Oleh: FIAN ROGER
“Dalam pertandingan sepak bola, acapkali penonton (sok) merasa lebih pintar dari pemain, ” Anonim.
Di negara-negara sekuler, jumlah orang yang ke Gereja makin sedikit dibanding mereka yang menonton pertandingan sepak bola.
Sebagian orang meramal, sepak bola akan menjadi “agama baru” di masa depan.
Sepak bola adalah permainan rakyat di pelbagai peradaban tua, misalnya di Cina, sepak bola dikenal sejak tahun 500 sebelum masehi. Di Korea dan Jepang, sepak bola dikenal tahun 800. Sementara orang Yunani dan Romawi kuno menjadikan sepak bola sebagai latihan pasukan sebelum berperang. Olahraga ini kemudian menjadi permainan moderen dan teratur di Inggris pada tahun 1100. (Murphy: 2006)
Mengutip Christian Bromberger, sepak bola menggambarkan relasi sosial manusia. Dalam sepak bola, dapat ditemukan semua perasaan manusia; bahagia, menderita, benci, cemas, kepuasan dan ketidakadilan. Bahkan, bahagia dan tragedi dapat berubah dengan cepat dan tiba-tiba. Inilah mengapa orang menyukai sepak bola. (Bainvel: 2005)
Sepak bola juga menyimbolkan harapan publik, dimana para pemain dikenang dan mendapat pengakuan atas prestasi mereka. Kesuksesan pertandingan memendar bukan karena karya individu saja melainkan karena kerja tim, solidaritas antara pemain, pembagian tugas dan strategi kolektif.
Tiap anggota tim memiliki kualitas khusus untuk posisi tertentu dan harus mengenal para pemain lain. Kompleksitas permainan dan ketegangannya membuat pertandingan selalu dinanti dan disaksikan hingga menit-menit terakhir. Mitos pun kadang terbongkar, dimana tim kuat belum tentu selalu menang melawan tim lemah.
Secara dramatis, penonton juga menyaksikan para pemain berbohong dan protes manakala wasit mendapati kesalahan mereka. Walau sepak bola menghargai prestasi individu dan tim, tapi bisa saja berubah menjadi opera sabun karena permainan curang.
Di sisi lain, para pemain mewakili ragam kebajikan, misalnya kesetiaan, harapan, pengorbanan, kinerja, ketahanan dan perasaan memiliki terhadap komunitas. Dalam setiap pertandingan, selalu ada harapan kemenangan, kekuatan menaklukkan, frustrasi dan agresivitas.
Sepak bola juga dimetaforkan layaknya perang. Ini erat kaitannya dengan kata-kata seperti serangan, serangan mendadak, bertahan, menaklukkan, kapten, teritorial dan kemenangan.
Bahkan di beberapa kasus, sepak bola berujung pada kekerasan, konflik serta antagonisme. Identifikasi tim sepak bola dengan kelompok atau suku tertentu, misalnya, membuka konflik di lapangan hijau melebar ke luar lapangan.
Sepak Bola Politik
Serge Bainvel, mengutip Amstrong dan Giulianotti dalam “Sport and Politics: A study of the relationship between International Politics and Football, “ menulis, di zaman Sukarno sepak bola dimanfaatkan untuk menebarkan semangat kemerdekaan dan gagasan kebangsaan di Indonesia.
Setelah pemindahan kekuasaan dari Jepang ke Indonesia, prioritas utama Sukarno adalah mengangkat euforia kemerdekaan menjadi semangat kebangsaan (nation building). Kesuksesan tim nasional Indonesia dalam beberapa pertandingan internasional kala itu membuat masyarakat mengidentikkan diri dengan bangsa. Mereka juga semakin yakin dengan negara belia yang baru merdeka itu.
Terinspirasi dari pengalaman kemenangan dan dalam rangka menyambut Asian Games, tahun 1962 Sukarno membangun stadion yang berkapasitas 100 ribu penonton, yang kini dikenal dengan nama Gelora Bung Karno.
Hal yang sama kemudian mendorong Presiden ke-2 Indonesia Suharto meminta Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) untuk menampilkan permainan terbaik bagi 200 juta rakyat Indonesia. (Bainvel: 2005)
Beberapa politisi di Nusa Tenggara Timur (NTT) baik yang akan maju sebagai calon gubernur maupun calon bupati pun memanfaatkan sepak bola untuk menyampaikan pesan politik.
Misalnya, Benny K. Harman (BKH) menggelar turnamen futsal di Ruteng, Manggarai. Di Borong, Manggarai Timur (Matim), Wakil Bupati Andreas Agas mengadakan pertandingan sepak bola untuk kategori usia 23 tahun. Sebelumnya, bakal kandidat Bupati Matim, Marselis Sarimin Karrong menggelar pertandingan di Mukun.
Tampak, sepak bola menjadi wadah untuk mendekatkan wajah politisi kepada rakyat. Namun patut dicatat, banyaknya penonton dan keterlibatan klub-klum amatir serta komunitas setempat tidak menjamin kemenangan elektoral kandidat.
