Bendera Setengah Tiang HUT RI di Poco Leok, Simbol Duka dan Perlawanan terhadap Proyek Geotermal

“Kami masih dijajah“ dan “negara abai terhadap hak kami,” kata warga

Floresa.co – Kabut tipis turun perlahan dari puncak bukit, menutupi sebagian hutan hijau yang mengelilingi pemukiman di kampung adat Poco Leok, Kecamatan Satar Mese, Kabupaten Manggarai.

Pada 17 Agustus pagi itu, tampak rombongan masyarakat adat beriringan menuju halaman Gendang Mucu, salah satu dari sepuluh gendang atau kampung adat Poco Leok yang menolak proyek geotermal.

Di halaman itu, mereka menggelar upacara bendera memperingati Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia (HUT RI) ke-80.

Warga mengenakan pakaian putih dipadu kain songke dan selendang tenun khas Manggarai. Tepat pukul 10.11 Wita, upacara bendera dimulai.

Semua tampak hening saat bendera berkibar pada  setengah tiang bambu. 

Beberapa perempuan menitikkan air mata, sebagian lagi mengepalkan tangan.

Masyaakat adat Poco Leok saat menghormati bendera pada upacara HUT ke-80 RI pada 17 Agustus 2025. (Dokumentasi Floresa)

Kami Masih Dijajah

Upacara dengan bendera setengah tiang itu adalah bagian dari ekspresi perlawanan terhadap proyek geotermal, perluasan dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Ulumbu.

Wacana proyek itu hadir sejak 2022, yang memicu munculnya beragam bentuk upaya protes karena mengkhawatirkan dampaknya bagi ruang hidup mereka.

Selain dengan penghadangan terhadap pemerintah dan perusahaan serta unjuk rasa berulang kali, upaya perlawanan lainnya diungkapkan adalah lewat upacara bendera setengah tiang.

Mereka telah melakukan upacara serupa tiga kali, sejak 2023.

“Kenapa kami menaikkan bendera setengah tiang? Karena kami masih dijajah,” kata Agustinus Tuju, seorang warga Gendang Nderu kepada Floresa.

Sejak awal tahun ini, masyarakat Poco Leok semakin merasakan bahwa “negara abai terhadap hak-hak kami.”

Meski dalam kondisi sulit, kata dia, warga tetap ikut merayakan HUT kemerdekaan.

Dengan perayaan itu “kami ingin tunjukkan negara ini adalah negara kami dan masyarakat adat adalah bagian dari negara.”

Kehadiran warga adat dari 10 gendang, katanya, juga  bukti bahwa mereka masih teguh memperjuangkan hak.

“Kami tidak tidur, kami siap menentang segala kebijakan yang tidak berpihak kepada kami,” kata Agustinus.

Wilhelmus Jehau, warga lainnya menambahkan, bendera setengah menunjukkan bahwa “masyarakat adat Poco Leok belum benar-benar merdeka.”

“Negara memang sudah merdeka, tapi kami belum. Hak-hak kami tidak dipedulikan. Itu sebabnya kami memilih berkabung,” katanya.

Ia menambahkan, “ini tanda duka kami karena tanah yang diwariskan leluhur sedang terancam dihancurkan.” 

“Kalau tanah hilang kami tidak punya apa-apa lagi. Bendera setengah tiang ini adalah simbol perlawanan sekaligus jeritan hati kami,” katanya.

Ia berkata, aksi itu juga sebagai pesan kepada pemerintah agar tidak lagi menutup mata terhadap penderitaan rakyat kecil.

“Jangan pikir kami diam. Kami masih ada, masih kuat, dan masih berjuang,” katanya.

Sementara itu, Kampianus Jebarus berkata, para pahlawan yang telah gugur merebut kemerdekaan berjuang dengan pengorbanan besar. 

“Tetapi sekarang, tingkah pemerintah yang tidak berpihak kepada masyarakat sangat mengecewakan. Perjuangan (para pahlawan) itu kini terasa dikhianati,” katanya.

