Invilata Watu Raka, dosen Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana (kiri) dan Margaritha H. Mauweni, Kepala Seksi Tindak Lanjut UPTD PPA NTT (kanan). Sementara Marta Muslin, aktivis perempuan di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat hadir secara daring. (Dokumentasi Handrisius Grodus)

Sementara Marta Muslin menyoroti adanya kekerasan sistemik terhadap anak yang terjadi secara masif namun tak kasat mata, khususnya di wilayah seperti Labuan Bajo dan Ruteng.

Ia mencontohkan pembiaran negara terhadap praktik anak-anak di bawah umur yang tinggal sendiri di indekos tanpa pengawasan orang tua atau wali.

Menurutnya, hal tersebut merupakan “bentuk pelanggaran terhadap hak pengasuhan anak” sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak.

“Negara tahu dan membiarkannya. Mengapa sekolah dengan sistem zonasi tidak dibarengi dengan fasilitas asrama yang aman?” katanya.

Marta juga mengkritisi pengabaian pemerintah terhadap kasus prostitusi anak di Labuan Bajo yang sempat mencuat ke publik. 

Menurutnya, prostitusi anak merupakan akibat dari serangkaian pembiaran, di antaranya kurangnya pengawasan, lemahnya sistem pengasuhan dan stigma sosial.

Selain itu, kata dia, kondisi ekonomi mendorong anak-anak mengejar gaya hidup kota dengan terlibat dalam prostitusi.

Marta juga menyoroti buruknya sistem perlindungan seperti safe house atau rumah aman yang “tidak aman” karena mudah diakses, termasuk oleh wartawan yang dalam pemberitaannya kemudian membocorkan identitas korban. 

“Banyak tenaga profesional yang tidak menjaga kerahasiaan korban,” katanya. 

“Anak-anak ini curhat ke saya karena tidak tahu harus percaya ke siapa. Bahkan untuk tes HIV saja mereka takut, karena petugasnya bisa saja menyebarkan informasi tentang mereka,” tambahnya.

Marta mendorong adanya reformasi menyeluruh dan pengalihan skala prioritas pemerintah untuk menjamin pengasuhan, pendidikan dan keamanan anak. 

“Kalau kondisi ini dibiarkan, kita tidak sedang menuju ‘Indonesia Emas,’ tapi ‘Indonesia Cemas,’” katanya.

Brogian Ribhato, salah satu peserta diskusi yang juga mahasiswa Fakultas Filsafat Universitas Katolik Widya Mandira berkata, kasus kekerasan seksual yang terus meningkat dari tahun ke tahun menunjukkan bahwa langkah-langkah yang diambil pemerintah belum menyentuh akar masalah. 

Ia menilai akar persoalan kekerasan seksual justru terletak pada sistem sosial dan kultural yang patriarkal. 

Secara hierarkis, sistem ini menempatkan “laki-laki sebagai kelompok kelas pertama dan perempuan serta anak sebagai kelas kedua.” 

Dalam budaya patriarki, perempuan sering dikonstruksikan untuk tinggal di ruang privat yaitu “cukup di dapur”  dan keterlibatannya di ruang publik dibatasi. 

“Pola pikir ini adalah hasil dari pengetahuan yang dianut bersama. Seks berkaitan dengan jenis kelamin biologis, tetapi gender adalah konstruksi sosial,” katanya.

“Jadi, anggapan bahwa perempuan tidak layak terlibat di ruang publik adalah bentuk dari false consciousness atau kesadaran palsu yang dijalankan terus-menerus, tanpa disadari sebagai bentuk kekerasan,” katanya.

Brogian juga menyoroti sistem pendidikan yang tidak membangun kesadaran, tetapi justru menanamkan rasa takut. 

Anak-anak, kata dia, tidak berani berbicara bahkan ketika menjadi korban karena terbiasa dididik untuk tidak ‘melawan’ orang dewasa, sekalipun benar.

“Anak-anak takut bicara karena dibungkam secara budaya. Bahkan rasa malu yang dialami korban muncul karena standar kesucian perempuan masih diukur dari keperawanan. Ini adalah beban stigma sosial yang sangat berat,” katanya.

Ketua Mendi Project, Enji Juna mengaku prihatin dengan maraknya kasus kekerasan seksual yang menimpa perempuan dan anak. 

Padahal, “budaya kita sejatinya menempatkan perempuan dan anak sebagai makhluk yang harus dicintai dengan tulus.” 

“Ini bukan salah satu-dua pihak saja. Ini kesalahan kolektif yang lahir dari budaya hidup individualistik dan kurangnya kepedulian terhadap sesama,” katanya.

Karena itu, Enji menekankan pentingnya pendekatan perlindungan menyeluruh, mulai dari pencegahan, pendampingan hingga pemulihan korban. 

Ia juga mengajak semua pihak, baik pemerintah, aparat penegak hukum, akademisi dan organisasi atau komunitas sosial untuk bekerja bersama mencegah kasus kekerasan seksual.

Handrisius Grodus merupakan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana

Editor: Herry Kabut

DUKUNG KAMI

Terima kasih telah membaca artikel kami.

Floresa adalah media independen. Setiap laporan kami lahir dari kerja keras rekan-rekan reporter dan editor yang terus berupaya merawat komitmen agar jurnalisme melayani kepentingan publik.

Kami menggalang dukungan publik, bagian dari cara untuk terus bertahan dan menjaga independensi.

Cara salurkan bantuan bisa dicek pada tautan ini: https://floresa.co/dukung-kami

Terima kasih untuk kawan-kawan yang telah mendukung kami.

Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

BACA JUGA

spot_img

TERKINI

BANYAK DIBACA