Floresa.co – Yuventa Tia tengah menyiapkan menu untuk makan malam. Ia memasak hura [ubi gembili] dan singkong, serta membuat ketupat. Tetangganya baru saja mengantar daging ayam sebagai lauk.
Pada malam pertengahan September itu, akan ada ibadah Doa Rosario di rumahnya, Dusun Nitung, Desa Nitunglea, Kecamatan Palu’e, Kabupaten Sikka. Ibadah umat Katolik itu biasa dilakukan secara bergilir dari rumah ke rumah. Di Palu’e, Doa Rosario bergilir dilakukan setiap Kamis malam sepanjang tahun, tidak hanya pada Mei dan Oktober sebagaimana dipraktikkan umat Katolik di wilayah lain.
Klemens Riba, suaminya, berangkat subuh ke salah satu kebun mereka, menyiapkan segala yang diperlukan untuk musim tanam yang akan datang. Lahan itu akan ditanami jagung, kacang tanah, kecipir, kacang ijo, labu, dan lain-lain.
Di kebun yang lain, keluarga petani itu menanam tanaman komoditas seperti jambu mete, kemiri, kakao dan kelapa. Hasilnya mereka jual untuk membiayai kebutuhan sehari-hari dan pendidikan anak. Satu anak mereka sudah jadi sarjana pendidikan dan mengajar di Kota Maumere.
“Di sini lahan hasil. Kecuali padi. Padi tidak bisa tumbuh di sini,” kata Klemens, 61 tahun.
Bagi warga Palu’e, haram menanam padi di tanah mereka. Mereka percaya, jika menanam padi, akan terjadi kekeringan hingga padi layu, lalu mati. Kalau bukan kekeringan, hujanlah yang akan datang berhari-hari hingga padi membusuk.
Klemens menjabat sebagai Ketua Kelompok Tani Nitung Nata Rora. Beranggotakan 23 kepala keluarga, setiap tahun kelompok ini mendapat jatah benih jagung hibrida dari Dinas Pertanian Kabupaten Sikka.
“Kalau dikasih benih dari pemerintah, kami tanam saja. Tapi kami lebih banyak tanam jagung lokal,” kata Yuventa, 60 tahun.
Benih jagung lokal akan ditanam terlebih dahulu. Jika benih yang disiapkan sudah habis, benih jagung hibrida akan ditanami pada lahan yang masih kosong.
Selain jagung lokal, warga Nitunglea juga menanam jagung pulut lokal dan jagung bunga dari Timor.
Kacang-kacangan seperti kacang hijau dan kacang nasi juga ditanami bersamaan dengan penanaman jagung.
Saat panen, jagung lokal akan dipisahkan dengan jagung hibrida. Karena tidak tahan disimpan, jagung hibrida akan diolah terlebih dahulu dalam bentuk beras jagung. Beras jagung ini akan dimasak dengan beras dari padi menjadi nasi jagung. Dedak jagung akan digunakan sebagai pakan babi dan ayam.
Jika jagung hibrida sudah habis dimakan, giliran jagung lokal yang akan dikonsumsi.
“Jagung hibrida kami tanam, panen, jemur, langsung giling, langsung makan. Soal rasa, jagung hibrida lebih manis dari jagung lokal,” ujar Klemens.
Sementara itu, hasil panen jagung lokal akan dijemur sampai kering, kemudian disimpan di loteng rumah. Lantai loteng terbuat dari bambu atau papan. Jagung yang siap disimpan akan diikat dengan tali menyerupai kalung, lalu dililit pada kuda-kuda rumah.
Di rumah Klemens, dua bambu berdiri tegak, bertumpu di atas tembok hingga ke kuda-kuda. Salah satu batang bambu itu terlilit jagung, sisa dari hasil panen tahun lalu.
