Floresa.co – Badan Otorita Pariwisata (BOP) Labuan Bajo Flores (LBF) mengadakan pertemuan bertajuk “Konsultasi Publik Studi Amdal Rencana Pembangunan Kawasan Pariwisata Labuan Bajo-Flores di atas Lahan Seluas 400 hektar di Kawasan Hutan Bowosie” di Kantor Camat Komodo, Kamis 12 Desember 2019.
Pertemuan ini dihadiri oleh para Kepala Desa dan Lurah, tokoh adat, tokoh masyarakat, ososiasi-asosiasi pelaku wisata seperti HPI, Asita, Askawi dan beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Menariknya, antara pihak BOP-LBF dan peserta forum justru memiliki pandangan yang bertolak belakang terkait pemanfaatan lahan seluas 400 hektar yang terbentang luas di wilayah 4 desa dan keluruhan sekitar kota Labuan Bajo, yang antar lain, Desa Nggorang, Golo Bilas, Gorontalo dan Kelurahan Wae Kelambu. Lahan-lahan itu, digunakan untuk apa yang disebut dengan “Rencana Pembangunan Kawasan Pariwisata Labuan Bajo-Flores”.
Jika dari forum konsultasi publik itu, pihak BOP-LBF bermaksud untuk mengantongi sebanyak mungkin masukan publik dalam rangka memperkuat kerja tim pakar studi Amdal, peserta forum justru mundur jauh ke belakang dengan mempersoalkan master plan pembangunan kawasan pariwisata Labuan Bajo-Flores itu. Tidak saja dari sisi lingkungan, peserta forum juga banyak mengangkat aspek lain yang sangat substansial yang tidak bisa dispelekan begitu saja, untuk dijadikan sebagai bahan pertimbangan lebih lanjut.
Berikut gambaran serba ringkas point-point kritis yang disampaikan peserta forum.
Pertama, meski tidak berkompeten, layaknya tim pakar studi Amdal yang dipakai oleh pihak BOP-LBF, bermodalkan logika akal sehat saja, peserta forum sangat khawatir akan betapa dahsyatnya dampak buruk terhadap lingkungan yang bakal ditimbulkan oleh aktivitas pembangunan itu.
Kepala Desa Golo Bilas mengingatkan pihak BOP-LBF bahwa kawasan hutan Bowosie merupakan penyangga utama sumber air bagi kali wae mese yang mengairi persawahan para petani di wilayah Nggorang, Merombok dan sekitarnya.
Ia khawatir bahwa alih fungsi kawasan hutan bowosie berdampak buruk bagi kali wae mese yang debitnya makin berkurang belakangan ini. Sebagian peserta forum juga dengan keras memperingatkan pihak BOP-LBF bahwa alih fungsi hutan Bowosie menjadi kawasan pemanfaatan pariwisata bakal memperparah situasi krisis air di Kota Labuan Bajo dan sekitarnya.
Apalagi pemanfaatan kawasan hutan ini ditempuh dengan skema APL (Area Pemanfaatan Lain) yang secara drastis mengubah fungsi pokoknya sebagai kawasan hutan.
Kedua, perwakilan Desa Gorontalo dan Desa Nggorang juga mengingatkan pihak BOP-LBF akan potensi konflik yang bakal dipicu oleh rencana pembangunan itu. Kepala Desa Gorontalo mengatakan bahwa sebagian lahan 400 hektar yang diklaim oleh pihak BOP-LBF ini sudah sejak lama ditempati oleh sebagian warga desa Gorontalo. Sebab itu, ia sangat khawatir dengan potensi konflik yang dipicu oleh aktivitas pembangunan itu.
Sementara itu, kepala Desa Nggorang juga mempertanyakan rasa keadilan pemerintah atas pemanfaatan lahan hutan Bowosie. Ia kembali mengangkat cerita beberapa warga desanya yang beberapa tahun lalu ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara karena memotong kayu di dalam hutan Bowosie.
Lantas sekarang atas nama pembangunan, pemerintah melalui BOP-LBF justru melakukan akvitas yang jauh lebih parah merusak hutan Bowosie dengan membangun kawasan pariwisata.
Ketiga, sementara dari pelaku wisata, jika ingin mendatangkan banyak wisatawan ke Labuan Bajo-Flores, strategi yang ditempuh tidak mesti dengan jalan membangun destinasi buatan (hand-made destination). Perwakilan Asita Mabar mempersoalkan kinerja direktur destinasi BOP-LBF yang selama ini tidak pernah berkonsultasi dengan para pelaku wisata terkait pemetaan potensi destinasi wisata di Labuan Bajo-Flores yang bisa dikembangkan.
Bahkan mewakili para pelaku wisata ia mengaku belum mengetahui seperti apa jobdes direktur destinasi BOP-LBF. Karena itu, menurut para pelaku wisata, agenda mendesak yang perlu dilakukan oleh direktur destinasi BOP-LBF adalah banyak berdiskusi dengan para pelaku wisata, berkoordinasi dengan Pemda se-Flores untuk memetakan potensi destinasi wisata alam dan budaya yang belum dikembangkkan. Lagi pula, menurutnya, BOP hadir bukan untuk Labuan Bajo saja, tetapi untuk Flores secara keseluruhan.
Keempat, jika benar-benar ingin mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakat Flores, peserta forum juga mendorng pihak BOP-LBF untuk mestinya lebih konsen pada pengembangan model bisnis pariwisata yang lebih memberdayakan masyarakat setempat. Program-program konkret seperti pengembangan desa-desa wisata, memberdayakan usaha-usaha mikro masyarakat lokal mestinya harus menjadi agenda utama BOP-LBF jika benar-benar ingin mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakat Flores. Sebaliknya peserta forum menilai bahwa alih-alih memberdayakan masyarakat setempat, model pengembangan pariwisata yang memanfaatkan lahan seluas 400 hektar itu hanya akan menjadi corong atau jembatan bagi oligarki untuk dapat menguasai dan mendapatkan akses dan manfaat atas tanah, air, laut, pesisir, pantai dan Pulau-Pulau di sekitar Kota Labuan Bajo.
Pertemuan konsultasi publik studi Amdal itu berujung kata tidak sepakat. Agenda pertemuan berjalan di luar maksud. Jika BOP-LBF sudah bergerak jauh di tahap studi Amdal, publik justru jauh ke belakang mempertanyakan master plan pembangunan pariwisata Labuan Bajo-Flores di atas lahan seluas 400 hektar itu. Peserta rapat pun menolak menandatangani berita acara, meski tim BOP-LBF dengan ngotot meyakinkan peserta rapat bahwa rumusan dokumen berita acara yang sama digunakan untuk seluruh BOP di tempat lain, misalnya di Toba, Sumatera Utara.
Lebih dari itu, publik sekiranya terus memantau seluruh agenda pembangunan pariwisata BOP-LBF. Sebab dengan selalu menyebut dokumen sakti “Perpres No. 32 tahun 2018”, BOP-LBF berpotensi kuat mengabaikan proses-proses yang demokratis dalam merumuskan kebijakan pembangunan pariwisata di Labuan Bajo-Flores
Venan Haryanto, Salah Satu Peserta Konsultasi Publik