Floresa.co – Yohanes Suherman tiba-tiba mendapat surat dari Kejaksaan Negeri Manggarai Barat lebih dari setahun lalu, memberitahunya bahwa ada persoalan dengan tanah yang telah dia tempati selama hampir 20 tahun.
Mendapat surat tertanggal 27 November 2022 itu, ia mengaku kaget, karena mengklaim tanah seluas 3.585 meter persegi tersebut adalah sah miliknya.
Dalam surat itu, Suherman diminta membawa dokumen-dokumen dugaan tindak pidana korupsi terkait proses perolehan lahan itu, yang disebut kejaksaan dia okupasi.
“Saya bukan ambil tanah pemerintah. Saya beli,” katanya saat ditemui di kediamannya baru-baru ini.
Tanah itu, yang berada di Kampung Sernaru, Kelurahan Wae Kelambu, Kecamatan Komodo, suatu jalur ramai di Labuan Bajo, menjadi salah satu target penertiban aset pemerintah.
Program itu mulai dilakukan pada 2021 sejak Bupati Edistasius Endi membentuk sebuah satuan tugas khusus, dengan salah satu tujuannya mengamankan aset tanah pemerintah yang dikuasai pihak lain.
Satuan Tugas Pengamanan Aset Tanah Milik Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat itu melibatkan Badan Pertanahan, Kejaksaan, Kepolisian, Pengadilan dan petugas bagian aset daerah.
Saat pembentukannya, Edi menjelaskan tugas satuan tugas tersebut adalah mencari tahu, mendata, kemudian menyita aset yang kini dikuasai pihak lain, lalu diserahkan kepada pemerintah.
“Program pengamanan aset sangat penting sebagai bagian dan upaya Pemerintah Daerah [Pemda] mewujudkan tata kelola aset yang baik, sehingga bermuara pada optimalisasi aset-aset itu untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah,” kata Edi.
Program itu, kata dia, juga bertujuan memberikan efek jera kepada warga yang mengokupasi aset pemerintah.
Ia menyebut pentingnya satuan tugas karena selama ini upaya pengamanan aset tidak maksimal sekaligus kurang komprehensif.
Klaim Suherman
Penertiban itu tidak begitu saja diterima Suherman, pengusaha yang pernah menjadi anggota DPRD Manggarai Barat periode 2004-2009.
Mengklaim proses penguasaan tanahnya dilakukan secara legal, ia berjuang mempertahankannya dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Labuan Bajo terhadap pemerintah pada Februari 2023.
Suherman mengklaim tanah itu dibelinya pada 19 November 2005 dari Baco Pua Tima, seorang warga Kampung Sernaru.
Dari dokumen yang diperoleh Komodo Indonesia Post – penulis laporan ini dalam kolaborasi dengan Floresa -, Suherman membelinya dengan harga Rp90 juta.
Transaksi disaksikan oleh istri dan anak-anak Baco Pua Tima, serta Lurah Wae Kelambu kala itu, kata Suherman. Tahun berikut setelah transaksi tersebut, Baco Pua Tima meninggal.
Suherman mengklaim, transaksi dilakukan setelah memastikan status tanah dan alas haknya, juga pengakuan lisan dari warga di Kampung Sernaru.
“Saya beli tanah tentu dengan berbagai pertimbangan,” katanya.
Ia mengatakan, tanah itu ia beli karena Baco Pua Tima membutuhkan uang untuk biaya naik haji, lalu meminta bantuannya, yang ketika itu masih berstatus anggota dewan.
Ia berkata, tanah itu punya “batas yang sangat jelas, bukan karang-karang.”
Status legal, jelasnya, diperkuat oleh Sertifikat Hak Milik [SHM] dari Badan Pertanahan Nasional yang ia telah kantongi.
Dukungan dari Surat Dula
Suherman menambahkan, kepemilikan tanah itu oleh Bacu Pau Tima didukung oleh sebuah surat yang dibuat pada 2005 oleh Agustinus Ch Dula, Wakil Bupati Manggarai Barat ketika itu. Dula menjabat sebagai wakil bupati, mendampingi Bupati Fidelis Pranda pada 2005-2010, sebelum kemudian menjadi bupati selama dua periode pada 2010-2020.
