Lambannya Polres Manggarai Barat Tangani Kasus Perdagangan Orang: ‘Saling Lempar’ Saat Ditanya, Korban Jadi Pasrah

Polres Manggarai Barat mencari beragam cara untuk tidak menjelaskan perkembangan penanganan, membatasi personel untuk tidak menjawab pertanyaan spesifik kasus ini

Floresa.co – Ketika pada awal Mei tahun lalu mendapat informasi tentang seorang gadis yang diduga menjadi korban perdagangan orang diamankan dari Bandara Komodo Labuan Bajo, para biarawati Katolik di kota pariwisata itu segera mengambil tindakan untuk mengadvokasinya.

Dengan bantuan seorang warga Labuan Bajo, gadis asal Kabupaten Ngada itu diantar ke Rumah Singgah St. Theresia yang dikelola para biarawati  pada 8 Mei 2023, dua hari setelah ia diselamatkan dari jerat terduga pelaku perdagangan orang.

Sepekan kemudian, pada 15 Mei, Suster Federika Tanggu Hana, SSpS, pimpinan rumah singgah memilih melapor kasus ini ke Polres Manggarai Barat.

Tak lama kemudian, Rita – sapaannya –  dipanggil dan diperiksa sebagai pelapor. Ayah korban, yang berada di Ngada, juga ikut diperiksa setelahnya via telepon.

Mereka diberi janji oleh penyidik akan diberi kabar soal perkembangan penanganan kasus itu.

Karena korban masih berstatus pelajar, para suster mendaftarkannya di sebuah sekolah dekat rumah singgah.

Pada Juni 2023, Polres Manggarai Barat menetapkan TS, seorang warga asal Ngada sebagai tersangka Tindak Pidana Perdagangan Orang [TPPO]. Ia sempat ditahan, namun tidak ada informasi lagi setelahnya.

Dalam penjelasan polisi ketika itu, TS dijerat pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO sub Pasal 55 ayat 1 KUHP, di mana ia terancam pidana antara tiga sampai 15 tahun penjara dan denda antara Rp120-Rp600 juta.

Setelah muncul informasi penetapan tersangka itu, Rita tidak kunjung mendapat kabar lanjutan perkembangan penanganan kasus ini.

Ia lantas bingung ketika setiap kali pulang sekolah, korban bertanya: “Suster apakah ada kabar dari kepolisian terkait kasus saya?”

Korban tidak fokus menerima pelajaran di sekolah, karena “dia merasa terbebani dengan kasus itu,” kata Rita.

Karena berbulan-bulan tidak mendapat kepastian dari polisi, pada Desember 2023 korban memilih pulang ke kampungnya di Ngada.

Korban direkrut oleh TS, untuk dipekerjakan di Medan, Provinsi Sumatra Utara, kata Rita.

Ia dalam jalur penerbangan menuju Medan dari Bandara Soa di Ngada ketika transit di Bandara Komodo Labuan Bajo pada 6 Mei.

Dalam kondisi bingung, korban menangis, lalu diselamatkan seorang warga, sebelum kemudian diantar ke Rumah Singgah St. Theresia.

Dengan pulangnya korban ke kampung halamannya, Rita berkata, “saya sebagai pelapor merasa gagal dan korban merasa hancur hingga akhirnya tidak mau sekolah.”

Akrobat Saling Lempar’ Polisi 

Hingga kini enam bulan pasca korban pulang kampung pun, Rita tetap belum mendapat kabar dari polisi.

Sejak pekan lalu, Floresa berusaha menanyakan kasus ini ke Polres Manggarai Barat.

Pada 24 Juli, Floresa menemui Kepala Satuan Reserse dan Kriminal [Kasat Reskrim], AKP Angga Maulana di ruang kerjanya.

Namun, stafnya berkata, ia sedang rapat. Dalam pesan via WhatsApp kepada Floresa, Angga kemudian meminta untuk menanyakan soal ini ke Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak, Putu Eka Mariawan.

Dihubungi via telepon, Putu sempat berkata, “kenapa harus saya,” sambil meminta waktu menghubungi Angga terlebih dahulu.

Sejam kemudian, saat dihubungi kembali, Putu mengaku baru mengetahui kasus ini dan meminta waktu untuk melihat ulang berkasnya, sembari janji memberi jawaban setelah makan siang. Namun, hingga sore hari, ia tidak memberi kabar. 

Pada 25 Juli pagi, Floresa menemui Putu di ruangannya. 

Namun, ia meminta agar pembicaraan itu tidak direkam, beralasan hanya diperintahkan untuk bertemu Floresa oleh atasannya, sementara ia tidak tahu soal kasusnya.

Ia juga meminta agar hanya bertanya soal data kasus TPPO empat tahun terakhir.

