9 Permasalahan Terkait Pencairan Dana Desa

Floresa.co – Sesuai dengan amanat UU No 6/2014 tentang Desa, pencairan dana desa akan dilakukan pada Mei 2015. Namun, pencairan dana desa ini masih dibayangi ketimpangan dan kekhawatiran penggunaan yang tidak tepat sasaran.

Koordinator Advokasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Apung Widadi mengatakan, rencananya pertengahan Mei 2015, sesuai PP No 60 /2014 tentang Dana Desa yang bersumber dari APBN, pada periode pertama ini akan cair sebesar 40 persen, sekitar Rp 8 triliun dari total Rp 20,7 triliun. Sedangkan tahap kedua, sekitar bulan Agustus rencananya akan turun lagi 40 persen dan tahap ketiga akhir tahun sebesar 20 persen.

Dengan jumlah dana desa tersebut, diperkirakan sejumlah 72.944 desa (sesuai Permendagri No 18 /2013) rata-rata akan mendapatkan dana sebesar Rp. 283,77 juta.

“Alokasi ini belum ditambahkan dari Alokasi Dana Desa (ADD) yaitu 10 persen dari Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Bagi Hasil (DBH). Walaupun kecil, dana desa periode ini sebenarnya sudah naik 110 persen dibandingkan dengan alokasi APBN 2015 yang hanya sebesar Rp. 9,07 triliun,” ujar Apung dalam keterangan yang diterima Floresa.co, Senin (4/5/4015)

Apung mengungkapkan, pihaknya telah melakukan assesment di beberapa desa di Sumatra Utara, Lombok Timur, Jawa Timur dan Jawa Tengah. Mereka menemukan beberapa permasalahan.

Pertama, desa, khususnya kepala desa dan perangkatnya belum siap betul terkait dengan pengelolaan dana desa dan pertanggungjawabannya.

Kedua, karakteristik desa-desa di Indonesia sangat beragam dan komplek sehingga ketika formulasi pembagian dana desa disamakan, maka terjadi ketimpangan dan tidak efektif.

Ketiga, sebagian besar kabupaten di Indonesia, selaku penyalur dana desa dari pusat ternyata belum membuat aturan pencairan, pengelolaan dan pertanggungjawaban dana desa. Sehingga dana desa rawan diselewengkan dalam tingkat kabupaten.

Keempat, dari sisi alokasi nasional, dana desa 2015 sebesar Rp. 20,7 triliun sebenarnya belum sesuai dengan besaran konstitusi yaitu 10 persen dari total dana transfer daerah. Jika dihitung seharusnya dana desa ditambah dana transfer daerah akan berjumlah 110 persen. Lihat saja, dana transfer daerah pada APBN-P 2015 adalah Rp. 643,5 triliun. Maka seharusnya alokasi dana desa sudah mencapai 10 persen yaitu Rp. 64,35 triliun. Dengan dana tersebut, dari 72.944 desa di Indonesia maka rata-rata perdesa akan mendapatkan alokasi sebesar Rp. 882,2 juta.

Di sisi lain, alokasi ADD dengan perhitungan 10 persen dari DAU ditambah DBH yaitu Rp 465,3 triliun, maka akan mendapatkan tambahan lagi Rp. 46,5 triliun. Total, desa akan mendapat alokasi Rp. 64,35 triliun ditambah Rp. 46,3 triliun yaitu Rp. 110,88 triliun. Sehingga setiap desa dari 72.944 desa seharusnya mendapatkan alokasi  mencapai Rp. 1,52 miliar. Namun yang terjadi, saat ini desa hanya mendapat kurang lebih 30 persen dari total dana desa sesuai amanat konstitusi.

Kelima, dari sisi alokasi daerah, masih terjadi ketimpangan alokasi. Alih-alih merata, yang terjadi justru kesenjangan alokasi antar daerah, hal ini tercermin dari besaran dana desa di setiap antar kabupaten berbeda-beda. Di Sidoarjo Jawa Timur misalnya, berbeda-beda, desa yang menerima Rp. 38 juta sampai Rp 403,6 juta. Namun di Kuningan, Jawa Barat, besaran dana desa yang diterima setiap desa sebesar Rp. 51,6 juta hingga Rp.916,9 juta. Sementara di Batang, Jawa Tengah, alokasi terkecil desa hanya Rp. 35 juta dan alokasi dana tertinggi Rp. 472 juta.

Keenam, parahnya, ketimpangan alokasi anggaran transfer daerah kadang dimanfaatkan oleh oknum politisi, pengusaha dan elit yang biasanya disebut mafia anggaran. Pengalaman yang ada, Mafia anggaran banyak muncul dalam mengurus alokasi anggaran antar daerah karena perbedaan alokasi (kasus Wa Ode Nurhayati mengurus dana DPPID).

Ketujuh, akuntabilitas akan rendah karena rumitnya pertanggungjawaban dari desa ke kabupaten dan rutin 3 bulan sekali. Sangat teknokratis.

Kedelapan, potensi disalokasi, belanja birokrasi besar di desa. Sehingga mengancam anggaran pembangunan infratruktur. Seperti postur anggaran APBN dan APBD yang mengalokasi belanja birokrasi hingga 50 persen, APBDes juga dikhawatirkan akan banyak dihabiskan untuk belanja birokrasi.

Kesembilan, dana desa berpotensi diselewengkan saat ini bertepatan dengan Pilkada langsung. Pertama, karena daerah saat ini kekurangan dana pelaksanaan Pilkada karena belum teralokasi di APBD. Kedua, dana desa rawan dipolitisasi oleh calon petahana dalam bentuk distribusi alokasi ke desa yang tidak merata dan diarahkan pada desa basis pendukung calon. (Yustin Patris/TIN/Floresa)

spot_img
spot_img

Artikel Terkini