Dalam surat keterangan yang terbit pada 25 November 2005 dengan Nomor: Pem. 131/435XI/2005, yang salinannya diperoleh Komodo Indonesia Post, Dula menyatakan Baco Pua Tima berhak atas lahan tersebut.
Dula menjelaskan dalam suratnya bahwa Baco Pua Tima adalah salah satu penggarap di lahan milik pemerintah. Sejumlah warga di Labuan Bajo memang pernah menggarap lahan-lahan pemerintah. Mereka kemudian mendapat tanah pengganti saat pemerintah mulai mengambil alihnya.
Karena penggarap lainnya telah mendapat lahan pengganti di tempat lain, sementara Baco Pua Tima belum mendapatnya, Dula, dalam suratnya, menyatakan dia berhak menempati lahan itu.
Surat Dula itulah yang memperkuat klaim Baco Pua Tima atas lahan itu dan sekarang menjadi pegangan Suherman.
“Apalagi yang kurang? Alas hak ada. Kemudian ada surat dari mantan wakil bupati. Sudah ada SHM juga,” kata Suherman.
Di lahan itu, selain mendirikan rumah, ia juga membangun ruko, yang menjual aneka barang, seperti alat tulis, sepeda motor dan lainnya.
Ia menyebut, sewaktu mengurus izin pembangunan ruko di lahan itu, seperti Izin Prinsip Lokasi [IPL] dan Izin Mendirikan Bangunan [IMB], tidak ada masalah.
“Kok sekarang [tanah ini] diklaim tanah Pemda,” ujarnya.
Ia mendapat IPL pada 14 Maret 2006, IMB pembangunan rumah pada 16 Juni 2008 dan IMB ruko pada 2021.
Abdul Majid, salah satu ahli waris Baco Pua Tima memperkuat klaim Suherman.
Ia berkata lahan itu benar milik keluarganya, sehingga dahulu menjualnya kepada Suherman.
“Memang itu tanah kami. Apa yang salah?” katanya kepada Komodo Indonesia Post.
“Kalau Pemda tiba-tiba mengakui itu lahan Pemda, jangan sembarang saja,” katanya.
Versi Pemerintah
Sementara itu, Marsel Bandur, Kepala Bagian Tata Pemerintahan Kabupaten Manggarai Barat, yang ikut dalam Satuan Tugas Pengamanan Aset, berkata lain.
Ia menjelaskan, lahan yang dikuasai Suherman merupakan satu kesatuan dengan tanah yang diserahkan oleh Dalu Ishaka, Fungsionaris Adat Kedaluan Nggorang pada 1961 kepada Kabupaten Manggarai, induk Kabupaten Manggarai Barat. Kabupaten di ujung barat Pulau Flores itu mekar dari Manggarai pada 2001.
Sebagai fungsionaris adat, Ishaka adalah tokoh yang memegang kuasa untuk tanah di wilayah Labuan Bajo dan sekitarnya.
Tanah yang diserahkan oleh kedaluan, kata Marsel, terdiri dari empat lengkong atau dataran, yakni Lengkong Serkera, Sernaru, Wae Kelambu, dan Rangko. Luas total keempatnya mencapai 328,79 hektare.
Lahan milik Suherman, kata dia, masuk ke dalam Lengkong Sernaru.
Dengan latar historis itu, kata Marsel, pemerintah memutuskan mengambil alihnya.
Ia juga membantah klaim-klaim Suherman dan Majid, karena menurutnya penguasaan fisik mereka atas tanah itu tidak memiliki kekuatan hukum.
Marsel berkata, surat yang pernah dibuat Dula “bukan merupakan surat keputusan, melainkan surat keterangan.”
Karena itu, kata Marsel, surat tersebut, “tidak ada kekuatan hukumnya.”
