Floresa.co – “Tanah Mama”, film karya Asrida Elisabeth (27), sutradara muda asal Manggarai-Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) akan mulai tayang di bioskop.
Film ini akan muncul di empat studio Cinema 21 dan dua studio Blitzmegaplex yang ada di Jakarta, Bekasi, Bandung dan Yogykarta.
Karya perdana Asrida ini mengisahkan tentang persoalan yang dihadapi perempuan Papua. Dengan tokoh utama Halosina, film in mampu mengangkat ke publik betapa getirnya perjuangan perempuan di Bumi Cenderawasih.
Halosina hidup di lembah pedalaman Yahukimo, sekitar lima jam jalan kaki dari pinggiran kota Wamena. Ia harus berjuang menghidupi dirinya dan empat anaknya setelah suaminya kawin lagi. Tanah ladang yang dibukakan oleh sang suami sudah tak subur lagi sehingga tak bisa ditanami. Namun, karena lebih memperhatikan istri keduanya, yang juga beranak banyak, maka Halosina tak bisa mengandalkan lelaki itu lagi untuk memberinya ladang.
Walhasil, di tengah himpitan kelaparan anak-anaknya, Halosina terpaksa mencuri ubi di ladang adik iparnya sendiri. Namun, ikatan kekeluargaan itu ternyata tak membuat Halosina terbebas dari hukuman.
Pemilik ladang dan ketua adat tetap bersikeras bahwa Halosina harus membayar denda satu ekor babi, atau sekitar Rp 500 ribu. Tak punya uang sepeser pun, Halosina akhirnya kabur dari desanya, dan ‘bersembunyi’ di rumah saudaranya di kampung sebelah.
Namun, ancaman denda terus mengejarnya, walau ia dengan gigih berupaya menempuh jalan damai dengan membujuk dan meminta maaf kepada sang adik ipar.
Apa yang disajikan dalam film Tanah Mama bukanlah fiksi.
“Ini kisah nyata hidup orang yang kemudian saya pinjam untuk dijadikan film, demi menyampaikan pesan tertentu”, kata Asrida kepada Floresa.co baru-baru ini. (Baca juga: Asrida Elisabeth, Sutradara Film “Tanah Mama” Itu dari Manggarai”)
Ia butuh waktu 3 tahun untuk riset film ini. Dan, karena menggunakan bahasa daerah, maka ia menghabiskan waktu untuk menerjemahkan naskah selama sebulan, serta editing sebulan. Sementara untuk pengambilan gambar, hanya butuh waktu 10 hari.
Film dokumenter berdurasi 62 menit ini sudah diluncurkan di Jakarta dan ditonton oleh kalangan terbatas pada akhir Desember lalu. (ARL/Floresa)