Labuan Bajo, Floresa.co – Proyek pembangunan pariwisata yang didesain oleh Badan Otorita Pariwisata Labuan Bajo Flores (BOP – LBF) di atas hutan Bowosie- Labuan Bajo menyingkap berbagai jenis fakta.
Selain skema penghapusan hutan menjadi “kawasan bukan hutan” dan izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan wisata alam (IUPSWA), juga memperlihatkan skema Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal dalam Negeri (PMDA) di atas lahan seluas 400 hektar tersebut, demikian informasi yang diperoleh Floresa.co dari dokumen yang dikeluarkan BOP-LBF baru-baru ini.
Venan Haryanto, peneliti dari Sunspirit for Justice and Peace, lembaga advokasi hak masyarakat yang berbasis di Labuan Bajo menyatakan, fakta tersebut semakin memperlihatkan minimnya komitmen pemerintah terhadap pembangunan berbasis ekologi di wilayah itu.
Pasalnya, pembangunan yang digalakkan oleh BOPLBF tersebut bebas dari tanggung jawab terhadap Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
“Bagaimana mungkin pembangunan yang dilakukan dalam kawasan Hutan dibebaskan dari pertimbangan lingkungan?” katanya kepada Floresa.co Rabu, 14 April 2021.
Menurutnya, menurunkan tanggung jawab AMDAL dari BOP-LBF dalam proyek di atas lahan itu secara tidak langsung mengirim warga Labuan Bajo dan sekitarnya kepada krisis ekologi di masa depan.
Pasalnya, secara ekologi, topografi lahan yang dikalim BOP-LBF itu terletak di area yang lebih tinggi dari Kota Labuan Bajo. “Bagaimana dengan limbah-limbah perusahaan ini?” ujarnya.
Merusak Bentang Air di Labuan Bajo dan Sekitarnya
Doni Parera, Koordinator LSM Ilmu menjelaskan, secara ekologi hutan ini memiliki sejumlah arti penting. Lestarinya hutan yang terletak di perbukitan kota dan kampung-kampung itu membantu mencegah banjir bagi kota Labuan Bajo dan sekitarnya, dan memungkinkan persediaan air bersih bagi warga serta sawah-sawah di sekitar itu.
Hutan yang membentang di beberapa wilayah adat yakni Kampung Lancang, Wae Mata, Kaper, Merombok, Nggorang, Watu Langkas dan Dalong itu merupakan daerah tangkapan air untuk 14 mata air di dalam Kota Labuan Bajo dan sejumlah mata air lainnya di wilayah Nggorang.
BACA: Catatan Tentang Lahan 400 Hektar BOP Labuan Bajo Flores
Air dari sungai Wae Mese, yang mengalir melalui hutan Bowosie, kata Doni, menyuplai sekitar 65 persen kebutuhan air minum bagi warga, kantor pemerintahan dan untuk kebutuhan pada sektor industri seperti hotel dan restran di kota Labuan Bajo.
Namun, hari-hari ini, saat musi kemarau, suplai air dari sumber yang sama untuk irigasi sawah ke wilayah Nggorang, Merombok hingga ke Tompong berkurang bahkan sama sekali tidak ada.
“Aliran dari hulu, hanya sampai ke kolam instalasi penyedotan dan pemurnian air di samping Jembatan Wae Mese,” ujarnya.
Mata air lain yakni Wae Nuwa. Mata air ini berhulu di hutan Bowosie. Menyuplai air ke aliran Wae Mese. Namun, belakangan, saat musim kemarau kering. “Wae mese yang artinya aliran air besar, sudah tidak seperti namanya yang diberikan oleh nenek moyang dulu. Alirannya kecil akibat kerusakan hutan penampung air tanah,” tuturnya.
Doni pun mempertanyakan alasan BOP-LBF yang ngotot mengambil alih hutan seluas 400 hektar itu. Pasalnya, pada Desember 2019 lalu, saat pergelaran konsultasi publik AMDAL di Kantor Kecamatan Komodo, tidak mencapai kata sepakat.
Kala itu, baik pelaku wisata pun masyarakat adat serta aparat desa dari lingkar hutan yang menghadiri konsultasi publik tersebut menolak untuk menandatangai berita acara.
“Menjadi tanda tanya besar bagi kami, mengapa BOP begitu ngotot untuk bangun di lahan 400 hektar dalam hutan lindung itu. Jangan-jangan ada patgulipat dengan investor!”