Ia menjelaskan, surat itu dikeluarkan karena Bacu Pua Tima menemui Dula dan mengaku belum mendapat lahan pemampatan hingga tahun 2005.
“Makanya, Wakil Bupati [Dula] mengeluarkan surat keterangan,” katanya.
Perdebatan Soal Status Baco Pua Tima
Marsel menambahkan, usai penerbitan surat keterangan itu, Dula sebenarnya menerbitkan sebuah surat baru.
Surat itu, kata dia, diterbitkan setelah pemerintah mengetahui bahwa Bacu Pau Tima tidak termasuk dalam daftar nama penggarap di lahan milik pemerintah, merujuk pada sejumlah dokumen yang menjadi pegangan pemerintah.
Ia menjelaskan, sejumlah dokumen itu memuat nama-nama warga yang menggarap tanah milik pemerintah, yang kemudian diberikan lahan pengganti.
Tidak ada satu dokumen pun, kata dia, yang memuat nama Bacu Pau Tima.
Dokumen yang disebut Marsel merujuk pada dokumen pengukuhan tanah pemampatan tertanggal 4 Mei 1984, Surat Keputusan [SK] Bupati Manggarai Nomor 126 tahun 1991 tentang pembentukan tim relokasi tanah pemampatan dan SK Bupati Manggarai Nomor 140 tahun 1993 tentang pengukuhan relokasi tanah bekas penggarap di atas empat lengkong.
Mengacu pada bukti itu, kata dia, dalam surat susulan, Dula melarang Baco Pua Tima dan Suherman beraktivitas di atas lokasi yang kini menjadi objek sengketa.
Hanya, kata Marsel, saat itu petugas di bagian hukum Pemda Manggarai Barat tidak terlebih dahulu mencabut surat keterangan sebelumnya.
“Sebenarnya [pada saat itu Dula] harus memberikan surat pembatalan [terlebih dahulu terhadap surat sebelumnya],” kata Marsel.
Komodo Indonesia Post tidak bisa mendapat salinan surat keterangan Dula yang terbit pada 2006 itu yang, kata Marsel, kini ada di kejaksaan sebagai barang bukti.
Klaim Marsel bahwa Baco Pua Tima tidak terdaftar dalam dokumen yang menjadi rujukan pemerintah memang benar, merujuk pada salinan dokumen-dokumen itu yang diperoleh dan telah diperiksa Komodo Indonesia Post.
Dalam dokumen tahun 1984 misalnya tercatat 85 nama penggarap, dan tidak terdapat nama Bacu Pau Tima. Demikian pun dalam SK Nomor 126 Tahun 199I dan SK Nomor 140 Tahun 1993, juga tidak ada nama Baco Pua Tima.
Pernyataan yang menyebut Bacu Pau Tima adalah penggarap hanya terdapat dalam surat keterangan Dula pada 2005.
Pembelaan Ahli Waris
Perihal ketiadaan nama ayahnya dalam dokumen-dokumen itu, Madjid beralasan, ada kesalahan administrasi.
Ia balik mempersoalkan nama-nama lain yang ikut muncul dalam dokumen-dokumen itu, terutama dalam dokumen terakhir, SK Nomor 140 tahun 1993.
Ia menyatakan dalam dokumen itu muncul 33 nama yang ia duga “sebagai penumpang gelap” karena nama mereka tidak masuk dalam dokumen tahun 1984 dan SK tahun 1991.
“Kalau jago, bupati buka semua nama-nama itu. Toh, nanti ketahuan siapa yang berhak dan siapa yang tidak berhak mendapat kaveling lahan pemampatan,” ujarnya.
Menanggapi pernyataan Majid, Marsel menjelaskan, soal ketidaksesuaian nama antardokumen itu merupakan tanggung jawab Pemda Manggarai, induk Kabupaten Manggarai Barat.
“Kita ini kan tahun 2005 terima jadi. Kita tidak tahu bagaimana prosesnya. Kita hanya mengikuti dokumen yang sudah jadi,” ujarnya.
