Floresa.co – Teriakan histeris warga adat Pubabu-Besipae di Kabupaten Timor Tengah Selatan [TTS] gagal menghentikan upaya polisi menangkap paksa salah seorang tokoh adat yang diduga terlibat kasus pengeroyokan terhadap petugas dinas peternakan.
Nikodemus Manao, dikenal sebagai salah satu tokoh di garis depan yang memperjuangkan hak komunitas adatnya berhadapan dengan Pemerintah Provinsi NTT dalam konflik lahan yang berlarut-larut ditangkap pada Senin, 13 Februari 2023 oleh aparat gabungan dari Polda NTT dan Polres TTS.
Dalam video saat kejadian itu yang diperoleh Floresa, tampak ibu-ibu dan anak-anak berteriak histeris ketika sejumlah aparat yang menggunakan pakaian preman mengamankan Niko.
Mereka sempat berusaha menghadang, yang membuat polisi mengeluarkan tembakan peringatan.
Niko kemudian berhasil digiring ke mobil polisi dan diangkut dari tengah komunitas adatnya.
Kombes Pol. Ariasandy, Kabid Humas Polda NTT menyatakan aksi polisi sudah sesuai prosedur karena Niko sudah berstatus tersangka.
“Tersangka sudah dipanggil dua kali tapi tidak kooperatif, maka dilakukan upaya paksa,” katanya pada 14 Februari.
Penangkapan itu terkait dengan dugaan pengeroyokan yang terjadi pada 19 Oktober 2022 terhadap petugas dari Dinas Peternakan Provinsi NTT, sehari sebelum penggusuran belasan rumah warga Besipae.
Ketika itu, dua orang petugas dinas itu mengantar surat kepada warga, meminta mereka untuk meninggalkan lahan yang sedang konflik.
Salah satu dari kedua petugas itu kemudian diamuk warga yang saat itu sedang berkumpul membahas sikap menghadapi rencana penggusuran oleh pemerintah.
Dalam sebuah pernyataan dari Front Nasional Mahasiswa Cabang Kupang yang ikut mengadvokasi kasus ini, mereka menjelaskan bahwa sebetulnya tidak diketahui pasti siapa saja yang terlibat pengeroyokan itu.
Mereka mengklaim Niko tidak terlibat, malah membantu mengamankan satu petugas lainnya.
Mereka juga mengatakan, Daud Selan, juga tokoh adat, sempat membantu mengamankan petugas yang mendapat amukan dari masyarakat itu di rumahnya dan memberinya perawatan.
Namun, selang beberapa hari setelah kejadian tersebut, muncul surat panggilan polisi, di mana di dalam surat tesebut dijelaskan bahwa pelaku pengeroyokan itu adalah Niko dan Daud.
“Adanya surat tersebut membuat masyarakat menilai tidak ada keadilan dan ada penegakan hukum yang tebang pilih, karena laporan masyarakat [terkait kasus penggusuran] dari tahun sebelumnya sampai sekarang tidak ada tindak lanjut. Sebaliknya ketika laporan dari Dinas Peternakan, langsung ditindak lanjuti [oleh polisi],” kata mereka.
Mereka menyebut, pada 27 Oktober 2022, Niko dan Daud sempat merespons panggilan polisi dan memberi keterangan di rumah Ba’i Selan, ayah dari Daud. Setelahnya, Niko memang dipanggil untuk dimintai keterangan tambahan, yang kemudian ditolaknya. Penolakan itu kemudian berujung pada penangkapannya.
Front Nasional Mahasiswa Cabang Kupang memprotes penangkapan ini dan menyebut polisi justeru membiarkan akar persoalan, yakni konflik lahan antara warga Besipae dengan pemerintah menjadi berlarut-larut.
“Pemerintah Pusat hingga Pemprov NTT yang harus bertanggung jawab atas situasi panjang yang menyengsarakan rakyat Pubabu-Besipae,” kata mereka.
Mereka pun meminta agar Niko dibebaskan dan menghentikan tindakan teror, intimidasi dan penangkapan terhadap masyarakat.
“Polri harus bersikap adil dan kooperatif dan jangan memihak pengusaha dan penguasa,” kata mereka.
Akar Konflik
Menurut sejumlah dokumen yang diakses Floresa.co, ditarik ke belakang, polemik antara masyarakat adat Besipae yang mencakup warga Desa Oe Ekam, Desa Mio, Desa Pollo dan Desa Linamnutu dengan pemerintah bermula sejak 1982 ketika Pemprov NTT membangun kesepakatan dengan mereka untuk proyek percontohan Intensifikasi Peternakan, bekerja sama dengan Pemerintah Australia.
Pada saat itu, karena luas hutan adat Pubabu yang hanya 2.671,4 hektare, para tetua adat setempat sepakat untuk memasukkan belukar dan pekarangan masyarakat, sehingga luas tanah yang dialokasikan untuk proyek tersebut menjadi 6.000 hektar.
Dalam prosesnya, proyek yang dilaksanakan dalam rentang 1982-1987 itu tidak berjalan dengan baik. Karena itu setelah program tersebut berakhir, Pemprov NTT di bawah masa pemerintahan Gubernur Aloysius Benedictus Mboi melaksanakan program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan (Gerhan) di atas lahan 6.000 hektar tersebut.