Kampianus yang berasal dari Kampung Lungar berkata, pemerintah ada karena rakyat sehingga seharusnya berpihak pada rakyat, bukan sebaliknya.

Ia berkata, semangat mereka memperjuangkan tanah masih terus hidup karena bersama-sama berjuang demi menyelamatkan budaya dan adat istiadat.

Uang, kata dia, tidak ada gunanya jika tanah adat hancur.

“Kekayaan apa saja akan habis. Sapi, kerbau, kambing, kopi, kemiri, vanili, dan lainnya akan musnah kalau tanah Poco Leok hancur,” katanya.

Stefanus Baru, warga lainnya menyatakan penolakan mereka adalah demi masa depan anak cucu.

“Kalau tanah ini hancur, anak cucu kami akan kehilangan segalanya. kami tidak lagi punya sawah, kebun, dan hutan tempat kami menggantungkan hidup.”

Perjuangan warga, katanya, juga untuk mempertahankan martabat sebagai manusia yang merdeka.

Suara Kaum Perempuan

Emirensia Wasut, seorang perempuan adat berkata, pemerintah harus berhenti memaksakan proyek ini karena “kami yang paling merasakan dampaknya.”

“Kalau tanah ini hilang, kami kehilangan kebun tempat kami menanam jagung, sayur, kopi dan kemiri. Itu semua sumber hidup kami sehari-hari,” katanya.

Perempuan adat memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga tanah warisan leluhur, karena dari tanah itulah mereka bisa memberi makan keluarga, katanya.

“Kalau tanah dirampas, kami mau kasih makan anak-anak dengan apa?”

“Negara ini merdeka katanya, tapi kenapa kami yang sudah ada lebih dulu tidak diperhatikan? Kemerdekaan itu harus dirasakan semua orang, bukan hanya segelintir orang yang punya kekuasaan,” kata Emirensia.

Sementara Maria Teme, perempuan adat lainya menyebut “Poco Leok tanah leluhur kami, tanah adat kami.” 

“Mereka (pemerintah dan perusahaan) pikir kami penjahat, padahal kami hanya melindungi tanah kami,” katanya.

“Kami serahkan kepada leluhur, supaya siapa pun yang datang untuk menghancurkan Poco Leok leluhurlah yang akan melawan mereka,” katanya.

Maria Teme, perempuan adat Poco Leok. (Dokumentasi Floresa)

Proyek geotermal Poco Leok dikerjakan oleh PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan didanai oleh Bank Pembangunan Jerman atau Kreditanstalt für Wiederaufbau (KfW).

Warga Poco Leok tercatat 26 kali mengadang perwakilan pemerintah dan perusahaan.

Selain itu, mereka juga telah tiga kali menggelar unjuk rasa di Ruteng, memprotes langkah Bupati Manggarai, Herybertus GL Nabit yang mengeluarkan izin penetapan lokasi proyek itu pada 2022.

Dalam unjuk rasa terakhir pada 5 Juni, mereka bubar setelah diadang massa tandingan di bawah pimpinan Nabit.

Gubernur NTT, Emanuel Melkiades Laka Lena sempat mengunjungi Poco Leok pada 16 Juli untuk berdialog terkait proyek itu.

Namun, kehadirannya bersama aparat bersenjata laras panjang selama kunjungan itu memicu kritik luas karena dinilai sebagai praktik intimidasi dan unjuk kekuasaan.

Editor: Ryan Dagur

DUKUNG KAMI

Terima kasih telah membaca artikel kami.

Floresa adalah media independen. Setiap laporan kami lahir dari kerja keras rekan-rekan reporter dan editor yang terus berupaya merawat komitmen agar jurnalisme melayani kepentingan publik.

Kami menggalang dukungan publik, bagian dari cara untuk terus bertahan dan menjaga independensi.

Cara salurkan bantuan bisa dicek pada tautan ini: https://floresa.co/dukung-kami

Terima kasih untuk kawan-kawan yang telah mendukung kami.

Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA