Ledakan Berulang PLTP di Sumatera Utara Memperkuat Penolakan Komunitas Lingkar Geothermal di Pulau Flores

Peristiwa ledakan di PT Sorik Merapi Geothermal Power (SMGP) di Kabupaten Mandailing Natal itu terjadi pada 27 September 2022. Ledakan yang memicu kebocoran gas hidrogen sulfida (H2S) itu membuat 87 orang warga dilarikan ke rumah sakit, menurut data Jaringanan Advokasi Tambang (Jatam).

Floresa.co – Ledakan yang memicu kebocoran gas beracun yang lagi-lagi terjadi di sebuah Pembangkit Listrik Panas Bumi (PLTP) di Provinsi Sumatera Utara terus memperkuat sikap sejumlah komunitas lingkar proyek geothermal di Pulau Flores untuk menolak pengembangan energi yang kerap diklaim ramah lingkungan itu.

“Pengalaman tak harus dialami oleh diri sendiri, bisa juga dari orang lain dan tempat lain,” ungkap Erik Riyadi, pemuda asal Kampung Tere, Poco Leok di Kabupaten Manggarai.

Poco Leok merupakan daerah yang menjadi target pengembangan PLTP Ulumbu yang berada di dekat kampungnya di Desa Wewo.

“Flores ini pulau yang ukurannya kecil, kalau di setiap tempat ada PLTP, maka bukan tidak mungkin akan terjadi kerusakan parah nantinya,” kata Erik yang selama ini mengaku sering berdebat dengan pihak perusahan, peneliti dan konsultan yang secara intens mengunjungi kampungnya untuk melakukan survei pengembangan PLTP Ulumbu.

Peristiwa ledakan di PT Sorik Merapi Geothermal Power (SMGP) di Kabupaten Mandailing Natal itu terjadi pada 27 September 2022. Ledakan yang memicu kebocoran gas hidrogen sulfida (H2S) itu membuat 87 orang warga dilarikan ke Rumah Sakit, menurut data Jaringan Advokasi Tambang (Jatam).

Seorang pemuda asal Kampung Mori, Poco Leok yang tak mau disebutkan namanya menegaskan bahwa di Poco Leok tidak boleh ada penambangan panas bumi.

“Meskipun ada orang-orang tertentu mendukung, tolong jangan egois, karena kampung-kampung di Poco Leok berdekatan dan berkaitan satu sama lain,” katanya.

“Ini juga yang harus dipikirkan oleh negara, bahwa meskipun ada orang yang memberi sejengkal tanahnya untuk penambangan panas bumi, tapi harus ingat resiko orang lain yang berdekatan. Karena bencana itu tidak mencari pemilik tanah saja, itu bisa bias ke wilayah-wilayah lain,” tambah pemuda itu.

Reaksi serupa juga datang dari warga lingkar geothermal yang lain di Pulau Flores.

Toni Anu, warga lingkar proyek geothermal Mataloko di Kabupaten Nagada mengatakan “kami tentu prihatin dengan saudara kita di Mandailing Natal, makanya kami di kampung Doka, Desa Radabata, Kecamatan Golewa, Ngada sedang berjuang untuk menolak pengembangan panas bumi PLTP Mataloko yang eksis sejak 1998 beroperasi, tapi gagal total.”

Seng rumah warga di sekitar WKP Mataloko rusak akibat semburan gas H2S. (Foto: Tribunnews).

“Malapetaka bagi kami akan bertambah apabila pengembangan PLTP Mataloko itu beroperasi,” ungkap Toni.

Tidak hanya gagal dimanfaatkan, proyek PLTP Mataloko di Kabupaten Ngada-NTT juga telah menyebabkan kerugian bagi masyarakat setempat.

Proyek yang telah dimulai pada tahun 2002 ini telah menyebabkan kebocoran berupa semburan lumpur dan gas panas—yang memberi banyak dampak buruk seperti atap rumah warga berkarat dan rusak, hasil komoditi menurun drastis, banyak lahan tak produktif lagi, hingga kesehatan warga terganggu—terutama infeksi saluran pernapasan akut (ISPA).

Bukan Kali Pertama Terjadi

Ledakan gas H2S serta bencana lain serupa pada PLTP di Indonesia bukan baru kali ini terjadi.

Mengutip data dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) di PLTP Sorik Merapi telah terjadi enam kali kebocoran gas H2S yang terjadi hanya dalam rentang dua tahun terakhir.

Kebocoran gas H2S di PLTP Sorik Merapi pada 25 Januari 2021 lalu menyebabkan lima orang warga meninggal dunia serta puluhan warga lainnya juga dirawat di Puskesmas.

Tak lama setelah itu, tepat pada tanggal 14 Mei 2021, ledakan dan kebakaran juga terjadi di PLTP itu yang berjarak hanya 300 meter dari pemukiman warga. Akibat kejadian tersebut, warga sekitar harus mengungsi hingga api bisa dipadamkan.

Selama tahun ini, pada 6 Maret 2022, kebocoran gas H2S di PLTP Sorik Merapi kembali terjadi, menyebabkan 58 warga harus dilarikan ke rumah sakit karena mengalami mual, pusing, muntah hingga pingsan.

Sebulan setelah itu, tepat pada 24 April 2022,  semburan lumpur panas setinggi lebih dari 30 meter disertai dengan bau gas yang menyengat terjadi di rig pengeboran panas bumi PT Sorik Merapi.

