Floresa.co – Warga Poco Leok di Kabupaten Manggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur kembali mendesak Bank Pembangunan Jerman Kreditanstalt für Wiederaufbau [KfW] untuk menghentikan pendanaan proyek perluasan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi [PLTP] Ulumbu ke wilayah mereka, menyebut upaya meloloskan proyek tersebut justru “memperburuk situasi” dan “merampas ketentraman kehidupan kami.”
“Investasi KfW untuk pengembangan PLTP Ulumbu merampas ketentraman kehidupan kami di Poco Leok,” tulis warga dalam surat yang baru-baru ini dikirim ke Direktur KfW Indonesia Burkhards Hins dan Duta Besar Republik Federal Jerman Ina Lepel.
Poco Leok merupakan sebutan untuk wilayah yang mencakup tiga desa di Kecamatan Satar Mese yaitu Desa Lungar, Desa Mocok, dan Desa Golo Muntas. Wilayah ini berjarak tiga kilometer dari PLTP Ulumbu.
Ini merupakan surat ketiga yang dikirim warga ke KfW, menyusul masifnya upaya PT Pembangit Listrik Negara [PLN] meloloskan pengerjaan perluasan PLTP Ulumbu di tengah kuatnya suara penolakan mereka.
Warga mengatakan dalam surat itu bahwa mereka kembali menyurati KwF sebagai penegasan dari surat yang dikirim pada 5 Juli 2023, “meskipun surat ini jug berdiri sendiri, sebagai tanggapan terhadap pemburukan situasi yang kami hadapi di kampung-kampung kami di puncak dan lembah Poco Leok yang kami cintai.”
“Seperti kita sama-sama ketahui, pangkal masalah dan pemicu tunggal dari bencana dan huru-hara di rumah kami adalah proyek pembangkit listrik dari penambangan panas bumi yang melibatkan dua pelaku utama, PT PLN dan KfW,” tulis mereka dalam surat yang salinannya diperoleh Floresa pada Senin, 25 September.
‘Bencana huru-hara’ yang disebut warga merujuk pada upaya paksa pengukuran lahan untuk proyek itu, yang melibatkan aparat TNI/Polri.
Mereka mengatakan, surat yang dikirim ke KfW pada 5 Juli, “menegaskan beberapa hal prinsipil yang tidak mungkin dinegosiasikan, apalagi dirampas untuk kepentingan proyek ini.”
“Pertama sekali, Poco Leok adalah bagian tak terpisahkan dari seluruh hidup kami beserta leluhur kami,” tulis mereka.
“Keindahan anak sungai, mata air, lembah-lembah dan puncak puncak rumah kami ini,” lanjut mereka, “tak ternilai, tak tergantikan, dan tidak mungkin hendak dikemukakan dalam ukuran panas, megawatt, apalagi sekadar nilai ekonomi dan keuangan yang hendak dibangkitkan dari proyek tambang panas bumi ini.”
Mereka berkata, “pokok masalah utama lainnya dalam surat kami tersebut adalah telah berlangsungnya rangkaian intimidasi — yang melibatkan polisi dan TNI — yang berlangsung terutama pada 9, 19 dan 21 Juni 2023.”
Upaya paksa untuk meloloskan proyek tersebut, kata mereka, menunjukkan bahwa investasi industri energi akan selalu bersandar pada “penggunaan kekerasan untuk mengusir warga dari ruang hidupnya.”
“Investasi penuh kekerasan yang kalian anggap ‘bisnis seperti biasa tersebut’, menyakiti hati dan tubuh kami,” ujar mereka.
Selain menyurati Bank KwF, warga Poco Leok juga telah melakukan berbagai upaya lain untuk menentang proyek itu yang titik-titik pengeboranya berada di lahan, dekat pemukiman.
Proyek itu, salah satu dari proyek strategis nasional, merupakan rangkaian dari upaya ekspansi PLTP di wilayah Flores, pulau yang pada 2017 ditetapkan sebagai Pulau Geothermal.
Menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Flores memiliki total potensi panas bumi 902 megawatt atau 65 persen dari total kapasitas di Provinsi Nusa Tenggara Timur.