Kepala Seksi Intel Kejaksaan Negeri Manggarai Barat, Tony Aji mengonfirmasi “ada indikasi tidak tertib administrasi” antara dokumen pengukuhan lahan pemampatan tahun 1984, SK Nomor 126 tahun 1991 dan SK Nomor 140 Tahun 1993.
Namun, ia menolak menjelaskan rinci soal dokumen mana yang benar.
“Soal materi, no comment,” katanya kepada Komodo Indonesia Post, “itu masuk dalam materi pokok perkara.”
Sengkarut Aset Lahan Pemerintah
Kasus ini hanya salah satu dari sengkarut aset tanah milik Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat, di tengah proses penertiban yang kini dijalankan Bupati Edi.
Informasi yang dihimpun Komodo Indonesia Post, selain lahan yang kini bersengketa dengan Suherman, sejumlah bidang tanah milik pemerintah masih dikuasai oleh sejumlah pihak.
Beberapa di antaranya, menurut sumber di internal pemerintah, adalah tanah di depan kantor Komisi Pemilihan Umum Manggarai Barat, tanah di belakang dan samping Polres Manggarai Barat dan tanah di belakang Dinas Perizinan.
Pada tahun-tahun sebelumnya, kasus perebutan aset antara warga dan pemerintah di Kabupaten Manggarai Barat sudah terjadi.
Salah satunya adalah kasus yang menghebohkan pada 2020 ketika sekelompok orang mengklaim sebagai pemilik lahan seluas 30 hektare di Kerangan/Toro Lema Batu Kallo, arah selatan Labuan Bajo.
Penguasaan oleh sejumlah pihak itu dipermudah dengan surat keterangan Agustinus Ch Dula – saat ia menjabat sebagai bupati.
Dalam sejumlah suratnya, ia menyatakan bahwa tanah itu bukan aset pemerintah, yang kemudian menjadi dasar penjualannya oleh sejumlah pihak yang mengklaimnya.
Putusan pengadilan kasus itu yang mengafirmasi kepemilikan oleh Pemda kemudian menyeret Dula ke penjara, bersama dengan sejumlah pihak lain, baik warga yang menguasai tanah itu, pengacara, notaris dan calo maupun pegawai Badan Pertanahan. Dula divonis penjara 9 tahun dan denda Rp600 juta, usai kasasinya ditolak Mahkamah Agung pada 2022.
Pada tahun lalu, Kejaksaan Negeri Manggarai Barat juga mengamankan aset tanah seluas 39.563 meter persegi, dengan taksiran senilai Rp124 miliar, berlokasi di Desa Batu Cermin.
Penyerahan kembali tujuh bidang tanah itu kepada pemerintah setelah sebelumnya dikuasai sejumlah pihak, terjadi pada 11 Juli 2023.
Kendala Penertiban Aset
Dalam pernyataan pada 2021, Bupati Edi mengatakan, ada lebih dari 700 bidang tanah pemerintah yang belum bersertifikat.
Ia merujuk pada Kartu Inventaris Barang. Dari 891 bidang tanah terinventarisasi, kata dia, hanya 103 bidang yang telah bersertifikat.
Marsel Bandur tidak merespons pertanyaan Komodo Indonesia Post terkait jumlah aset tanah yang sudah disertifikasi semenjak pembentukan satuan tugas penertiban aset.
Ia mengarahkan untuk mewawancarai Silvester Salvador Pinto, Kepala Badan Keuangan dan Aset Daerah Kabupaten Manggarai Barat. Namun, Silvester tidak merespons permintaan wawancara. Saat didatangi di kantornya pada 31 Januari, ia beralasan belum bisa diganggu.
Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional [BPN] Kabupaten Manggarai Barat, Gatot Suyanto mengakui sejumlah persoalan dalam proses sertifikasi tanah pemerintah.
Ia menjelaskan, pemerintah sudah sering mengajukan penerbitan sertifikat atas beberapa aset tanah yang sudah “diselamatkan” melalui tim penertiban aset, meski tidak memerinci jumlahnya.