Lantas, bagaimana pesan-pesan etik politik universal sepak bola bekerja bagi proses politik elektoral di lokal Nusa Tengara Timur (NTT), khususnya di Manggarai?
Mendemokrasikan Ruang Publik
Susan Baller dalam “The Other Game: The Politics of Football in Africa” menulis, sepak bola selalu mengandung permainan lain. Pertandingan sepak bola dalam pelbagai macam caranya, telah memendar alegori dan emosi; drama kesuksesan dan kegagalan; dan misteri tak terpahami. (Baller: 2006)
Sepak bola menjadi ruang pengembangbiakan ruang dan imajinasi publik yang kemudian menciptakan, merayakan dan menegosiasi kembali diskursus-diskursus dan ranah praksis sosial, budaya dan politik.
Dalam penelitian Baller dkk. di Afrika disebutkan, pada masa penjajahan, Inggris memasyarakatkan sepak bola untuk membangun perilaku disiplin, menerapkan tata aturan dan untuk menyebarkan semangat main adil serta kerja sama tim di kalangan masyarakat. Sementara di masa paska kolonial, olahraga ini kemudian berubah makna menjadi usaha peningkatan status sosial, sekadar bersenang-senang atau mendapatkan uang.
Sementara dalam studi Brenda Elsey terkait klub-klub amatir “Barrio” masa 1948-1960 di Santiago, Chile, disebutkan, sepak bola tidak hanya berbicara soal permainan, melainkan juga menjadi ruang perjuangan keadilan sosial, misalnya soal sarana publik dasar, ketersediaan ruang publik dan keadilan bagi buruh. (Journal of Social History, Vol. 42, Number 3, Spring 2009, pp. 605)
Sepak bola bagi “barrio” menjadi suara politik dari pedalaman menuju kota dan cara untuk menghubungkan diri dengan gerakan politik. Dalam cara ini, kata Brenda, sepak bola berperan mendemokrasikan ruang politik publik.
Selain itu, klub-klub amatir menjadikan sepak bola untuk membentuk para lelaki muda menjadi lebih atletis dan jantan, yang menurut mereka menjadi simbol kehormatan para lelaki. Sepak bola adalah kerja fisik, ruang kreativitas, solidaritas sesama pekerja dan militansi politik. (Elsey: 2009)
Para penggerak klub ingin mendidik orang muda agar mereka memiliki tanggung jawab sosial dan komitmen bagi komunitas masing-masing. Sepak bola ruang untuk mengajarkan perilaku yang pantas dan tidak pantas dilakukan untuk sesama dan pergaulan lintas generasi.
Pesan etik-politik universal olahraga sepak bola tentu relevan dengan konteks politik elektoral lokal.
Pertama, publik mendambakan pemimpin sehat dan bugar baik mental maupun fisik. Pemimpin harus berubah dari sekadar pembiaya pertandingan menjadi pemain langsung. Pemimpin yang berolahraga akan dekat dengan masyarakat ketimbang yang memelihara badan di kantor yang dingin. Pemimpin yang malas berolahraga tentu tidak menginspirasi publik. Tentu tidak harus bermain bola kaki, bisa saja olahraga lain yang menginspirasi. Contoh baik diperlihatkan Presiden Jokowi yang gemar bersepeda dan jogging.
Kedua, sepak bola mempromosikan perdamaian dan mempererat persaudaraan. Namun di sisi lain, sepak bola bisa dimanfaatkan untuk mengagitasi kebencian dan memprovokasi dendam masa silam. Politik elektoral juga demikian, seharusnya menjadi ruang mendemokrasikan publik, malah menjadi ruang fabrikasi kebencian.
Ketiga, sepak bola mengajarkan semangat kerja kolektif dan bermain adil, namun tidak jarang juga mempertontonkan egoisme, dendam, antagonisme, tipuan dan sikap curang. Politik elektoral juga acapkali mendramakan individualisme di hadapan publik. Padahal seharusnya menjadi ruang berbagi.
Keempat, sepak bola memperlihatkan toleransi pada ragam peran dan perbedaan dukungan, sebab tanpa penonton permainan tidaklah semarak. Namun acapkali, toleransi diganti dengan materialisasi saat barang dan uang menjadi raja. Akibatnya terjadi reproduksi kekerasan baik verbal maupun fisik. Dalam politik elektoral, seharusnya perbedaan mendorong toleransi, bukan pemaksaan kehendak.
Publik berharap ragam pertandingan yang dihelat para politisi lokal di NTT, khususnya di Manggarai Raya membawa pesan-pesan yang positif bagi publik yang jenuh dengan ketertinggalan, pengangguran, dan kemiskinan. Bahwa sepak bola tidak sekadar pertandingan dan trofi juara, melainkan ruang menyuarakan isu-isu publik.
Penulis adalah tim studi media M8tim (M81) Institute