Floresa.co – Berladang disinari matahari yang sedang panas-panasnya di Sikka, Maria Sensilia merunduk sembari mengusap daun tanaman jagungnya.
Sesekali ia menarik ulat grayak yang tampak melekat pada permukaan daun jagung yang mulai terkoyak dilalap hama tersebut.
Maria, 46 tahun memiliki tiga petak kebun yang secara keseluruhan seluas 1,5 hektare.
Berada di dataran rendah Desa Langir, Kecamatan Kangae, sebagian besar tanah di ketiga lahan itu ia tanami jagung. Sisanya ditumbuhi polong-polongan, termasuk kacang hijau.
Ia menanam jagung pada Desember silam. Sebulan pertama, “mereka tumbuh baik, sebelum digerogoti ulat grayak,” katanya.
Selain permukaan daun yang sobek, batang, pelepah dan pucuk tanaman jagungnya juga “mulai berlubang dan menguning.”
“Agaknya tak satupun tanaman jagung saya yang bakal selamat,” kata Maria saat ditemui Floresa di ladangnya pada 20 Februari, “kali ini mungkin lebih buruk ketimbang tahun lalu.”
Kekeringan Diperparah Hama Ulat Grayak
Menjelang musim panen pada Maret 2023, “lahan begitu tandus karena jarang turun hujan.”
Ulat grayak–hama yang daya migrasinya tinggi–dengan cepat merusak jagung di ketiga lahan Maria.
Saat itu Maria “hanya mampu memanen 14 tongkol jagung.”
Jumlah itu baginya, “tak cukup bahkan untuk sekadar dikonsumsi sendiri.”
Anak tunggalnya sedang menempuh pendidikan Sekolah Menengah Atas “yang banyak sekali kebutuhannya.”
Ketiga petak ladang itu merupakan warisan mendiang suaminya, yang meninggal beberapa tahun silam.
“Saya kira tahun lalu adalah yang terburuk. Rupanya tahun ini lebih parah,” katanya.
Beberapa penyuluh pertanian dari Dinas Pertanian dan Peternakan Sikka sempat “mengimbau kami semprot ulat grayak dengan obat pengusir hama,” kata Maria yang “sudah lupa kapan mereka datang.”
Imbauan itu hanya sanggup sekali ia ikuti lantaran “harganya mahal.”
“Beli sekali, habis, lalu tak ada uang untuk cari [obat pengusir hama] lagi,” katanya.
Ia tak memerinci harga dan jenis obat pengusir hama yang direkomendasikan penyuluh pertanian itu.
Selain serangan hama ulat grayak, menurut Maria, kekeringan juga memicu gagal panen di perladangan sekitar.
“Hampir dua pekan tidak turun hujan,” kata Maria, “tanah semakin pecah-pecah.”
Ia mengaku panen jagungnya menurun sejak lima tahun silam, kendati tak ingat betul pengurangan bobot per tahunnya.
Samar-samar ia mengingat pada 2020 “masih sanggup panen sekitar 90 kilogram jagung.” Setahun kemudian turun menjadi sekitar 52 kilogram, menurut pengakuannya.
Menggantungkan penghidupan hanya dari ladang yang didominasi tanaman jagung, ia berharap “pemerintah lekas beri solusi.”
Bagaimanapun, “saya harus tetap punya pemasukan,” katanya, “apalagi harga beras semakin mahal.”
Laut dan Ladang Tak Ada Bedanya
Sekitar 25 kilometer dari Kangae, Zainudin juga mengeluhkan kecemasan yang serupa dengan Maria.
Peladang berusia 56 tahun itu mengaku “tak lagi berharap” pada tanaman jagungnya yang kini berumur dua bulan.
Ia menanam jagung di ladang di Desa Runut, Kecamatan Waigete. “Tiap hari saya bersihkan daunnya, tapi rasanya sia-sia,” katanya kepada Floresa pada 20 Februari.
Padahal, ia “berharap hasil berladang dapat mengganti pemasukan dari melaut.”
Hari-hari warga Desa Nangahale di Kecamatan Talibura itu sebelumnya lebih banyak dimanfaatkan untuk menangkap ikan ketimbang berladang.
Lumrahnya ia melaut di perairan utara Pulau Flores, yang “airnya semakin keruh dan bikin ikan menjauh.”
Penurunan ikan tangkapan membuat Zainudin beralih ke ladang jagung “yang ternyata juga mengecewakan.”
Ia sempat berusaha mengusir ulat grayak “pakai asap api tiap pagi dan sore,” upaya yang akhirnya ia simpulkan “tidak manjur.”
Tahun lalu ia memanen sekitar 100 kilogram jagung. Tahun ini “bisa lihat sendiri, kami tak akan dapat apa-apa.”
Ia coba mengakali potensi gagal panen jagung dengan menanam kacang hijau.
“Siapa tahu hujan banyak-banyak turun dan kacang hijau bisa tumbuh baik. Daripada sama sekali tak ada hasil,” katanya.
Pemerintah Klaim Sudah Lakukan Upaya Pengendalian
Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Sikka menyebutkan hama ulat grayak menyerang tanaman jagung di 17 kecamatan di kabupaten tersebut sejak awal tahun.
Serangan ulat grayak merusak sekitar 783,75 hektare dari keseluruhan 5.352,75 hektare lahan jagung di Sikka.
Kepada Floresa pada 12 Februari, Kepala Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Sikka, Yohanes Emil Satriawan mengaku “sudah melakukan sejumlah upaya pengendalian” penyebaran hama itu lewat petugas Pengendali Organisme Pengganggu Tumbuhan [POPT].
POPT bertanggung jawab untuk, di antaranya memantau, mengendalikan dan melakukan karantina terhadap organisme tertentu yang diduga turut mengusik tanaman pertanian.
Selain itu, kantornya juga “telah menyalurkan obat pengusir hama ulat grayak yang disuplai oleh Unit Pelaksana Teknis Balai Proteksi Tanaman Pertanian tingkat provinsi.”
Namun, “obatnya terbatas sehingga POPT menganjurkan petani membeli secara swadaya.”
Ia mengklaim POPT telah “mengendalikan ulat grayak” di 403,5 hektare lahan jagung di Sikka.
Editor: Anastasia Ika