Ia kemudian berkata, “kasus itu sudah pada tahap pelimpahan berkas ke jaksa,” namun tidak bersedia memberi penjelasan lebih lanjut karena “ bukan saya yang tangani.”

Ia juga mengklaim masa tahanan untuk TS sudah habis, sehingga ia sudah pulang ke Ngada dan wajib lapor di Polres Ngada.

Polres Manggarai Barat, katanya, “ada koordinasi intens dengan Polres Ngada terkait wajib lapor TS.”

Ia lagi-lagi berkata, “saya hanya sampaikan informasi dari atasan saya” dan hanya itu yang ia tahu, sembari meminta Floresa kembali menghubungi Kasat Reskrim atau bagian Humas.

Floresa pun menghubungi lagi Angga pada hari yang sama, perihal pertanyaan yang tidak bisa dijawab Putu, namun ia tidak merespons.

Sementara itu, pengakuan Putu soal penyerahan TS ke Polres Ngada dibantah oleh Kepala Seksi Humas, Iptu Sukandar dalam wawancara dengan Floresa.

Ia berkata, Polres Manggarai Barat “ tidak pernah berkoordinasi dengan Polres Ngada terkait kasus TS.”

“TS juga tidak ada dalam daftar wajib lapor kami,” katanya.

Pada tanggal yang sama Floresa menghubungi Humas Polres Manggarai Barat, Ipda Eka Dharma Yuda, sesuai arahan Putu.

Namun, ia meminta agar pertanyaan dikirim ke stafnya, seorang polisi bernama Berto, yang dijawab, “mohon waktu, akan saya sampaikan permintaan Floresa.

Saat dihubungi kembali pada 26 Juli, Berto berkata, “belum ada jawaban.”

Karena itu, pada sore hari, Floresa menghubungi lagi Eka. Ia kemudian mengirim data soal jumlah kasus TPPO, sembari berkata “itu yang bisa saya sampaikan terkait TPPO “ 

“Untuk sementara, saya masih fokus di acara anak saya dan kalau ada waktu langsung ke kantor ketemu sama Kasat Reskrim,” katanya.

Saat diberitahu bahwa “dari Kasat Reskrim kami disuruh ke Humas, lalu dari Humas kami disuruh ke Kasat Reskrim lagi,” ia merespons, “saya lagi cuti.”

Sementara itu, Putu yang kembali dihubungi pada 29 Juli soal bantahan dari Polres Ngada terhadap klaimnya, berkata, “informasi yang saya terima untuk merespon Floresa demikian dan saya juga bukan penyidik dalam kasus ini.”

Ia lalu meminta menghubungi Kepala Unit Tindak Pidana Tertentu, Bripka Suharman. 

Arman – sapaan Suharman – meminta Floresa menemuinya pada 30 Juli. 

Sebelum ke kantor Polres, Floresa sempat menghubungi Kapolres, AKBP Christian Kadang, soal alasan kasus ini mandeg. Ia merespons, “coba nanti saya tanya orang reskrim.”

Dalam wawancara pada 30 Juli di ruang kerjanya, Arman meminta untuk tidak direkam, lalu menelefon Angga, bertanya apakah ia atau Kasat Reskrim yang bisa memberikan informasi ke media. 

Setelahnya, kepada Floresa ia berkata, “saya hanya diperintahkan untuk memberikan data.”

“Saya tidak berkewenangan untuk menjawab pertanyaan yang lain,” kata Arman.

Ia berkata hanya bisa menulis pertanyaan Floresa dan meminta berkoordinasi dengan Humas untuk mendapat jawabannya.

Seorang polisi perempuan yang mengaku dari Humas kemudian menemui Floresa.

Ia memberi keterangan, sembari meminta agar pernyataannya tidak ditulis atas namanya, tetapi memakai nama Kepala Seksi Humas, Eka Dharma Yuda.

Ia berkata, berkas perkara tahap satu kasus tersebut sudah dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Manggarai Barat.

“Namun ada petunjuk dari  kejaksaan yang harus dilengkapi oleh penyidik,” katanya.  Ia tidak merinci kapan berkas tahap satu diserahkan dan petunjuk yang harus dilengkapi itu.

Ia juga tidak merespons kapan berkas perkara yang sudah dilengkapi dilimpahkan lagi ke kejaksaan dan terkait alasan lambatnya proses penanganan.

Perihal status TS, katanya, penahanannya ditangguhkan karena berkas perkara belum lengkap.

Berbeda dengan keterangan Putu pada 25 Juli, polisi itu berkata, TS tetap wajib lapor di Polres Manggarai Barat sebulan sekali.

Namun, katanya, TS tidak datang secara fisik, tetapi hanya memberitahu melalui sambungan telepon. 