“BOP seharusnya tau, ada 14 mata air sekitaran Labuan Bajo yang saat ini kritis, bahkan sudah ada yang kering total,” tegasnya.
BACA: Pak Jokowi, Kapan Bubarkan BOP LBF?
“Ketidakadilan” Bagi Pelaku Bisnis Lokal
Perusahaan yang mendapat izin usaha di kawasan itu juga dianugerahi insentif keringanan pajak. Haryanto menilai kebijakan itu ‘tidak adil’ bagi pelaku bisnis lain.
Pasalnya, selama ini pelaku bisnis wisata di Labuan Bajo, baik hotel, restaurant, tour travel yang notabene membangun di atas lahan sendiri dituntut kewajiban membayar pajak. “Bukankah ini sesuatu yang tidak adil?” katanya.
Sampai saat ini, baik BOP-LBF maupun kementerian belum mengungkap kepada publik apa saja perusahaan dan siapa saja pemilik perusahaan yang diberikan izin berusaha di kawasan hutan itu.
“Dokomen Perencanaan BOP yang kami dapatkan mengungkap perencanaan bisnis di kawasan itu,” ujarnya.
Sementara masyarakat lokal sendiri hanya “diajak” bekerjasama” yang dalam bahasa dalam dokumen itu berbunyi, “berkembangnya kapasitas UMKM di sekitar Lahan Otorita untuk diajak bekerjasama.”
Dari sisi jenis-jenis usaha atau bisnis pariwisata, kawasan bisnis pariwisata ini dibagi ke dalam empat distrik yaitu Cultural District, Leisure District, Wildlife District, dan Adventure District,” ujarnya.
Cultural District terdiri dari cultural center + performance center, Hotel + Mice (168 keys), Bajo Gallery, Commercial Village, Family Hotel Resort (17 Bungalow + 96 Kamar). Leisure District terdiri dari High-End Resort (29 Bungalow +126 Kamar), Worship Center + Pilgrimage, Forest Walk.
Lalu, ada juga Wildlife District terdiri dari Cliff Restaurant, Lumina Forest, Interpretation Center, Outdoor Theater, Mini Zoo dan Natural Reserve Galerry. Sementara itu, Adventure District terdiri dari High-End Glamping (Hotel glamour camping 25 keys), Lookout Point, Cable Car Line Length, Elevated Ciycling, Luge Ride, Bike Zipline.
BACA: Formapp Mabar Desak BOP Labuan Bajo Flores Buka Dokumen Amdal Lahan 400 Hektar
“Selain hotel dan resort, terdapat banyak unit bisnis lain di kawasan ini; siapa pengelola dan siapa pemiliknya? Murni swasta (PMA dan PMDM)? Ada ruang untuk BUMN dan BUMD? Dan mengapa dalam dokumen design yang dikeluarkan BOP, tidak tampak ada ruang bagi UMKM milik warga setempat sebagai pemilik dan pengelola?” kata Haryanto.
Ketua Komisi Pariwisata dan Kebudayaan Kevikepan Labuan Bajo, Pastor Silvi Mongko menyatakan, sosialisasi rencana pengembangan pariwisata di lahan yang membentang di sekitar lima wilayah adat itu masih bersifat elitis.
“[Hanya] menyentuh dinas dan lembaga atau kelompok elite, dan belum menyasar kepada masyarakat lokal,” kata Romo Silvi seperti dilansir KLIK LABUAN BAJO. ID beberapa waktu lalu.
Konsep ‘membangun di atas hutan’ atau – hand made destination – itu menurutnya bertentangan dengan citra pariwisata Flores yang berbasis alam dan manusia dan kebudayaannya.
“Rencana pembangunan infrastruktur destinasi tersebut berpotensi menciptakan bencana ekologis bagi masyarakat di Labuan Bajo, dan bisa mematikan sumber-sumber air tanah dan mata air yang ada,” katanya.
Sekalipun tujuan semua proyek pemerintah adalah untuk kemakmuran rakyat, namun, bagi Doni akan menjadi masalah jika mengabaikan prinsip-prinsip ekologi.
“Kalau seperti yang akan dilakukan oleh BOP-LBF, kami berpandangan ini adalah membunuh orang banyak demi keuntungan segelintir orang,” ujarnya.
Ia pun menegaskan agar “BOP harus segera evaluasi ini.”
ARJ/Floresa