Floresa.co – Uskup Ruteng, Mgr Spirianus Hormat memberi karpet merah bagi pemerintah untuk melanjutkan proyek panas bumi di Wae Sano, Kabupaten Manggarai Barat. Hal itu ia sampaikan dalam surat kepada Presiden Joko Widodo akhir bulan lalu.
Namun, keputusan pimpinan tertinggi Gereja Katolik di wilayah Manggarai Raya itu dipertanyakan oleh warga setempat, termasuk terkait klaim-klaimnya dalam surat itu.
Munculnya surat itu, yang kini telah tersebar luas, membuat warga yang tetap konsisten menolak proyek itu menggelar rapat mendadak pada Minggu, 6 Juni.
Di sebuah rumah salah satu warga, di pesisir danau vulkanik Sano Nggoang, mereka berkumpul, begiliran menyimak isi salinan surat Uskup Sipri yang dikirimkan kepada presiden pada 29 Mei.
Klaim Uskup
Dalam suratnya itu, uskup memberitahu presiden bahwa pemerintah melalui Tim Pengelolaan Sosial Proyek Panas Bumi Wae Sano telah melakukan berbagai kegiatan “sosialisasi intensif maupun dialog yang transparan” dengan berbagai elemen, baik Gereja Katolik maupun warga Wae Sano.
Tim yang disebut uskup itu dibentuk sebagai salah satu rekomendasi dari Nota Kesepahaman (Memorandum of Undestanding, MoU) yang ia tandatangani dengan Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi, F.X Sutijastoto pada 2 Oktober 2020. MoU itu disebut muncul sebagai respon atas surat yang dikirimkan Uskup Sipri pada 9 Juni 2020 kepada presiden, yang isinya mengingatkan bahaya dari proyek itu.
Uskup Sipri mengklaim, kini “pihak Keuskupan Ruteng memahami dan dapat menerima penjelasan-penjelasan dari pihak pemerintah tentang persoalan-persoalan yang menjadi keprihatinan masyarakat Wae Sano.”
Ia menambahkan, pihaknya juga mengapresiasi jaminan pemerintah atas keamanan proyek tersebut, di antaranya terkait eksistensi kampung dan situs adat, pembentukan lembaga pengaduan serta komitmen meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Dalam poin lain ia menyinggung soal titik bor alternatif dan akses masuk alternatif untuk mengurangi resiko sosial dari proyek itu, sekaligus membuka isolasi wilayah serta meningkatkan potensi ekonomi dan pariwisata.
Uskup juga memuji Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat yang ia sebut “terlibat proaktif dan kreatif melalui dialog dengan warga.”
Pada poin akhir surat itu, ia kemudian merekomendasikan agar proyek itu ditindaklanjuti.
Proyek itu, sebutnya, “menyediakan energi listrik terbarukan yang ramah lingkungan demi kemajuan bangsa dan wilayah Manggarai Barat dan yang menjamin keselamatan dan kesejahteraan masyarakat Wae Sano serta melindungi dan mengembangkan integritas ciptaan dan warisan kultural setempat.”
Mempertanyakan Klaim Uskup
Surat itu, dengan tembusan kepada Bupati Manggarai Barat, Gubernur NTT, Menteri Keuangan, Menteri ESDM, Menteri KLH dan Bank Dunia tidak menyinggung soal penolakan dan protes yang saat ini masih terus disuarakan warga, termasuk yang disampaikan saat pewakilan dari Keuskupan Ruteng hadir di Wae Sano bersama perwakilan dari pemerintah dan perusahan akhir bulan lalu.
Hal itu membuat surat uskup itu memicu kritikan warga yang hadir dalam rapat pada Minggu itu.
“Kalau ada informasi bahwa kami sudah setuju, itu bohong, itu informasi yang salah. Bisa saja itu klaim pemerintah dan perusahaan karena program ini milik mereka,” kata Stef Abur, salah satu warga.
“Fakta yang ada hari ini, kami semua masih konsisten menolak proyek geothermal. Secara pribadi, saya sangat menolak geothermal karena ini sangat mengganggu ruang hidup saya,” tambahnya.
Yosef Erwin, warga lainnya mengatakan, “sebenarnya asumsi atau penilaian bahwa masyarakat di sini sudah diam atau oke-oke saja atas kegiatan tersebut adalah penilaian yang sangat salah.”
Ia menyinggung bagaimana warga, termasuk ibu-ibu memprotes kehadiran Bupati Manggarai Barat Edi Endi, bersama perwakilan dari perusahan dan Keuskupan Ruteng mendatangi Kampung Nunang pada 22 Mei untuk meninjau titik bor.
“Waktu itu, ibu-ibu dan masyarakat teriak hadang bupati,” katanya.
“Kalau ada kesimpulan masyarakat sudah setuju, itu kebohongnan. Saya berani menyatakan, masyarakat masih menolak, saya berani mempertanggungjawabkan itu,” katanya.