Dengan skema Hak Guna Usaha (HGU), wilayah tersebut dijadikan sebagai kawasan budidaya untuk sejumlah tanaman komoditas, seperti jati dan mahoni. Program tersebut berlangsung dari 1988 hingga 2008.
Namun, selama proses ini, Pemprov NTT mengeluarkan kebijakan yang dituding warga merugikan mereka, di mana pada tahun 1995 Dinas Kehutanan mengeluarkan register tanah kehutanan dengan nomor 29 yang mengubah status hutan adat Pubabu-Besipae menjadi kawasan hutan negara dengan fungsi hutan lindung seluas sekitar 2.900 hektare.
Selain itu dalam rentang tahun 2003 hingga 2008, Dinas Kehutanan Kabupaten TTS juga melakukan pembabatan dan pembakaran hutan adat Pubabu-Besipae seluas kurang lebih 1.050 hektare.
Karena rangkaian kebijakan tersebut, pada tahun 2008 masyarakat adat melakukan aksi penolakan perpanjangan HGU program Gerhan, karena menilai pembabatan hutan telah mengakibatkan keringnya sumur-sumur di sekitar kawasan hutan yang selama ini menjadi sumber air mereka, kehilangan akses terhadap hutan dan populasi hewan buruan seperti rusa semakin berkurang.
Di tengah penolakan warga, pada April 2008, pemerintah melalui sekelompok orang yang dibentuk Dinas Kehutanan TTS kembali membabat sebagian wilayah hutan di Desa Pollo dan Desa Linamnutu dengan alasan untuk merehabilitasi hutan melalui Gerhan.
Aksi pembabatan hutan sepihak ini selanjutnya dilaporkan oleh masyarakat adat ke Komnas HAM pada 2009.
Pada tahun 2011 masyarakat yang tergabung dalam Ikatan Tokoh Adat Pencari Kebenaran dan Keadilan membuat surat pembatalan perpanjangan kontrak Dinas Peternakan Provinsi NTT di instalasi Besipae dengan nomor surat: 03/ITAPKK/II/2011.
Pada tahun yang sama Komnas HAM juga mengeluarkan surat nomor 873/K/PMT/IV/2011 yang berisi himbauan agar menjaga situasi aman dan kondusif dan menghindari intimidasi sampai adanya solusi masalah tersebut.
Kendati gelombang protes terus berdatangan, pada Oktober 2012 pemerintah dituding mengkriminalisasi 17 masyarakat adat, di mana mereka dijebloskan ke dalam tahanan untuk beberapa bulan.
Pada November 2012, Komnas HAM kembali mengeluarkan surat bernomor 2.720/K/PMT/XI/2012 yang meminta Pemprov NTT mengembalikan lahan pertanian yang telah dipinjam Dinas Peternakan Provinsi NTT yang kontraknya telah berakhir pada 2012.
Alih-alih menanggapi gelombang desakan masyarakat ini, pada 19 Maret 2013, Pemprov NTT menerbitkan Sertifikat Hak Pakai dengan Nomor 00001/2013-BP.794953 dengan luas 3.780 hektar. Sertifikat inilah yang diklaim Pemprov NTT sebagai dasar atas penguasaan hutan adat saat ini, yang membuat konflik dengan warga terus memanas.
Rentetan Penggusuran
Sementara akar konflik belum diselesaikan, dalam dua tahun terakhir Pemprov NTT memilih mengambil cara-cara represif terhadap warga.
Penggusuran pada 20 Oktober 2022 tercatat sebagai aksi yang kelima sejak 2020 selama masa kepemimpinan Gubernur Viktor Bungtilu Laiskodat.
Pada peristiwa pertama 17 Februari 2020, kendati dihalang warga, Tim Gabungan yang terdiri dari Kepolisian, Brimob, Satuan Polisi Pamong Praja dan TNI, juga Sniper Pasukan Anti Huru-Hara melakukan penggusuran terhadap bangunan milik tiga kepala keluarga yang diklaim sebagai aset pemerintah.
Sebulan kemudian, pada 10 Maret 2020, Pemprov NTT kembali membongkar pondok dan pagar milik warga. Sebagai gantinya, pihak Pemprov membangun satu buah pondok ukuran 4×4 meter untuk dihuni dua keluarga. Namun, warga tidak menerima dan membongkar ulang bangunan itu dan membangun lagi pondok di dekat lokasi yang sama.
Dua bulan setelah itu, pada 12 Mei 2020 Pemprov NTT lagi-lagi melakukan penggusuran, di mana Gubernur Viktor Bungtolu Laiskodat juga ikut. Datang dalam rombongan, gubernur marah-marah meminta warga membuka pagar kompleks perumahan.
Penggusuran keempat terjadi pada 18 Agustus 2020, di mana tim gabungan aparat SatPol PP, TNI dan kepolisian melakukan penggusuran dan perusakan atas rumah milik 29 keluarga.
Aksi mereka juga dilakukan dengan melepaskan beberapa kali tembakan senjata api. Kendati aksi penembakan senjata api tersebut ditentang keras oleh publik luas, saat itu Pemprov NTT berdalih bahwa apa yang dilakukan oleh polisi merupakan “efek kejut.”