Floresa.co – Warga adat Poco Leok, Kabupaten Manggarai mengkritisi pernyataan para pasangan calon [paslon] bupati-wakil bupati daerah itu, yang dianggap “cari aman” saat berbicara terkait proyek geotermal dalam debat terbuka menjelang Pilkada 2024.
Arkadius Trisno Anggur, seorang anak muda Poco Leok mengatakan tiga paslon “tidak menunjukkan sikap yang jelas untuk bersama warga menolak geotermal.”
“Tampaknya para calon enggan mengambil posisi yang jelas dalam menanggapi proyek geotermal,” kata laki-laki 23 tahun itu, “meski warga sudah menyampaikan dampak buruknya terhadap lingkungan dan ruang hidup.”
Hal tersebut, kata dia, menunjukkan para paslon “hanya fokus menjaga hubungan baik dengan semua pihak ketimbang mengambil sikap tegas untuk membela warga yang terdampak.”
Sikap ketiga paslon “menimbulkan pertanyaan publik terkait komitmen mereka memperjuangkan kepentingan warga.”
Menurut Trisno, warga adat Poco Leok “sangat membutuhkan ketegasan calon pemimpin, yang dapat mengakomodasi suara penolakan mereka dalam proses pengambilan keputusan yang inklusif dan transparan.”
Debat terbuka yang digelar di Manggarai Convention Center pada 30 Oktober itu menghadirkan pasangan Maksimus Ngkeros-Ronald Susilo dan Yohanes Halut-Thomas Dohu.
Sementara Hery Nabit, calon petahana hadir tanpa didampingi calon wakilnya Fabianus Abu yang dikabarkan sakit menjelang debat.
Nabit membuka sesi tanya-jawab antarpaslon dengan pernyataan soal “kurangnya energi listrik menyebabkan masih banyak kampung atau dusun yang belum teraliri listrik,” mengacu pada proyek geotermal Poco Leok yang disebutnya “menimbulkan polemik.”
Ia menyambungnya dengan pertanyaan ke pasangan Maksi-Ronald: “Bagaimana paslon nomor urut satu memandang ini dan geotermal sebagai salah satu sumber energi?”
Ngkeros merespons pertanyaan itu, menjawab “strategi komunikasi yang baik dapat menghindari penolakan warga.”
Strategi komunikasi yang disebutkannya termasuk pelibatan seluruh warga supaya “tak terjadi miskomunikasi.”
“Saya kira [melalui upaya itu], tolak-menolak dan konflik pasti tidak akan terjadi,” katanya.
Nabit merespons balik seraya bertanya kembali, “andai strategi komunikasi diperbaiki sehingga tidak terjadi miskomunikasi, apakah perluasan [proyek] geotermal ini bisa dilakukan di Poco Leok?”
Ngkeros balas bertanya, “Apa memang harus di Poco Leok? Flores [menyimpan] banyak potensi panas bumi. Di Wae Pesi [Kecamatan Reok, Manggarai] juga ada potensi panas bumi. Jadi, apa harus di Poco Leok?”
Pertanyaan yang sama terkait polemik tersebut dilontarkan Nabit kepada pasangan Halut-Dohu.
Halut, yang menyebut Poco Leok sebagai “kampung halaman saya” dan “kampung nenek moyang saya” mengatakan pemerintah daerah perlu melakukan pendekatan budaya kepada warga.
“Sosialisasi berkaitan dengan perluasan jaringan Ulumbu mungkin kurang dilakukan oleh pemerintahan hari ini,” katanya menyinggung pemerintahan Nabit.
Ia juga mengatakan pemerintahan Nabit “bertanggung jawab” dalam polemik tersebut, sehingga “saya beri kepercayaan dan saya beri ruang itu kepada pemerintahan hari ini.”
Sementara itu, Dohu menegaskan pentingnya energi terbarukan, dengan menekankan bahwa Flores telah ditetapkan sebagai wilayah strategis dalam pengembangan energi tersebut.
Namun, katanya, “tidak boleh dilupakan bahwa di Poco Leok tinggal warga negara yang sama seperti kita. Penting melakukan pendekatan budaya dan mengukur dampaknya terhadap eksplorasi.”
Merespons pasangan Halut-Dohu, Nabit kembali bertanya, “Andai pendekatan budaya dan sosialisasi gencar dilakukan, dan pendekatan budaya sudah sesuai serta semua masyarakat menerima, apakah saya bisa menyimpulkan bahwa tidak ada keberatan dari paslon nomor tiga untuk perluasan area geotermal Poco Leok?”
“Ini sebenarnya pertanyaan yang cukup sulit, karena Yohan dan Thomas bukan berada di pihak yang pro maupun kontra. Tetapi, bagi kami, pendekatan budaya itu memang perlu,” jawab Halut.
Karolus Gampur [24], pemuda lainnya dari Poco Leok menilai sikap pasangan Halut-Dohu “ragu-ragu kendati seharusnya tahu persis bagaimana perasaan warga yang menolak proyek geotermal.”
“Kami tidak butuh janji kosong soal komunikasi atau sosialisasi. Kalau memang dia warga Poco Leok, mestinya tahu bahwa yang kami butuhkan adalah sikap tegas untuk melindungi tanah kami dari proyek ini,” katanya.
Ia juga mengatakan para paslon yang tidak berani mengambil sikap tegas menunjukkan “pengkhianatan terhadap warga Poco Leok.”
Karolus secara khusus menyoroti pernyataan Halut yang mengatakan polemik tersebut sebagai tanggung jawab pemerintahan Nabit, menyebutnya “plin-plan karena tidak berani melawan kepentingan pembesar demi rakyatnya sendiri.”
Sementara itu Milin Neter [25], pemuda asal Lungar, salah satu kampung adat di Poco Leok menegaskan sikapnya dan mayoritas warga yang menolak proyek tersebut karena “khawatir akan dampak negatif terhadap keberlanjutan lingkungan dan kebutuhan masyarakat sekitar.”
Ia menekankan Poco Leok berupa perbukitan, topografi yang dianggapnya “tidak mendukung proyek ini dilakukan di sana.”
“Jika terjadi kebocoran gas panas bumi, kami khawatir tidak ada yang bisa mengendalikan situasi tersebut, dan itu pasti akan menghancurkan Poco Leok,” kata Milin soal perbukitan di tanah kelahirannya yang sekilas mirip kuali.
Selain itu, ia juga mempersoalkan kurangnya keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan terkait proyek tersebut.
“Bupati [Nabit] mengeluarkan surat keputusan penetapan lokasi tanpa melakukan sosialisasi terlebih dahulu dengan kami. Informasi yang disampaikan seringkali terbatas, dan tidak ada diskusi terbuka dengan masyarakat yang terkena dampak langsung,” katanya.
Milin berharap bupati dan wakil bupati yang terpilih dapat mendengarkan suara warga.
“Seringkali proyek-proyek besar seperti ini membawa keuntungan finansial untuk pihak luar. Sementara kami, masyarakat lokal, hanya menerima dampak negatifnya,” katanya.
Proyek geotermal Poco Leok merupakan salah satu Proyek Strategis Nasional, perluasan dari PLTP Ulumbu yang telah beroperasi sejak 2011.
Proyek PLTP Ulumbu Unit 5-6 tersebut, yang masuk dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PT PLN 2021-2030 menargetkan energi listrik 2×20 Megawatt, meningkat dari 10 Megawatt yang dihasilkan saat ini.
Bupati Nabit, yang menerbitkan SK Penetapan Lokasi proyek tersebut pada 1 Desember 2022, sempat ditolak warga saat berkunjung ke wilayah itu pada Februari 2023.
Berbagai aksi penolakan lainnya telah dilakukan warga, termasuk yang direspons dengan tindak kekerasan oleh aparat keamanan pada 2 Oktober.
Herry Kabut, Pemimpin Redaksi Floresa dan empat orang warga mengalami penganiayaan dan penyekapan saat aksi “jaga kampung” tersebut.
Selain aparat, seorang oknum jurnalis berinisial TJ juga ikut serta menganiaya Herry.
Saat ini, kasus kekerasan terhadap warga dan jurnalis tersebut sedang diproses Divisi Profesi dan Pengamanan dan Divisi Reserse dan Kriminal Polda NTT.
Editor: Anno Susabun