Oleh: ERNEST L. TEREDI, Kordinator Deputi Penelitian Anamnesis Indonesia
Poco Leok. Ia sebuah tempat di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur dengan kontur di kelilingi gunung-gunung yang bulat. Poco berarti hutan dan leok berarti dikelilingi.
Poco Leok, melampaui kehidupan. Jejak historis, dari lembah Poco Leok tersisa artefak-artefak kehidupan masa lalu.
Hanya ada satu aliran sungai keluar dari Poco Leok ke arah selatan dari berbagai anak sungai yang ada. Wae Wara, namanya.
Secara antropologis, sosial, ekonomi dan politik, setiap kampung di Poco Leok selalu berkait kelindan antara yang satu dengan lainnya. Jejak ini jadikan Poco Leok sebagai montase. Ia lanskap sangat menarik dan memikat hati setiap insan manusia.
Dalam perkembangannya, kesatuan Poco Leok teradministrasi oleh negara. Keberagam entitas, lalu terpisah dalam tiga desa, yaitu Desa Lungar, Mocok dan Golo Muntas. Semua itu di bawah domain wilayah administrasi Kecamatan Satarmese.
Berdasarkan pengakuan beberapa tokoh adat, sejak 1980-an, sudah ada ahli geologi datang untuk meneliti isi perut bumi Poco Leok. Intensitas ini akhirnya terjawab dalam satu dekade belakangan. Banyak ahli dan peneliti datang dari berbagai institusi yang kerja sama dengan pemerintah. Tujuannya, sosialisasi pengeboran pengambilan sampel untuk geothermal.
BACA: Ruang Hidup Orang Wae Sano Terancam Proyek Panas Bumi
Titik-titik pengeboran pengambilan sampel ini mempertegas beberapa kajian bahwa Pulai Flores merupakan daerah vulkanik. Di dalamnya ada 13 gunung dengan sekurangnya lima gunung api yang merupakan lapangan panas bumi, (Hartono, 2010).
Poco Leok, bagian dari jalur gunung api yang di bawahnya menyimpan kandungan panas bumi.
Dalam citra satelit, Poco Leok terutama di Desa Lungar, memiliki potensi panas bumi cukup besar. Kalau PLTP Ulumbu berada di sudut elevasi dengan ketinggian 650 meter, dengan potensi mencapai 100 MW, Desa Lungar yang berada dalam sudut elevasi dengan ketinggian 1.022 meter, memiliki potensi sumber panas bumi besar juga, (Handoyo & Mychelisda, 2016, et, Sambodo, Negara dan Fuady, 2016).
Keresahan Warga
Gelombang kehadiran pengambilan sampel ini sungguh meresahkan warga. Awal 2021, saya pernah terlibat mengikuti sosialisasi Justice Peace and Integration of Creation (JPIC) Keuskupan Ruteng di Kampung Tere dan di Aula Stasi Lungar. Juga pernah menghubungi beberapa orang tua untuk hadir dalam sosialisasi JPIC SVD di Kampung Bea Nanga.
Sebagai sebuah sosialisasi, pendekatan rational choice jadi penekanan utama. Mereka menjelaskan dampak buruk dan baik dari pengeboran geothermal. Suatu gerakan yang baik, mengingat sudah menjadi kewajiban bahwa Gereja harus bisa menyadarkan umat manusia agar dapat melihat alam sebagai the suffering others yang menuntut untuk diperlakukan adil juga, (Sumurah, 2014).
Saat sosialisasi JPIC Keuskupan di Kampung Tere, keresahan warga itu hadir dalam berbagai cerita. Misal, ketika sosialisasi persiapan pengeboran, beberapa tokoh adat, pemuda dan perempuan tidak dilibatkan. Saat pengeboran di Tanggong, ada satu pemilik kebun batang pisangnya dipotong tanpa pemberitahuan.
Warga juga takut hal-hal yang tidak etis secara kosmologi bagi orang Manggarai. Seperti pengeboran dekat wilayah kuburan. Nanti, kuburan digali untuk dipindahkan. Juga bagiamana dampak pada kerusakan lingkungan hidup, seperti limbah cair dari fluida panas bumi– terdapat zat kimia yang terkandung dalam limbah cair arsen (As)– bisa saja kondisi di atas baku mutu dan merusak kadar air.
