Floresa.co – Lebih dari tiga bulan lalu, seorang perempuan di Labuan Bajo mengadukan tindak kekerasan dengan terlapor adalah kekasihnya, yang kemudian diketahui sebagai anak angkat seorang petinggi di Polres Manggarai Barat [Mabar].
Namun, hingga kini, ia belum mendapat kabar langkah maju penanganannya, usai proses mediasi untuk penyelesaiannya secara adat gagal.
Korban mengadukan terlapor Aman A. E Siok tiga bulan lalu, beberapa saat usai ia mengalami kekerasan.
Kepada Floresa pada 26 September, korban mengaku dipukul terlapor di kosnya.
Hari itu, pada 17 Juni 2024 malam, mulanya terlapor menelpon dan menawarkan diri menjemput korban pada pukul 20.00 Wita saat korban pulang kerja.
Setibanya di kos, ia pun berterima kasih kepada terlapor, yang lalu pamit.
Namun, 10 menit kemudian, terlapor kembali, menggedor pintu kamar korban, memaksa membukanya.
Usai pintu dibuka, ia mendorong korban sampai terjatuh, sambil berkata “mati kau, mati kau.”
Karena mencium bau alkohol pada terlapor, korban lalu menariknya keluar kamar kos, mengingatkannya bahwa ada penghuni lain di sana.
Namun, terlapor memukul korban hingga bibirnya pecah dan berdarah.
Saat berusaha teriak minta tolong, terlapor mencekik dan menutup mulut korban hingga terjatuh.
Terlapor lalu keluar kamar dan korban berusaha untuk menutup pintu.
Aksi keduanya saling mendorong pintu pun terjadi, membuat pemilik kos datang dan meminta terlapor meninggalkan kos.
Dalam keadaan terluka, korban lalu mendatangi kantor Polres Mabar malam itu, menyampaikan laporan.
Ia lalu diminta menjalani visum di Puskesmas Labuan Bajo, ditemani seorang personel polisi.
Usai kembali dari puskesmas, ia diminta datang lagi keesokan harinya untuk mendapat surat bukti laporan.
Upaya Penyelesaian Secara Adat
Pada 20 Juni, korban juga mengadu ke Dinas Sosial Mabar, yang lalu menyerahkannya ke Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan Dan Anak [P2TP2A] yang berbasis di Rumah Singgah St. Theresia Labuan Bajo.
Rumah singgah itu yang dikelola para biarawati Katolik selama ini aktif mendampingi dan mengadvokasi perempuan dan anak korban kekerasan.
Suster Frederika Tanggu Hana, SSpS, direktur Rumah Singgah St. Theresia, yang dikenal Suster Rita, juga menjadi anggota pengurus P2TP2A.
Sebulan kemudian, pada 31 Juli, kasus ini sempat hendak diselesaikan dengan mekanisme adat.
Kala itu terlapor datang bersama Iptu Matheos A. D. Siok, Kepala Satuan Reserse Narkoba Polres Mabar yang mengaku sebagai ayah angkatnya.
Sementara korban didampingi keluarganya bersama Suster Rita dan seorang biarawan, Bruder Jack.
Kepala Dinas Sosial, Marselinus Jebaru juga ikut dalam pertemuan itu.
Wartawan salah satu media lokal di Labuan Bajo juga hadir, menemani terlapor dan Iptu Matheos.
Menurut Suster Rita, dalam mediasi itu, menanggapi permintaan terlapor agar kasus ini diselesaikan dengan mekanisme adat, pihak korban meminta denda adat Rp15 juta dan satu ekor babi, yang umumnya berlaku dalam budaya Manggarai.
Namun, upaya itu gagal setelah keluarga terlapor hanya menyanggupi Rp5 juta.
“Saya hanya membawa uang Rp5 juta. Itu yang saya sanggup,” ujar Suster Rita, menirukan ucapan Iptu Matheos.
Menurut korban, wartawan yang hadir dalam mediasi itu sempat memintanya menerima tawaran itu.
“Sebaiknya terima saja tawaran itu, biar masalah selesai,” kata korban, menirukan ucapan wartawan itu.
“Kalau tempuh jalur hukum, belum tentu pelaku benar-benar dihukum,” tambah wartawan tersebut.
Karena tidak ada kesepakatan, Iptu Matheos berkata, kasusnya tetap dilanjutkan secara hukum.
Mencari Kejelasan
Suster Rita berkata, beberapa hari setelah pertemuan itu ia bersama korban mendatangi Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak [PPA] Polres Mabar, Putu Eka Mariawan, menanyakan perkembangan penanganan.
Mereka juga mengadukan bahwa terlapor kerap kali mengancam korban, bahkan mendatangi korban di tempat kerjanya.
Saat itu, kata Suster Rita, Putu menyampaikan bahwa pelaku sudah dinasehati untuk tidak mengganggu korban dan sudah dibina.
Saat ditanya, apa bentuk pembinaannya, “Putu tidak merespons pertanyaan itu,” kata Suster Rita.
Pada 7 Agustus, korban sempat mendapat Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan [S2PHP] bernomor SP2HP /164/Vlll/Res/1.6/2024/Sat Reskrim.
Dalam surat itu, ia diberitahu bahwa kasusnya sedang dalam penyidikan, dengan langkah penyelidikan yang sudah ditempuh adalah pemeriksaan tempat kejadian perkara, visum dan meminta keterangan klarifikasi dari pihak terlapor.
Poin lain dalam surat adalah polisi telah melakukan koordinasi dengan pihak Jaksa Penuntut Umum.
Setelah membaca surat tersebut, korban langsung menghubungi salah satu polisi di Unit PPA, menanyakan hasil visum yang disebutkan dalam surat tersebut, namun tidak ada jawaban.
“Saya sudah tanya berkali-kali,” katanya, “namun saya tidak pernah direspons.”
Korban kembali menerima S2PHP pada 24 September. Namun, isinya sama dengan surat pada 7 Agustus.
Hal inilah yang membuat korban bingung karena proses yang stagnan.
“Kalau polisi diam-diam saja, lalu siapa yang mau proses kasus ini,” katanya.
Ia menduga hal ini karena kedekatan terlapor dengan Iptu Matheos.
Ia mengingat percakapannya dengan Putu Eka Mariawan dalam salah satu perjumpaan beberapa minggu setelah melaporkan kasus tersebut.
Ia mengaku diberitahu bahwa selain sebagai anak angkat, terlapor juga bekerja di Polres, membantu Iptu Matheos.
Putu, katanya, juga menyampaikan bahwa sebaiknya kasus ini diselesaikan secara damai.
Floresa sudah menghubungi Kepala Seksi Humas Polres Mabar, Iptu Eka Darma Yuda, pada 27 dan 28 September, menanyakan perkembangan kasus ini. Namun, ia tidak merespons. Iptu Matheos juga dihubungi pada 30 September, namun tidak merespons, demikian juga halnya Putu Eka Mariawan.
Sementara itu, Kepala Dinas Sosial, Marselinus Jebaru yang hadir dalam mediasi pada 31 Juni meminta Floresa menemui Fatima Melani Rambing, Kepala Bidang Perlindungan Perempuan dan Perlindungan Anak soal alasan keikutsertaannya.
Fatima berkata kepada Floresa pada 1 Oktober, Marselinus hadir setelah mendapat pemberitahuan dari Suster Rita soal rencana mediasi itu.
Marselinus hadir “sebagai perwakilan dari pihak pemerintah untuk menjadi saksi dalam proses penyelesaian kasus,” katanya.
Ia mengklaim, kehadiran pemerintah sebagai dukungan terhadap penyelesaian kasus “dengan tidak mengabaikan prinsip demokrasi, kesetaraan dan keadilan.”
Kecewa dengan Kinerja Polisi
Suster Rita menyatakan kekecewaannya pada polisi, yang ia sebut tidak serius menangani kasus kekerasan terhadap perempuan.
Padahal, kata dia, polisi bisa bergerak cepat mengingat terlapor sudah berupaya menyelesaikan kasus ini secara adat yang sebetulnya jadi bukti bahwa ia sudah mengakui kesalahannya.
Proses hukum yang bertele-tele, katanya, membuat “korban harus menunggu tanpa kepastian.”
“Saya merasa kecewa dan sedih betapa korban harus mengemis untuk mendapatkan keadilan, bahkan sampai depresi, sementara terlapor berkeliaran,” katanya.
Ia berkata, cara kerja polisi seperti ini bisa membuat tindakan kekerasan terlapor terulang dan terjadi pada siapapun karena “dia merasa dilindungi.”
Hal itu, kata Suster Rita, terbukti dengan aksi terlapor yang “mengancam korban bahkan mendatangi korban di tempat kerja” usai kasus ini dibawa ke polisi.
Ia menambahkan, sebagai aparat penegak hukum, seharusnya sejak awal Iptu Matheos mendorong kasus ini diselesaikan secara hukum, bukan memilih diselesaikan secara adat.
“Apakah martabat korban hanya bisa diganti dengan uang Rp5 juta?” katanya, menyinggung soal tawaran denda dari Iptu Matheos saat upaya penyelesaian secara adat.
Ia menyebut, cara kerja polisi yang mengecewakan seperti itu bukan kasus tunggal di Polres Mabar.
“Ada sejumlah kasus lainnya yang masih mandek, entah apa alasannya sehingga tidak diproses,” katanya.
Salah satunya, kata dia, adalah kasus perdagangan orang yang dilaporkan pada 15 Mei 2023 dengan korban seorang anak di bawah umur asal Kabupaten Ngada dan hingga sekarang belum ada kabar tindak lanjut.
‘Kapan Saya Bisa Dapat Keadilan?’
Sementara korban berkata, saat melaporkan kasus ini, ia sempat percaya bahwa polisi akan bekerja secara profesional dan tidak memandang bulu.
Namun, “ternyata berharap polisi kerja profesional hanya mimpi bagi setiap korban yang diabaikan.”
Ia mengaku “sering merasa stres, putus asa,” termasuk takut jika bertemu dengan pelaku yang masih berkeliaran sehingga berdampak terhadap pekerjaannya.
“Kapan ada kejelasan untuk kasus saya ini? Kapan saya bisa dapat keadilan? Kasus ini sudah berjalan tiga bulan, namun sampai sekarang tidak ada titik terangnya,” katanya.
Ia menambahkan, “kalau kesalahan pelaku dilindungi, lalu saya yang menjadi korban tanpa menerima kejelasan kasus mau dikemanakan?”
“Saya seorang pekerja, saya harus kerja dan polisi mengetahui itu. Mestinya mereka bisa pertimbangkan beban yang saya tanggung,” katanya.
Editor: Ryan Dagur