Floresa.co – Mahkamah Agung [MA] ‘mengoreksi’ putusan Pengadilan Negeri Ruteng dalam kasus terkait warga adat di Kabupaten Manggarai Timur.
Dalam putusan kasasinya, MA membebaskan Mikael Ane, 57 tahun, warga adat Ngkiong di Kecamatan Lamba Leda Timur yang terlibat sengketa lahan yang berlarut-larut dengan Taman Wisata Alam [TWA] Ruteng.
Putusan itu diambil pada 6 Mei, menurut salinan putusan MA yang diakses Floresa.
Majelis hakim MA yang diketuai Desnayeti menyatakan Mikael tidak melakukan pelanggaran pidana, karena itu ia “dibebaskan dari segala tuntutan hukum.”
Putusan tersebut juga memerintahkan pemulihan harkat dan martabat Mikael dan membebaskannya dari tahanan.
Mikael ditangkap pada 28 Maret 2023, dua tahun setelah ia mendirikan rumah di atas tanah yang diklaim sebagai bagian dari kawasan TWA Ruteng.
Kawasan itu mencakup hutan hujan di wilayah pegunungan seluas 32.248 hektar yang melintasi dua kabupaten di Flores bagian barat – Manggarai dan Manggarai Timur.
Hakim Pengadilan Negeri Ruteng memvonis Mikael satu tahun enam bulan penjara pada 5 September. Ia juga diwajibkan membayar denda Rp300 juta, subsider 6 bulan kurungan.
Hal itu dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Kupang dalam putusan banding pada 22 November 2023.
Maximilianus Herson Loi, penasehat hukum Mikael mengapresiasi putusan MA, menyebutnya “sangat tepat, ideal dan progresif.”
“Keputusan seperti ini yang diharapkan masyarakat adat,” kata Ketua Pelaksana Harian Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Wilayah Nusa Bunga itu pada 8 Mei.
Putusan itu, kata dia, bisa menjadi dasar bagi Pemerintah Daerah Manggarai Timur untuk segera mengimplementasikan Peraturan Daerah Nomor 1 tahun 2018 tentang Pengakuan, Perlindungan dan Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat.
Status wilayah adat Ngkiong, kata dia sudah diidentifikasi oleh Panitia Masyarakat Hukum Adat Manggarai Timur, kendati belum diverifikasi dan ditetapkan.
Ia menyatakan, putusan ini juga mengafirmasi bahwa masyarakat adat yang tinggal di dalam maupun di sekitar kawasan hutan dan yang hidupnya bergantung dengan alam dan hasil hutan “tidak bisa dipidana.”
Maximilianus pun meminta agar masyarakat adat membangun soliditas gerakan dengan mendesak pemerintah dan DPR segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat yang telah diajukan sejak 2012.
Ia juga mendesak pemerintah daerah membentuk dan menjalankan peraturan daerah tentang masyarakat adat.
Kasus yang terjadi pada Ane menambah panjang polemik bertahun-tahun antara warga dan pemerintah terkait TWA Ruteng yang dibentuk pada 1991 dan batasnya dengan wilayah adat masih terus dipersoalkan.
Ane telah dua kali menjalani proses hukum karena konflik dengan TWA itu.
Pada 2013 ia sempat dipenjara satu tahun karena menebang pohon di dalam kawasan yang diklaim bagian dari TWA.
Pada 2004, konflik di wilayah itu sempat menuai pertumpahan darah ketika warga memprotes langkah pemerintah membabat tanaman kopi di wilayah Colol.
Polisi kala itu menembak mati empat petani yang menggelar unjuk rasa di Ruteng. Tujuh orang lainnya luka parah dan cacat permanen hingga kini.
Pada 2013, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Nusa Tenggara Timur sempat merumuskan upaya penyelesaian masalah tapal batas ini dengan “Konsep Tiga Pilar” yang melibatkan tiga pihak -Gereja, Masyarakat Adat dan Pemerintah.
Konsep itu mengedepankan soal musyawarah untuk membahas masalah sengketa tapal batas.
Konsep Tiga Pilar ditandatangani perwakilan masyarakat adat, perwakilan media, perwakilan lembaga swadaya masyarakat, Uskup Ruteng saat itu, Hubertus Leteng, Bupati Manggarai saat itu, Christian Rotok dan Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Nusa Tenggara Timur saat itu, Wiratno.
Namun, hingga kini belum ada tindak lanjut dari konsep itu.
Editor: Ryan Dagur