Setiap keluarga menyimpan hasil panen jagung di loteng rumah mereka. Tidak seperti jagung hibrida yang tidak bertahan lama jika disimpan dan mesti segera dikonsumsi, jagung lokal awet bertahun-tahun. Biasanya, di tahun ketiga jagung yang disimpan sudah habis dikonsumsi.
“Orang Palu’e tidak jual hasil kebun,” kata Yuventa.
Umbi-umbian akan diambil dari kebun jika hendak dimakan. Jika ada kerabat jauh yang berkunjung, mereka segera ke kebun, menggali ubi untuk oleh-oleh.
Sementara hasil panen kacang hijau, kacang kayu [Vigna umbellata], biji kecipir [Psophocarpus tetragonolobus], dan biji kacang panjang yang dipisahkan dari kulit diisi ke dalam botol atau jerigen. Setelahnya, disimpan di loteng rumah atau di loteng dapur. Semakin dekat dengan tungku api, benih tersebut semakin awet.
Orang Palu’e juga punya kebiasaan berbagi benih. Jika ada keluarga yang kehabisan benih, keluarga lain yang masih punya persediaan cukup akan membagikannya.
Jagung merupakan salah satu bagian penting saat acara adat pati karapau atau potong kerbau. Acara ini merupakan ritual lima tahun sekali sebagai bentuk syukur dan penghormatan terhadap leluhur dan wujud tertinggi ‘era wula watu tana’.
Pati karapau dilakukan di sebuah tempat suci di tengah kampung yang dinamai tubu. Di dalam tubu terdapat mase atau mezbah. Setiap tubu dimiliki oleh satu klan dan dipimpin oleh laki mosa. Terdapat delapan tubu yang tersebar di enam kampung di Kecamatan Palu’e yaitu di Kampung Nitung, Cua, Ko’a, Lei, Tomu dan Ndeo. Pati karapau dilakukan di masing-masing tubu dan pada waktu yang berbeda dengan tubu yang lain.
Jika tubu yang satu melakukan ritual pati karapau maka ia akan mengundang kerabat dari tubu yang lain untuk turut hadir. Keluarga dari tubu yang mengundang akan menyiapkan babi. Sedangkan keluarga yang diundang akan membawa hasil kebun berupa jagung, kacang hijau, umbi-umbian, serta beras yang dibeli di pasar. Semakin besar ukuran babi yang diberikan, semakin banyak pula hasil kebun dan beras yang diterima.
Selain pati karapau, jagung juga dimanfaatkan dalam belis [mas kawin] orang Palu’e. Keluarga besar pengantin laki-laki akan membawa gading, hewan ternak, uang, dan emas sebagai hantaran belis, sedangkan keluarga pihak perempuan akan membalas dengan hasil kebun berupa kacang hijau, jagung, kacang-kacangan, dan beras.
Di acara-acara lain seperti perayaan kelahiran, sambut baru – upacara dalam Gereja Katolik – , dan kematian, jagung menjadi bawaan wajib keluarga-keluarga yang turut hadir.
Jagung yang menjadi hantaran pati karapau maupun belis adalah semua jenis jagung hasil kebun, bukan yang dibeli di pasar.
“November nanti ada acara potong kerbau di Cua,” kata Yuventa. Kampung Cua tidak jauh dari Nitunglea, sekitar 250 meter ke arah barat.
Pemaknaan orang Palu’e terhadap jagung membuat beberapa program pemerintah tidak cocok diimplementasikan di wilayah ini.
Hal ini berbeda dengan wilayah lain di Sikka, seperti di Kecamatan Waigete. Pada 2022, desa-desa di Waigete menjadi sasaran Program Tanam Jagung Panen Sapi yang diprakarsai oleh Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Dalam program yang dimulai sejak 2019 itu, pemerintah provinsi memberikan pinjaman modal Rp10 juta kepada para petani untuk membeli benih, pupuk dan sarana produksi. Penggunaannya diawasi oleh tenaga pendamping. Hasil panen jagung berupa jagung kering akan dijual kepada offtaker/mitra pemerintah dengan harga eceran terendah Rp3.200 atau mengikuti harga pasar. Kelebihan produksi bisa dijual untuk membeli sapi.
Di Sikka, Pemda menawarkan petani untuk membeli babi. Meski sudah berjalan, namun tak semua petani mengikuti program ini.
Inosensius Warce, 50 tahun, salah satu petani di Desa Egon, Kecamatan Waigete ini tak ikut program Tanam Jagung Panen Sapi. Menurutnya Dinas Pertanian Kabupaten Sikka merekomendasikan untuk menanam jagung komposit dan bakal dijual sebagai jagung kering. Sementara mayoritas petani di desanya lebih banyak menanam jagung hibrida dan menjualnya dalam bentuk jagung muda.
Warce menjual jagung muda secara langsung kepada distributor kenalannya. Jenis jagung manis sebagian besar ia jual ke Larantuka, Flores Timur.Salah satu lahan jagungnya terletak persis di pinggir Jalan Trans Larantuka-Maumere dan menjadi sumber pendapatan lain keluarganya. Ia mendirikan Lapak Jagung Rebus Dewi Fortuna yang dibuka setiap hari. Dilengkapi empat bale-bale beratap daun kelapa duduk, lapak itu menjadi tempat menikmati jagung rebus plus sambal mentah dari tomat, bawang merah, lombok, dan kemangi. Tiga tongkol jagung rebus dihargai sepuluh ribu.
Dalam setahun Warce bisa tiga kali menanam jagung. Bendungan Blidit menjadi penyokong kebutuhan air bagi petani di Kecamatan Waigete, termasuk lahan milik Warce.
Satu petak lahan jagungnya seluas 2,5 are. Ia tanami dengan satu bungkus benih berbobot 250 gram, berisi 1.800 butir benih. Jagung bisa dipanen antara hari ke-60 hingga ke-70 setelah tanam.
“Kita ukur-ukur dari 1.800 benih, bisa hidup 1.500,” kata Warce. Jika satu pohon menghasilkan satu saja tongkol jagung, dan harga per satu tongkol Rp1.000, maka keuntungan kotor dari menjual jagung mencapai Rp1.500.000. Ia juga perlu mengeluarkan biaya Rp250.000 untuk pestisida dan pupuk setiap kali tanam, belum terhitung ongkos pekerja dan benih. Ia menanam lebih dari lima petak.
Pada hamparan lahan pertanian seluas kira-kira 45 hektare di belakang lapaknya tidak ada lagi yang menanam benih jagung lokal.
“Sekitar tahun 2000-an awal, mayoritas petani di sini sudah banyak tanam jagung hibrida,” ujarnya.
Warce juga turut menjual benih jagung bermerek Panah Merah kepada sesama petani. Untuk jagung pulut manis, ia menyediakan jenis Kumala. Sementara jagung manis, ada jenis Bonanza. Ada pula jenis Jutawan yang jagungnya berwarna putih dan ungu, dan jenis Jantan yang berwarna ungu. Semua jenis jagung itu hibrida F1. Setiap bungkus dengan bobot 250 gram dijual seharga Rp120.000.
Palu’e dan Waigete punya perbedaan atas perlakuan dan konsumsi benih. Berikut tabel perbedaan benih lokal dan benih komersial.