Selain 21 warga terpapar gas beracun, ledakan ini juga menyebabkan sawah-sawah warga sekitar terendam lumpur.

Kebocoran pipa gas juga terjadi di PLTP Dieng Jawa Tengah pada 12 Maret 2022. Kejadian ini menyebabkan  satu orang meninggal dunia dan delapan orang yang lain dirawat di Rumah Sakit.

Tuai Kecaman Pemerhati dan Aktivis

Kejadian beruntun ledakan di PT Sorik Merapi menuai tanggapan yang berbeda dari pemerintah dan para pemerhati serta aktivis.

Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (KESDM), melalui Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) mengungkapkan bahwa kejadian ledakan di PLTP Sorik Merapi semata terjadi karena maloperasional dari pihak perusahaan.

Berbeda dengan klaim tersebut, Melky Nahar, Koordinator Jatam mengatakan “di luar Indonesia, pemerintah dengan berani mengatakan secara jujur jika bencana alam seperti gempa bumi itu diakibatkan oleh pembangunan pertambangan panas bumi, salah satu contohnya di Jepang.”

Dengan kejadian beruntun di Mandailing Natal, ia mendesak Menteri ESDM untuk segera mencabut permanen izin PT. SMGP, melakukan penegakan hukum dan pemulihan atas seluruh kerusakan yang terjadi.

Kritik serupa juga pernah dilayangkan oleh Hendro Sangkoyo dari Sekolah Ekonomi Demokratik.

Merespon kejadian kebocoran gas H2S di PLTP Sorik Merapi pada 25 Januari 2021, ia mengkritik cara pemerintah menjelaskan kebocoran gas H2S itu sebagai semata resiko sebuah industri.

“Kasus ini memang akan bisa dibingkai, baik oleh media, pengurus urusan energi, atau kantor-kantor negara lainnya, sebagai, misalnya, ‘kejadian luar-biasa,’ iini beresiko, tidak ada industri yang tidak beresiko,’” jelas Hendro.

Selain itu, menurutnya pemerintah juga kerap memaafkan kejadian seperti ini semata demi kepentingan umum bahwa “korban, apa boleh buat, tak terhindarkan,  tetapi, ini untuk kepentingan umum yang jauh lebih besar, untuk pembangunan, untuk kepentingan nasional.”

Terkait dengan itu, ia menegaskan agar publik benar-benar mempertanyakan klaim energi terbarukan dari PLTP.

Kejadian pada tanggal 25 Januari 2021, menurutnya,  bahwa pembangkitan listrik dari ekstraksi panas bumi tidak mungkin memenuhi semua hal-hal yang ditunjukan oleh pemerintah.

“Tidak mungkin kita kemudian, karena dikatakan baik, kita harus terima. Kita ini bagian dari satu bangsa dan negara yang merdeka. Jadi, kita mesti mengurus betul-betul urusan kita sendiri, 270 juta orang Indonesia, yang butuh dijamin keselamatannya”.

Suara Kritis Warga Terus Bermunculan di Flores

Pengembangan geothermal sedang digalakkan pemerintah di daratan Flores, menyusul penetapan pulau itu sebagai Pulau Geothermal pada 2017.

Berseberangan dengan klaim-klaim pemerintah terkait proyek ini, suara kritis warga juga makin kuat.

Di Desa Wae Sano, Kecamatan Sano Nggoang-Kabupaten Manggarai Barat warga terus kukuh menolak pembangunan geothermal yang mengancam ruang hidup mereka.

Suara penolakan pun telah dinyatakan secara langsung saat kunjungan Bank Dunia, selaku pihak pendana proyek tersebut ke Desa Wae Sano pada 9 Mei 2022.

Sementara itu, kendati telah beroperasi sejak lama, PLTP Ulumbu di Kabupaten Manggarai mulai menuai sorotan warga.

Perlengkapan yang dipakai PT PLN untuk survei perluasan proyek PLTP Ulumbu disita oleh warga di Kampung Mocok dan dibawa ke rumah adat mereka. (Foto: dok. Ernest Teredi)

Selain menyoroti dampaknya bagi ruang hidup warga, Yonas Boa, direktur Anamnesis Indonesia menjelaskan, PLTP Ulumbu itu juga tidak banyak memberikan kontribusi bagi warga sekitar.

Ia misalnya menyoroti jalan lintas Ponggeok sampai Ulumbu yang rusak parah, namun tidak ada upaya untuk diperbaiki oleh PLTP Ulumbu.

“Memang ini resiko bagi warga ketika perusahan bekerja hanya mengandalkan dana CSR, meskipun PLTP atau perusahan apapun tidak melaksanakan kewajiban CSR itu tidak ada denda/sanksi hukumnya,” ungkap alumnus Pasca Sarjana Fakultas Hukum, Universitas Atma Jaya Jogjakarta itu.

Lebih lanjut pemuda dari kampung adat Lale tersebut mengungkapkan “banyak warga di lingkar tapak PLTP Ulumbu sudah muak, karena tidak memprioritaskan warga lokal untuk bekerja di PLTP Ulumbu.”

“[Ini juga terjadi] karena tidak adanya perhatian khusus bagi warga setempat, khususnya di kampung terdekat,” katanya.

Ernest Teredi

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini