Floresa.co – Pengadilan di Malaysia mengabulkan gugatan perdata dari keluarga seorang buruh migran perempuan asal Nusa Tenggara Timur [NTT] yang meninggal dunia empat tahun lalu karena perlakuan buruk majikannya.
Dalam putusan pada 8 Februari, Mahkamah Tinggi Pulau Pinang menjatuhkan denda 750.000 ringgit Malaysia atau setara Rp2,4 miliar kepada majikan dari Adelina Lisao, pekerja migran meninggal dunia pada 2018, demikian menurut pernyataan dari Kementerian Luar Negeri.
Putusan itu melegakan para aktivis yang telah berjuang menuntut keadilan bagi Adelina dan buruh migran korban kekerasan lainnya.
Dalam putusannnya, hakim juga membebankan biaya perjalanan sebesar RM25.000 yang dikeluarkan oleh ahli waris Adelina untuk datang ke Malaysia.
Selain itu, bunga sebesar 5% per tahun akan dikenakan kepada tergugat hingga ganti rugi dibayarkan, dengan perhitungan dimulai sejak kasus didaftarkan di Mahkamah Tinggi Pulau Pinang pada Agustus 2023.
Sebelumnya, pada 30 November 2023, Mahkamah Tinggi Pulau Pinang juga telah mengabulkan gugatan terkait penggantian biaya pemakaman Adelina sebesar RM21.427,57 dan gaji yang tidak dibayarkan oleh majikan sebesar RM54.000.
Meskipun para tergugat, mantan majikan Adelina, dan pengacaranya tidak hadir dalam sidang, hakim tetap mengabulkan gugatan ini.
Suster Laurentina Suharsih, seorang biarawati aktivis dari Kongregasi Suster-suster Penyelenggaraan Ilahi yang terlibat dalam advokasi kasus buruh migran mengatakan, meskipun terlambat sudah sekian tahun, “saya bersyukur bahwa gugatan itu dikabulkan.”
Peristiwa ini menimbulkan sedikit rasa lega bagi keluarga Adelina karena “paling tidak usaha dan upaya yang selama ini diperjuangkan oleh berbagai pihak membuahkan hasil,” katanya kepada Floresa pada 9 Februari.
Meninggal Karena Perlakuan Buruk
Adelina, meninggal dalam usia 21 tahun di rumah sakit Penang, Malaysia pada 11 Februari 2018 karena kegagalan beberapa organ, sehari setelah diselamatkan dari rumah majikannya oleh kelompok advokasi pekerja migran.
Dia ditemukan di luar gerbang depan rumah majikannya dengan luka memar di wajah dan kepala, serta luka di lengan dan kaki.
Ia diduga mengalami kekerasan setiap hari oleh majikannya, dipaksa tidur di teras bersama anjing, dan diberi makan yang buruk.
Majikannya, Ambika M.A. Shan, sempat ditangkap atas dakwaan pembunuhan, sementara putrinya didakwa mempekerjakan Adelina tanpa izin kerja yang sah.
Namun, pada Juni 2022, Pengadilan Federal Malaysia membebaskan Shan karena kurangnya bukti.
Yohana Bunanaek, ibu dari Adelina, dibantu Kementerian Luar Negeri kemudian memfasilitasi gugatan perdata pada tahun lalu.
Konsul Jenderal RI di Penang, Wanton Saragih menyatakan, kemenangan ini “menunjukkan terdapat keadilan bagi Adelina dan bagi keluarga yang ditinggalkan.”
Putusan ini, kata dia, diharapkan dapat memberi efek jera bagi para majikan yang memperlakukan buruh migran Indonesia secara tidak manusiawi.
Berharap Ada Perhatian Terhadap Korban Lain
Suster Laurensia mengatakan kemenangan ini menjadi salah satu tanda kehadiran pemerintah dalam memperjuangkan hak-hak warganya.
Pemerintah, kata dia, telah berkolaborasi dengan berbagai elemen masyarakat sipil, termasuk para penggiat perdagangan orang.
“Meskipun demikian kita juga tetap harus mengawal kasus-kasus yang lain,” katanya.
“Kasus Mama Meriance Kabu juga tidak kalah penting. Apalagi Mama Meriance merupakan saksi kunci yang masih hidup,” ungkapnya.
Meriance yang disebut Suster Laurensia disiksa selama delapan bulan oleh majikan di Malaysia pada 2014.
Pekerja asal Kabupaten Timor Tengah Selatan itu diselamatkan polisi dalam kondisi lebam di sekujur tubuh, setelah melempar kertas bertuliskan “tolong saya” yang ditemukan oleh seorang tetangga.
Majikannya ditangkap namun kemudian dibebaskan pada 2017.
Kasus ini dibuka kembali setelah pemerintah Indonesia menulis surat kepada pemerintah Malaysia pada 2022. Kini sidangnya sedang digelar di Malaysia.
Senada dengan Suster Laurensia, Gabriel Goa Sola, aktivis buruh migran lainnya mengatakan, sangat diperlukan kolaborasi antarelemen, seperti pemerintah, organisasi advokasi, lembaga agama dan media untuk mengawal ketat kasus-kasus kekerasan terhadap buruh migran.
Sementara itu, Pastor Paschalis Saturnus, anggota komisi Keadilan, Perdamaian dan Pastoral Migran Perantau di Konferensi Waligereja Indonesia mengatakan, “terima kasih kepada semua pihak yang telah berjuang buat Adelina.”
“Ini tentu kabar gembira dan menjadi pelajaran bagi banyak pihak atas isu-isu yang sama yang mungkin tidak selesai dan hilang begitu saja,” katanya.
Ia berharap kerja sama bilateral Indonesia dengan negara lain yang menjadi daerah tujuan buruh migran “harus ditingkatkan agar manusia lebih dihargai dan tidak ada lagi kekerasan.”
Pesan untuk Pemerintah NTT
Adelina, juga Meriance, menjadi buruh migran tidak berdokumen, pola kasus yang banyak menimpah warga NTT.
Gabriel Goa Sola memberi tiga catatan penting untuk Pemerintah NTT demi mengakhiri kasus perdagangan orang.
Pertama, kata dia, adalah segera membentuk Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Kedua, menurut Gabriel, segera membangun dan memperkuat Balai Latihan Kerja Luar Negeri dan Layanan Terpadu Satu Atap di NTT.
Ketiga, melakukan Gerakan Masyarakat Anti Human Trafficking dan Migrasi Aman secara masif, mulai dari desa karena “NTT darurat perdagangan orang.”
Suster Laurensia juga berharap dengan kejadian ini, Pemerintah NTT bersikap tegas dengan perusahaan-perusahaan yang merekrut pekerja migran.
Pemerintah, kata dia, harus benar-benar mengawasi perekrutan agar dilakukan oleh perusahan resmi.
“Jangan sampai perusahaan-perusahaan sembarang merekrut tenaga kerja,” katanya.
Ia juga menyarankan sebaiknya perekrutan dilakukan secara langsung oleh pemerintah.”
Dengan begitu, kata dia, setiap permasalahan terkait pekerja migran bisa ditindaklanjuti secara langsung oleh pemerintah.
Editor: Ryan Dagur