Indikator | Benih Lokal | Benih Komersial [benih hibrida, benih komposit] |
Nama varietas jagung yang ditanam | Jagung lokal [tidak teridentifikasi] | Kumala F1, Bonanza F1, dll |
Akses benih | Rumah | Pabrik benih, Dinas Pertanian dan Perkebunan, NGO, dll |
Perlakuan atas benih | Setelah panen, benih jagung disimpan di dapur dekat tungku dapur atau loteng rumah. | Tidak ada |
Orientasi tanam | Lumbung, dikonsumsi sendiri, ternak, dan kebutuhan acara adat masyarakat Palu’e | Dijual |
Produktivitas | Lebih rendah dibanding jagung hibrida | Lebih tinggi dibanding jagung lokal |
Ketahanan simpan | 1-3 tahun | Kurang dari 1 tahun |
Pola konsumsi | Beras jagung, bubur jagung, emuk [tepung jagung yang disangrai], dan lain-lain | Jagung rebus, sup sayur, perkedel jagung, dan lain-lain |
Biaya lain | Tidak ada | Biaya pengadaan benih, pupuk, pestisida |
Keunggulan | Lebih tahan pada kondisi tanah, iklim yang kering, dan tahan hama | Membutuhkan pupuk, air yang cukup, dan pestisida |
Riska Ayu Purnamasari, dosen Fakultas Agroteknologi Universitas Gadjah Mada menyatakan, Indonesia dengan kondisi alam serta budaya yang beragam tidak bisa dipaksakan dengan penyeragaman pangan melalui penyeragaman benih.
“Saya sedikit banyak tidak setuju dengan penyeragaman benih melalui distribusi benih-benih hibrida. Hal ini bisa memiliki dampak yang lebih luas, yaitu benih hibrida kelak menggantikan benih-benih lokal.” jelasnya.
Dari sisi lingkungan, benih lokal lebih bisa beradaptasi dengan lingkungan, dan punya kemampuan tahan hama dan kekeringan, karena sudah beradaptasi dengan kondisi dan iklim setempat.
“Jika ada serangan hama besar-besaran, produktivitas jagung lokal mungkin menurun namun lebih bertahan daripada jagung hibrida,” kata Riska.
Pada 2020, Kabupaten Sikka mengalami penurunan produksi jagung akibat serangan hama ulat grayak.
Menurut Data Produksi Jagung 2016-2020 dari Dinas Pertanian Kabupaten Sikka, panen jagung menurun hingga 37% pada 2020 dari 30.880,21 ton pada 2019. Di Kecamatan Kangae, produksinya turun drastis dari 3.237,73 ton pada 2019 menjadi hanya 8,98 ton pada 2020. Sementara di Kecamatan Waigete turun 48% dari 2.367,23 ton panenan tahun sebelumnya.
Jagung milik Warce juga mengalami gagal panen pada 2020. “Kami, empat tahun lalu itu, woi ngeri, itu hama. Hampir semua kena,” kata Warce. Pestisida jadi solusi sementara agar hama ulat tak lagi menyerang.
Dari data yang sama, Palu’e mengalami kenaikan produksi jagung dari 602 ton pada 2019 menjadi 624 ton pada 2020.
Menurut Yuventa dan Klemens, lahan jagung mereka tidak pernah diserang ulat grayak besar-besaran.
Berkaca pada pengalaman di Palu’e, menurut Riska, sistem pangan lokal memang memiliki keunggulan, yaitu lebih bisa menjaga lingkungan karena lebih minim pestisida dan mayoritas menggunakan pupuk anorganik.
Masyarakat adat Palu’e juga memiliki pengetahuan sendiri atas pangan lokalnya.
Dari praktek masyarakat Palu’e, para petani berhasil menyediakan kebutuhan pangan sendiri dari benih lokal seperti jagung. Kehilangan benih lokal artinya kehilangan ketahanan pangan, pengetahuan lokal, dan identitas.
“Setiap sistem pangan modern maupun lokal punya kelebihan dan kekurangan. Tidak bisa dipungkiri bahwa produktivitas benih lokal bisa saja lebih rendah jika dibandingkan dengan benih hibrida,” kata Riska.
“Namun yang paling baik untuk tanah dan lingkungan tentu saja sistem pangan lokal,” tambahnya.
Riska menyarankan agar sistem pangan modern boleh dijalankan, namun dengan kehati-hatian, sembari tidak mengesampingkan sistem pangan lokal yang sudah ada.
Editor: Ryan Dagur