Namun, kata dia, kendalanya “adalah pada pemerintah, yang tidak proaktif melengkapi dokumen.”
Karena hal ini, katanya, kantornya menjadi sorotan Komisi Pemberantasan Korupsi [KPK] karena dianggap lambat menindaklanjuti pengajuan sertifikat tanah Pemda.
“Kami sering ditegur KPK, mengapa lambat sekali proses pengajuan penerbitan sertifikat yang diajukan oleh Pemda,” katanya kepada Komodo Indonesia Post saat diwawancarai di kantornya pada 31 Januari.
“Padahal ada beberapa dokumen yang perlu kita minta konfirmasi ke Pemda, tetapi jawaban Pemda lambat,” tambahnya.
Ia mengklaim, Badan Pertanahan juga berusaha “proaktif untuk bisa mendata dan menginventaris tanah-tanah Pemda, meskipun misalkan belum bisa diterbitkan sertifikat.”
“Paling tidak dalam rangka penyelamatan aset dulu, inventarisasi dan datanya ada,” ujarnya.
Setelah itu, kata dia, “baru nanti sertifikasi,” tetapi yang penting “terselamatkan” dahulu.
“Kami tandai di peta sehingga jangan sampai kami kebobolan. Jadi, kalau masalah sertifikat itu tindak lanjut berikutnya,” ujarnya.
Menunggu Putusan
Sidang kasus Suherman kini masih berlanjut di Pengadilan Negeri Labuan Bajo, dengan agenda pemeriksaan saksi-saksi.
Ia tidak hanya menggugat Bupati Edi sebagai tergugat satu, tetapi juga dua ahli waris Baco Pua Tima – Abdul Majid dan Jaenudin – sebagai tergugat dua dan tiga.
Dengan terancamnya penguasaannya atas lahan itu, Suherman menuding pemerintah sedang “menggunakan penegak hukum untuk menjerat masyarakat.”
“Salah satu [korban] di antaranya adalah saya,” katanya. “Saya masyarakat biasa. Saya beli tanah dari rakyat.”
Di sisi lain, satuan tugas pengamanan aset meyakini kepemilikan Suherman tidak memiliki dasar yang kuat.
Dalam sebuah pernyataan, Kepala Seksi Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Manggarai Barat, Ary Iqbal Setio Nasution berkata mereka memiliki bukti kuat bahwa tanah yang dikuasai Suherman itu milik pemerintah.
Ia menyatakan, ada indikasi korupsi dalam penguasaan aset itu, yang jumlah kerugian negaranya masih dihitung, dengan mempertimbangkan harga tanah di Labuan Bajo, kota pariwisata yang dalam beberapa tahun terakhir mengalami lonjakan drastis harga tanah.
“Kita sudah tahu ini aset-aset negara yang dibuktikan dengan surat dan berdasarkan keterangan ahli,” kata Ary.
Soal siapa pemilik sah tanah itu, di tengah klaim berbeda dari masing-masing pihak, masih menunggu putusan pengadilan yang kemungkinan baru muncul pada pertengahan tahun ini.
Kepala BPN, Gatot Suyanto berkata, pihaknya siap jika dimintai keterangan sebagai saksi di pengadilan karena telah menerbitkan sertifikat atas nama Suherman.
“Kami akan bawa data. Nanti data itu akan dinilai, yang benar yang mana. Kami tidak ngotot untuk menang, tapi yang benar yang mana, kita ikuti,” katanya.
Ia menjelaskan, jika Suherman kalah dan sampai pada putusan berkekuatan hukum tetap, maka “akan kita batalkan sertifikatnya.”
Editor: Ryan Dagur
Liputan dikerjakan Rio Suryanto dari Komodo Indonesia Post dalam kolaborasi dengan Floresa, bagian dari program penguatan kapasitas jurnalis di Flores. Program ini didukung hibah dari Alumni Thematic International Exchange Seminar [TIES] Departemen Luar Negeri Amerika Serikat.