Ia mengatakan, klaim uskup dalam suratnya bukan berarti bahwa proyek geothermal itu akan jadi.
“Itu laporan bahwa mereka sudah melakukan kegiatan dan poin-poin yang ada di dalamnya itu ialah menurut mereka,” katanya.
Rofinus Rabun, warga lain menambahkan, “saya menyesal bahwa ternyata ada oknum tertentu yang tidak bertanggung jawab.”
“Kalau ada yang menyatakan kami sudah setuju, itu kebohongan yang dibuat oleh orang yang tidak bertanggung jawab,” katanya.
Fransiska Asni, ibu dari Kampung Adat Nunang menyatakan akan tetap menolak sekalipun proyek itu dilakukan di luar wilayah garapan mereka.
Pasalnya, kata dia, dari informasi yang beredar ada beberapa warga kampung tetangga, seperti di Lempe yang sudah menerima proyek tersebut.
“Kalau misalnya titik-titiknya dibuat di Lempe, apakah tidak berdampak kepada kami di sini?” ujarnya.
Valentinus Emang, warga lain mengisahkan, pada 13 Desember 2020, ada tim yang menemui tua adat di Kampung Dasak, membawa membawa satu botol tuak dan satu bungkus rokok, meminta agar mereka mengadakan aktivitas di sana pada tanggal 15 Desember.
“Tetapi, kami yang pergi tolak waktu itu sehingga kegiatan mereka batal,” katanya.
Jadi, jelasnya, “kalau ada pernyataan bahwa masyarakat antusias menerima, itu bohong,”
Sementara Patris Pen, warga lainnya meminta agar tidak lekas percaya seolah-seolah semua warga setuju dengan proyek itu.
“Saya sampaikan siapapun yang datang untuk membujuk saya, presiden sekalipun, saya tidak takut, saya tidak mundur satu langkah, saya tetap tolak,” katanya.
Pengabaian terhadap suara-suara penolakan mereka yang tidak diakomodasi dalam surat Uskup Sipri, membuat warga merasa bahwa Keuskupan Ruteng tidak lagi menjadi suara bagi mereka, dan lebih memilih berada di pihak perusahan dan pemerintah.
“Bukankah seorang gembala ketika seekor dombanya hilang, meninggalkan 99 harus pergi mencari yang satu ekor,” kata Yoseph Erwin.
“Bukankan duka umat adalah duka gereja,” tambahnya.
“Doa Bapa Kami Orang Wae Sano”
Sementara itu, di media sosial surat dukungan Uskup Sipri atas proyek itu telah direspon beragam, sebagiannya dalam bentuk satir, karena menganggap Keuskupan Ruteng sudah tidak lagi menjalankan peran profetisnya.
Salah satu yang sedang viral adalah modifikasi “Doa Bapa Kami” menjadi “Doa Bapa Kami Orang Wae Sano.”
Dalam doa itu, “Bapa Kami yang ada surga” diubah menjadi “Bapa kami yang ada di Ruteng,” dan memintanya agar “Jangan ada kehendakmu (dan kepentinganmu) di atas bumi Wae Sano ini seperti di dalam MoU itu,” merujuk pada MoU antara Keuskupan Ruteng dengan Dirjen EBTKE.
Gambar dengan latar belakang Danau Sano Nggoang yang berisi doa kini ramai dibagikan di Facebook.
Informasi yang diperoleh Floresa.co, warga Wae Sano berencana memberi tanggapan terhadap surat Uskup Sipri, lewat sebuah surat terbuka, yang juga akan dikirimkan kepada Presiden Joko Widodo, dengan tembusan kepada pihak-pihak yang disebut dalam surat uskup.
Tentang Proyek Wae Sano
Proyek di Wae Sano merupakan bagian dari upaya pemerintah memaksimalkan potensi geothermal. Menurut Badan Geologi, potensi geothermal di Indonesia sebesar 23,9 Giga Watt (GW) dan baru 2.130,6 MW (8,9%) yang dimanfaatkan.
Sejumlah pulau menjadi sasaran proyek ini, termasuk Flores, yang melalui Surat Keputusan Menteri ESDM Nomor 2268 K/30/MEM/2017 ditetapkan sebagai Pulau Geothermal, di mana ada sekitar 20-an titik yang sedang dan akan dieskplorasi.
Di Wae Sano, proyek ini dikabarkan dikerjakan oleh PT Sarana Multi Infrastruktur dan belakangan muncul lagi nama perusahan baru PT Geo Dipa Energy.
Penolakan warga selain karena lokasi yang berdekatan dengan ruang hidup mereka, baik kampung maupun kebun mereka, juga dipicu kekhawatiran terkait potensi bencana.
Wilayah Wae Sano sudah lama ditetapkan sebagai titik merah oleh Badan Penanggulangan Bencana Kabupaten Daerah Manggarai Barat karena menjadi sumber bahaya gempa bumi.
Silahkan saksikan juga video berikut, yang berisi alasan warga menolak proyek geothermal Wae Sano:
FLORESA