Saat sosialisasi JPIC Keuskupan di Aula Stasi Lungar dihadiri tokoh dari beberapa kampung adat. Keresahan warga juga memuncak, ketika memulai menceritakan hal-hal yang tampak, seperti di Ulumbu, daerah yang dekat lembah Pocoleok , sudah terjadi kerusakan atap rumah warga.
Dari teman-teman yang bergerak di bidang pariwisata menyatakan, di Poco Leok ada titik-titik wisata yang strategis dan menarik. Seperti Golo Mompong, memiliki meriam zaman kedaluan, Cunca Munggis, Cunca Niki, Cunca Por. Lalu, air panas di Wae Wara, watu meja (batu dengan model seperti meja sekitar berukuran 6×6 m).
Mereka mengatakan, rencana pengeboran geothermal akan merusak perkembangan pariwisata. Pengalaman di beberapa tempat di Indonesia, pariwisata tidak akan pernah bisa menyatu dengan geothermal, tambang, atau sejenisnya.
Apa yang menjadi keresahan warga bukan karangan. Ia fakta sosial. Warga resah karena sudah tak dianggap sebagai warga negara. Dalam arti status sebagai warga negara cenderung terabaikan dalam proses perencanaan pengeboran geothermal.
BACA: Gereja Keuskupan Ruteng dan Geothermal Wae Sano
Untuk melihat pengabaian itu bisa dilacak ketika ada sosialisasi pengeboran pengambilan sampel, tidak semua tokoh pemuda, adat dan perempuan terlibat.
Yang terlibat hanya beberapa tokoh dan pemilik tanah yang akan dibor untuk kebutuhan sampel semata.
Dalam tinjauan kritis, upaya-upaya pengabaian seperti ini sebagai teknikalisasi permasalahan (Li, 2012). Dalam arti, para perencana dan pembuat kebijakan, sengaja meringkaskan persoalan. Manifestasi dari meringkas persoalan dengan tidak melibatkan banyak tokoh dari berbagai partikular politik.
Keburukan dari pengabaian ini adalah mem-framing masyarakat dalam kerangka depolitisasi. Depolitisasi merujuk pada, pola, mekanisme dan cara untuk mengapolitiskan masyarakat. Artinya, pembangunan di atas logik yang tidak melihat masyarakat sebagai subyek pembangunan itu sendiri. Sederhananya, depolitisasi ini bermakna sebagai rekayasa gagasan dalam mematikan agensi subyek warga negara, (Haryanto, 2017).
Singkatnya, apa yang menjadi keresahan warga bisa diperjelas dalam beberapa poin. Pertama, keresahan itu karena sebagai warga negara tidak dilibatkan dalam rencana pengeboran geothermal.
Kedua, keresahan juga muncul karena hak dan harga diri secara politik dan kultural terabaikan. Ketiga, keresahan juga muncul karena warga negara sudah cerdas dan sadar, bahwa kalau ingin merencanakan sesuatu, penting mendebatkan dan mendiskusikan secara bersama.
Dorong Gerakan Kolektif
Keresahan ini sebagai respon dari bentuk default atau kelalaian negara dalam perencanaan pengeboran geothermal. Untuk itu, mendesak dan genting keterlibatan gerakan lintas partikular seperti institusi gereja, masyarakat sipil dan lain-lain agar mendampingi warga.
Keterlibatan juga harus bersifat asosiatif dan kolektif atau harus ada kerja kolaborasi dalam advokasi warga. Tujuan politik advokasi ini, pertama, membentuk dan meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap pembangunan dari pengeboran geothermal.
Kedua, mendorong setiap partkular masyarakat agar mencari common ground pemahaman bersama – dengan misi membentuk upaya-upaya alternatif.
Dengan demikian, keresahan yang masih berserak ini bisa disatukan dan jadi kekuatan besar. Kekuatan itu sebagai mantra keterlibatan penuh masyarakat dalam agenda selanjutnya dari pengeboran geothermal di Poco Leok.
***
Tulisan ini sebelumnya dipublikasi di mongabay.co.id. Kembali dimuat di sini untuk kepentingan edukasi.