Kantor Polres Manggarai Barat di Labuan Bajo. (Foto: Akun X Polres Manggarai Barat)

Siapa yang Melapor?

Sementara tidak ada kabar jelas dari polisi soal tindak lanjut kasus ini dan ada upaya saling lempar memberi keterangan, dugaan kejanggalan lain muncul, soal identitas pelapor.

Polisi perempuan yang menemui Floresa mengklaim bahwa yang melaporkan kasus ini adalah anggota Polres Manggarai Barat. 

Pelaporannya dengan nomor  LP/ A/05/ VI/2023/SPKT/Res Mabar disampaikan pada 10 Juni 2023.

“Bukan dari pihak Suster [Rita] yang membuat laporan,” katanya, “tetapi anggota polisi di Polres Manggarai Barat, berdasarkan informasi dari masyarakat.”

Namun, ia tidak menjelaskan identitas polisi itu, juga masyarakat yang menyampaikan laporan.

Penjelasan polisi itu membuat Rita terheran-heran saat dihubungi kembali oleh Floresa pada 30 Juli.

Rita berkata, ia yang melapor kasus ini dengan nomor  LP/A/5Vl/2023/SPKT.Sat Reskrim/ Polres Mabar/ Polda NTT pada 15 Mei 2023.

Dan, pemeriksaannya setelah menyampaikan laporan itu adalah dalam status sebagai pelapor.

“Saya lupa persisnya kapan saya dimintai keterangan,” katanya, yang jelas “beberapa hari setelah melaporkan kasus itu.”

Ia berkata, jika polisi yang melaporkan kasus itu pada Juni 2023, ”kenapa saya, korban dan ayah korban diperiksa pada bulan Mei?”

“Itu atas laporan siapa?” katanya.

Polisi Harusnya Serius

Terlepas dari perdebatan soal klaim siapa yang menyampaikan laporan, Rita berharap polisi menunjukkan keseriusan dalam penanganan kasus TPPO.

“Seandainya polisi punya keberpihakan terhadap korban, pasti mereka memikirkan bagaimana nasib, masa depan korban,” katanya.

Ia berkata, ada kecenderungan ketidakseriusan, termasuk pada ingkar janji memberi informasi perkembangan penanganan kasus itu.

Apalagi, kata dia, TS diduga menjadi perekrut tenaga kerja non prosedural selama beberapa tahun terakhir, merujuk pada klaim polisi pada Juni 2023. Sejak 2019 ia dilaporkan sudah mengirim 12 tenaga kerja tanpa dilengkapi dokumen atau non prosedural.

Sementara itu, Emanuel Wae, ayah korban berkata kepada Floresa pada 30 Juli, ia kecewa dengan kinerja polisi.

Setelah Mei tahun lalu dimintai keterangan lewat sambungan telepon oleh penyidik Polres Manggarai Barat, ia sempat berharap akan ada informasi lanjutan.

Ia memang “sempat berpikir kasus itu pasti tidak diproses,” karena belajar dari informasi soal penanganan kasus-kasus TPPO di Nusa Tenggara Timur yang seringkali berujung tidak jelas, membuat para perekrut tenaga kerja non prosedural terus beroperasi.

“Saya kan orang kecil. Saya tidak punya uang untuk membayar polisi agar selesaikan kasus itu,” katanya.

Anaknya putus sekolah dan pulang ke kampung halaman sebagai imbas lambatnya proses kasus ini di kepolisian, katanya.

Emanuel berkata, jika semua orang sama di mata polisi, kasus yang menimpa anaknya seharusnya segera diselesaikan. 

Kalau memang Polres Manggarai Barat tidak mampu dan tidak serius menangani kasus ini, usulnya, bisa juga dilimpahkan ke Polres Ngada, yang dekat dengan tempat tinggalnya.

Ia berharap, terduga pelaku “harus dihukum sehingga tidak ada lagi korban lain.”

Nusa Tenggara Timur merupakan daerah dengan banyak kasus TPPO, hal yang membuat Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menetapkannya sebagai provinsi dengan status darurat kejahatan kemanusiaan ini.

Namun, sorotan terhadap kinerja penegak hukum, seperti polisi, dalam penindakan terhadap pelaku terus mencuat.

Dalam kasus lain di Kabupaten Sikka, seorang tersangka TPPO yang merupakan anggota DPRD terpilih mengirim puluhan warga ke Kalimantan tidak sesuai prosedur pada Maret. 

Hingga kini, ia masih melenggang bebas pasca ditetapkan sebagai tersangka pada Mei.

Laporan ini dikerjakan oleh Anjany Podangsa, Mikael Jonaldi dan Herry Kabut

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA