Dokter Spesialis Langka di Sejumlah Kabupaten di NTT, Minim Atensi dari Calon Pemimpin

Setiap tahun kepala daerah berteriak kekurangan dokter tetapi minim upaya memperkuat SDM-nya, kata Ikatan Dokter Indonesia

Floresa.co – Pada Senin terakhir September itu, tak satu pun bangku kosong di sepanjang selasar yang menghubungkan loket pendaftaran dan ruang periksa kandungan di RSUD Ruteng, Manggarai. 

Bangku-bangku itu penuh orang, yang sebagian besar diduduki perempuan mengandung.

“Setiap hari digelar nyaris 10 operasi Caesar di sini [RSUD Ruteng],” kata Kepala Dinas Kesehatan Manggarai, Bertolomeus Hermopan kepada Floresa pada 11 Oktober.

Pada saat yang sama, katanya, “Manggarai kekurangan dokter spesialis kandungan.”

Pernyataan Bertolomeus sejalan dengan data yang diperoleh Floresa dari Kepala Bagian Tata Usaha RSUD Ruteng, Rosa Delima Agusta Jeni Moa.

“Kami hanya memiliki dua [dokter] spesialis kandungan,” kata Rosa pada 14 Oktober.

Padahal, kata Rosa, spesialis kandungan adalah “salah satu dari spesialis dasar” selain spesialis bedah, spesialis penyakit dalam dan spesialis anak.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2019 Tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit pada pasal 8 [4], menyatakan Pelayanan Medik Spesialis Dasar pada Rumah Sakit Umum meliputi pelayanan penyakit dalam, anak, bedah, dan obstetri dan ginekologi.

Obstetri adalah cabang ilmu kedokteran yang mempelajari kehamilan, persalinan dan pascapersalinan. Sedangkan ginekologi merupakan cabang ilmu kedokteran yang berfokus pada gangguan organ reproduksi.

RSUD Ruteng merupakan salah satu Rumah Sakit Umum Kelas C yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit empat spesialis dasar dan empat penunjang medik spesialis.

Kebutuhan dokter spesialis di RSUD Ruteng kian urgen, mengingat rumah sakit itu kerap didatangi pasien dari dua kabupaten tetangga, yakni Manggarai Timur dan Manggarai Barat.

“Dengan kebutuhan pelayanan tiga kabupaten turut terfokus di sini, [minimnya dokter spesialis] menjadi beban dan rasanya sulit mengucap ‘cukup,’” kata Bertolomeus.

Minim Perhatian

Kebutuhan akan dokter spesialis belum tampak dalam debat calon bupati dan wakil bupati Kabupaten Manggarai menjelang Pilkada 2024.

Mengambil tajuk “Peningkatan Pembangunan dalam Upaya Mewujudkan Masyarakat Kabupaten Manggarai yang Sejahtera dan Berdaya Saing”, debat digelar secara hybrid pada 30 Oktober.  

Hanya sepasang dari keseluruhan tiga pasangan calon [paslon] yang menyinggung dokter spesialis dalam debat tersebut.

“Yohan-Thomas menawarkan pendidikan kepada para dokter [setempat] untuk mengambil program spesialis,” kata Thomas Dohu dalam debat yang secara luring berlangsung di Manggarai Convention Center.

Berpasangan dengan Yohanes Halut, Thomas maju dalam Pilkada sebagai calon wakil bupati.

Dua kandidat lain, masing-masing Maksimus Ngkeros-Ronald Susilo dan Heribertus G.L. Nabit-Fabianus Abu.

Pernyataan Thomas merespons pertanyaan Ronald dalam sesi tanya-jawab antarpaslon. Ronald menanyakan strategi Yohan-Thomas mengatasi masalah angka kematian ibu dan bayi, serta tingginya angka pasien di Manggarai.

Yohan-Thomas sebelumnya menyinggung soal pelayanan gratis, pemenuhan dokter ahli dan penguatan sarana kesehatan dalam paparan visi dan misi. Keduanya tak secara khusus menyoal dokter spesialis.

Secara keseluruhan, RSUD Ruteng kini memiliki 14 dokter spesialis.

“Idealnya kami memiliki 74 dokter spesialis, dengan rasio 0,28 per 1000 penduduk. Dengan jumlah penduduk [Manggarai] sekitar 300 ribu orang, sudah pasti saat ini jumlah dokter spesialis sangat kurang,” kata Kepala Dinas Kesehatan Manggarai, Bertolomeus Hermopan.

Setali Tiga Uang di Manggarai Barat

Tak hanya dalam debat Pilkada Manggarai, kelangkaan dokter spesialis belum tersentuh dua paslon di Manggarai Barat, Christo Mario Y. Pranda-Richard Tata Sontani dan Edistasius Endi-Yulianus Weng.

Dalam debat perdana bertajuk “Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Berbasis Pembangunan Pariwisata Terintegrasi”, hanya Yulianus yang menyinggung soal kesehatan. Namun, ia tak secara khusus menyoal dokter spesialis.

Sementara itu, RSUD Komodo milik pemerintah Kabupaten Manggarai Barat “masih kekurangan sejumlah dokter spesialis, sehingga harus mendatangkan dokter dari luar daerah,” kata Maria Y. Melinda Gampar, direktur rumah sakit itu pada 11 Oktober.

Melinda berkata, RSUD Komodo membutuhkan “setidaknya 26 dokter spesialis.” Saat ini hanya ada 20 dokter spesialis di rumah sakit itu.

Sejak Agustus 2024, katanya, RSUD Komodo sudah memulai pelayanan jantung intervensi, setelah memiliki fasilitas Catheterization Laboratory atau Cath Lab, merujuk pada ruang atau laboratorium untuk melakukan pemeriksaan pembuluh darah dan jantung. 

Meski Cath Lab sudah tersedia, RSUD yang beroperasi sejak 2015 itu belum memiliki dokter spesialis jantung intervensi. 

Akibatnya, pasien harus menunggu pelayanan dari dokter spesialis jantung yang didatangkan dari Rumah Sakit Umum Pusat Prof. Ngoerah Denpasar.

Pada Agustus, kata dia, sebanyak empat pasien ditangani oleh dokter spesialis jantung dari rumah sakit di ibu kota Provinsi Bali itu.

Selain dokter spesialis jantung, RSUD Komodo juga masih kekurangan dokter spesialis penyakit dalam. 

Idealnya, kata Melinda, RSUD Komodo membutuhkan tiga ketimbang dua spesialis dalam yang tersedia saat ini.

RSUD Komodo juga masih membutuhkan spesialis radiologi, katanya.

Sebelumnya, kata Melinda, mereka sudah memiliki satu dokter spesialis radiologi, namun kontraknya berakhir pada Agustus 2024.

Radiologis berperan penting dalam mendiagonosis penyakit. 

Melinda mengatakan, RSUD Komodo sudah memiliki fasilitas radiologi, tetapi belum diimbangi dengan ketersediaan dokter spesialis bidang ini.

Meski belum tersedia radiologis, pelayanan radiologi–termasuk rontgen dan CT Scan–tetap dilakukan. Pembacaan hasil untuk sementara dilakukan oleh masing-masing dokter spesialis, kata Melinda.

“Desember nanti baru ada dokter yang baru untuk melayani radiologi,” katanya.

Guna mengatasi kekurangan dokter spesialis, RSUD Komodo membuka program Pegawai Tidak Tetap [PTT] khusus dokter spesialis.

Melinda mengatakan “dokter PTT diberi gaji layak, rumah tinggal dan kendaraan roda empat.”

Bekerja sama dengan sejumlah fakultas kedokteran di beberapa universitas negeri, RSUD Komodo turut menerima dokter yang sedang menjalani tahap akhir pendidikan spesialis atau resident.

“Gaji atau honor serta rumah tinggal dan kendaraan roda empat dipersiapkan untuk jasa pelayanan mereka” ujar Melinda.

Sementara itu Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Manggarai Barat, Adrianus Ojo mengatakan, telah mengirim 22 orang dokter umum untuk menempuh pendidikan dokter spesialis. 

Tanpa memerinci jenis spesialisasinya, Adrianus mengatakan salah satu dari 22 dokter itu sedang mengikuti pendidikan subspesialis penyakit dalam.

Kondisi Serupa di Lembata

Di Lembata, hanya paslon Reinaldus Jimmy Sunur-Lukas Lipataman dari keseluruhan enam pasangan yang menyinggung soal dokter spesialis. 

Dalam debat 26 Oktober, Jimmy, yang berprofesi dokter spesialis kandungan mengaku “akan menyekolahkan anak muda Lembata ke jenjang dokter spesialis.”

Sumber dana pendidikan dokter spesialis, katanya, dari Pendapatan Asli Daerah [PAD].

Jimmy memberikan gambaran. Tahun 2022, PAD Kabupaten Lembata mencapai Rp46 miliar. Sebanyak Rp16 miliar di antaranya bersumber dari RSUD Lewoleba.

Menurut Jimmy, saat ini 60% hasil PAD rumah sakit itu disalurkan ke Pemerintah Daerah, sementara RSUD mendapat 40%. 

Bila terpilih sebagai bupati, ia berjanji mengubah komposisi pembagiannya menjadi 20% untuk Pemerintah Daerah dan 80% untuk RSUD.

Porsi 80% untuk RSUD itu, kata dia, antara lain digunakan untuk membiayai siswa dan siswi berprestasi mulai dari tingkat SD hingga SMA, yang kelak diarahkan menjadi dokter spesialis.

Berprofesi sebagai dokter spesialis, katanya, “saya mengerti betul bagaimana proses pembiayaan dan mendapatkan keuangan dari kesehatan.”

Kerja Sama Residensi dengan Kampus

Kekurangan dokter spesialis kandungan di Lembata nyaris membahayakan nyawa seorang perempuan yang hendak bersalin pada akhir Agustus. 

Vinsensia Boi Lengari mengalami pecah ketuban saat berada di RSUD Lewoleba. 

Dalam situasi darurat itu, ia harus dirujuk ke RSUD Hendrik Fernandez Larantuka di Pulau Flores, karena tidak ada dokter spesialis kandungan yang bisa menanganinya.

Pulau Lembata dan Pulau Flores dipisahkan oleh Selat Larantuka. Diperlukan waktu tempuh 1,5 jam bila menggunakan kapal cepat atau 3,5 jam dengan kapal kayu untuk berpindah antarkedua pulau itu.

TW, seorang warga Desa Paubokol, Kecamatan Nubatukan, Kabupaten Lembata, yang meminta namanya tidak dipublikasikan karena alasan keamanan, juga punya cerita soal dampak ketiadaaan dokter spesialis di Lembata.

Ia mengatakan, ketiadaan dokter spesialis menyebabkan keluarganya yang menderita penyakit saraf dirujuk ke RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes di Kupang.

TW berkata sakit yang diderita saudara kandungnya itu cukup serius, hal yang membuatnya sulit bergerak dan tidak bisa beraktivitas normal.

Sakit kakaknya itu juga mengharuskan TW ikut menemani pengobatannya di Kota Kupang.

“Untuk jenis sakit seperti kakak saya ini, pihak RSUD Lewoleba belum memiliki dokter spesialis saraf,” katanya.

Direktur RSUD Lewoleba, Yosef Freinademetz Pau mengatakan rumah sakit pimpinannya saat ini tidak memiliki dokter spesialis kandungan. 

Sebelumnya mereka memiliki dua dokter spesialis kandungan, yang salah satunya adalah Jimmy Sunur. Seorang lain mengundurkan diri karena alasan keluarga.

Guna mengatasi ketiadaan dokter spesialis kandungan, Pemda Lembata menjajaki kerja sama dengan Universitas Hassanudin Makassar dan Universitas Brawijaya Malang.

Kerja sama berfokus “untuk mendatangkan dokter spesialis kandungan,” kata Yosef.

Sementara sejak September RSUD Lewoleba bekerja sama dengan Universitas Udayana Denpasar untuk mendatangkan dokter mata.

Untuk menarik minat dokter spesialis bekerja di Lembata, katanya, “kami sudah bicara dengan Penjabat Bupati Lembata, Paskalis Ola Tapobali terkait insentif dokter spesialis.”

“Sudah dibicarakan untuk menaikkan [insentif] Rp30 juta perbulan dari Rp15 Juta. Pemberlakuannya mulai Oktober tahun ini,” kata Yosef.

Ke depan, katanya, RSUD Lewoleba berencana mencari dokter neurologi untuk mengatasi pasien-pasien stroke yang semakin banyak serta dokter spesialis radiologi.

“Rencana ini sudah ada titik terang. Kami sudah meminta bantuan Kementerian Kesehatan melalui program adaptasi yang realisasinya pada Oktober,” kata Yosef.

Selain mendatangkan dokter spesialis, RSUD Lewoleba “turut membantu mendorong sekolah kedokteran untuk spesialis dokter mata dan jantung pembuluh darah.” 

Dukungan Politik Anggaran

Ketua Ikatan Dokter Indonesia [IDI] Wilayah NTT, Stefanus Dhe Soka mengatakan penguatan fasilitas kesehatan di RSUD setempat “harus menjadi perhatian pimpinan daerah.”

“Salah satu wajah pelayan publik itu bisa dilihat dari kemampuan rumah sakit daerah dalam memberikan pelayanan,” kata Stefanus ketika dihubungi Floresa pada 31 Oktober.

Dalam jangka pendek, jelasnya, perlunya penguatan, tidak hanya infrastruktur sarana dan prasarana, tetapi juga sumber daya manusia diperkuat. 

“Jangka pendeknya melakukan kerja sama dengan institusi-institusi pendidikan agar dokter-dokter ahli yang baru selesai tamat itu bisa bekerja di wilayah setempat,” ujarnya.

Untuk menarik minat dokter-dokter ahli atau spesialis ini, kata Stefanus, daerah harus memberikan insentif yang memadai agar para dokter spesialis betah bekerja di daerah, sekaligus sebagai “marketing” untuk menarik dokter-dokter dari luar agar mau bekerja di wilayah tersebut.

Karena itu, harus ada dukungan politik anggaran dari kepala daerah.

“Kalau tidak ada komitmen itu, saya pikir kepala dinas kesehatan atau direktur rumah sakit tidak bisa berbuat banyak,” katanya.

Dalam jangka panjang, upaya untuk mengatasi kelangkaan dokter spesialis di daerah ini, menurut Stefanus, dilakukan melalui pendidikan dokter spesialis yang berasal dari wilayah setempat. 

Program seperti ini pernah dilakukan semasa Provinsi NTT dipimpin Piet A.Tallo dan Frans Lebu Raya, katanya. 

Program pendidikan dokter spesialis non reguler yang dilaksanakan era kedua gubernur itulah yang kemudian banyak mengisi kebutuhan dokter spesialis di RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang.

Program ini, kata Stefanus, mestinya bisa diadopsi oleh bupati dan wakil bupati di NTT untuk mengisi kekurangan dokter spesialis di masing-masing kabupaten. 

Faktanya, tambah Stefanus, setiap tahun kabupaten mengeluhkan kekurangan dokter spesialis.

“Ini seperti litani,” katanya, “setiap tahun berteriak kekurangan dokter, [tetapi] tidak ada semacam keberpihakan terhadap program peningkatan SDM.”

Dukungan Pemerintah Pusat

Pada Mei 2024, Kementerian Kesehatan sudah meluncurkan Pendidikan Dokter Spesialis berbasis Rumah Sakit Pendidikan Penyelenggara Utama [Hospital Based], yang bertujuan untuk mempercepat produksi dokter spesialis di Indonesia.

Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin dalam laporannya pada acara itu mengungkapkan kekurangan dokter spesialis terjadi karena ketersediaan dokter spesialis di Indonesia hanya 2.700 orang per tahun.

Padahal, katanya, Indonesia membutuhkan 29.000-30.000 dokter spesialis per tahun.

Program Pendidikan Dokter Spesialis dari Kementerian Kesehatan yang memperluas akses pendidikan dokter spesialis di institusi-institusi pendidikan mesti didukung oleh daerah, kata Stefanus Dhe Soka dari IDI NTT. 

Dukungan itu, jelasnya, antara lain dengan mempermudah proses izin belajar kepada dokter-dokter umum di daerah.

Kepala daerah, juga mesti “jemput bola” ke institusi pendidikan, “tidak membiarkan dokter-dokter itu mencari sendiri.”

Program ini, kata Stefanus, menjadi “kesempatan bagi dokter-dokter di daerah” karena kuota yang akan diterima untuk pendidikan dokter spesialis menjadi lebih banyak.

Laporan ini dikerjakan Petrus Dabu, Anjany Podangsa di Manggarai Barat, Mikael Jonaldi di Manggarai dan Adrian Naur di Lembata

Editor: Anastasia Ika

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA