Oleh: Patrisius Eduardus Kurniawan Jenila
Tindakan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur [Pemprov NTT] yang baru-baru ini membongkar rumah dan menggusur masyarakat adat Besipae dari hutan adat Pubabu, Kabupaten Timor Tengah Selatan [TTS] merupakan bentuk penyingkiran mereka sebagai entitas sosial, kultural dan ekonomi. Tindakan itu sekaligus mencederai dan membonsai semangat demokrasi.
Sejumlah video yang beredar saat peristiwa itu menggambarkan bagaimana rumah-rumah warga dibongkar paksa. Nikodemus Manao, salah satu perwakilan masyarakat adat, melaporkan adanya pengeroyokan oleh aparat terhadap lima warga. Berbagai media juga telah memberitakan secara luas kejadian itu.
Pristiwa pada 20 Oktober 2022 ini tercatat sebagai penggusuran kelima terhadap masyarakat adat Besipae sejak 2020. Selama tiga tahun terakhir, Pemprov NTT memang mengintensifkan upayanya untuk menjalankan proyek pengembangan peternakan pada lahan 3.780 hektar di wilayah tersebut. Oleh Pemprov NTT, lahan itu diklaim sebagai haknya, sementara warga Besipae masih mempersoalkan klaim itu dan menuntut penyelesaian yang adil atas wilayah yang mereka sebut sebagai bagian dari tanah ulayat.
Dalam rangkaian peristiwa ini, tampak watak arogansi kekuasaan Pemprov NTT dengan tidak menghormati dan melindungi hak-hak sipil, ruang hidup dan entitas masyarakat adat. Sebagaimana dicatat oleh Komnas Perempuan, penggusuran itu juga disertai dengan tindakan kekerasan terhadap para ibu dan remaja perempuan.
Bukannya mencari solusi, langkah yang diambil Pemprov NTT di Besipae justru memancing konflik lebih luas dan berkepanjangan. Padahal, dalam menyelesaikan konflik yang melibatkan negara dan warganya, posisi negara harus berdiri mencari solusi. Minimal, memfasilitasi ruang dialog dan mengedepankan pendekatan kemanusiaan.
Apa yang terjadi di Besipae dan mengapa langkah penyelesaian masalah yang diambil oleh Pemprov NTT justu akan memperumit persoalan? Dan model kekuasaan seperti apa yang sedang ditunjukkan oleh Pemerintah Provinsi NTT?
Besipae dan Problem Struktural
Masalah yang terjadi di Besipae tidak terlepas dari sejarah perampasan tanah dari masyarakat adat di NTT. Dalam artikelnya berjudul Akumulasi Melalui Perampasan dan Kemiskinan di Flores, Emilianus Y Sese Tolo (2016), memotret persoalan kemiskinan di Flores yang lahir dari praktik akumulasi melalui perampasan (accumulation by dispossession) lewat sejarah penjajahan yang panjang, ketimpangan struktur agraria, dan depolitisasi massa rakyat. Kondisi seperti yang ditunjukan Tolo inil, menurut saya, juga sedang dialami oleh masyarakat adat Besipae.
Praktik akumulasi melalui perampasan yang memisahkan warga Besipae dari alat produksinya merupakan bentuk penghilangan dan penyingkiran masyarakat adat dari ruang hidup mereka sebagai warga. Untuk melicinkan agenda akumulasi perampasan ini, yang paling kentara dilakukan oleh Pemprov NTT adalah melakukan pembongkaran rumah-rumah warga.
Ketika berkunjung ke wilayah itu pada 27 Oktober 2022 dengan agenda menanam anakan lamtoro dalam rangka program Kolaborasi Sosial Membangun Masyarakat [Kosabangsa] g, Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat mengingatkan warga Besipae agar tidak membuat drama-drama. Ia mengatakan, “Jangan ada drama di Pulau Timor, khususnya Besipae. Jangan pura-pura menangis dalam penderitaan, apalagi memanfaatkan anak-anak. Tetapi mari kita kerja kolaborasi, sebab orang malas dalam penderitaan tidak akan disukai.”
Ada dua hal yang bisa ditarik dari pernyataan ini. Pertama, “jangan membuat drama dan pura-pura menangis dan apalagi memanfaatkan anak-anak.” Pada bagian ini, Viktor tidak mampu memahami apa yang dialami oleh war masyarakat Besipae ketika mereka kehilangan tanah dan ruang hidup mereka. Pernyataan ini jelas mencerminkan watak arogansi kekuasaan dan ketidakpeduliannya sebagai pemimpin NTT yang harus bertanggung jawab melindungi warganya.
Kedua, “orang malas dalam penderitaan yang tidak akan disukai.” Pernyataan ini jelas mencerminkan nalar dan logika kepemimpinan Viktor dalam memahami akar kemiskinan di NTT. Bagi Viktor, kemiskinan dan penderitaan yang dialami masyarakat Besipae lahir dari kemalasan. Padahal, pendekatan Viktor dengan menggusur rumah dan memaksa mereka meninggalkan tanah telah menjerumuskan masyarakat ke dalam kemiskinan.
Pada tingkat ini, Viktor gagal memahami, menganalisis dan mencermati akar kemiskinan di NTT sebagai problem struktural, yakni pemisahan masyarakat dari alat produksinya. Viktor lebih memajukan analisis atas kemiskinan sebagai faktor kemalasan, yang tampak sebagai bentuk ‘cuci tangan’ dari gaya kepemimpinannya yang tidak mampu memberikan kesejahteraan dan peningkatan ekonomi bagi masyarakat.
Di titik inilah kebijakan Viktor sebagai pemimpin mengatasi kemiskinan di NTT kerap hanya menyentuh masalah teknis, yang oleh Tania Murray Li (2022) (merujuk James Ferguson) dalam karyanya yang berjudul, Kisah dari Kebun Terakhir, Hubungan Kapitalis di Wilayah Adat, adalah bentuk teknikalisasi permasalahan.
Sejauh pembacaan saya, konflik di Besipae tidak lain merupakan bentuk dari problem struktural yang diinisiasi oleh negara. Ini dibuktikan dengan cara memisahkan masyarakat adat Pubabu dari ruang hidup mereka. dan didukung pula melalui pernyataan-pernyataan Viktor yang tampak arogan.
Pada tingkat ini, menurut saya, akumulasi melalui perampasan dengan jalan ketimpangan agraria dan depolitisasi masa rakyat sebagaimana dijelaskan Tolo dan ditambah dengan menggusur rumah-rumah warga, membuktikan adanya proses akumulasi melalui perampasan.
Totalitarianisme Lokal
Pada kasus Besipae kita melihat gejala praktik kekerasan, kebijakan kapitalistik dan kebangkitan totaliterianisme negara di NTT. Aparat pemerintah memakai kekuasaannya untuk memaksa warga menerima segala tindak-tanduk kekerasan itu sebagai sesuatu yang biasa dan normal.
Sikap Pemprov NTT, meminjam istilah John T Sidel (2005) dalam Politisasi Demokrasi, Politik Lokal Baru (Harris, Stokke dan Tornquist, eds), adalah seperti bos-bos lokal, yang menggunakan kekuasaan diskresi mereka terhadap peraturan, pembatasan kawasan, penyusunan kontrak, serta penggunaan pasukan polisi untuk mematahkan gerakan rakyat dan menggusur warga.
Penyelesaian masalah dengan jalan kekerasan dan pemaksaan kehendak mengakibatkan menguatnya ketidakpercayaan masyarakat (public distrust) atas negara dan institusi negara yang tidak mampu menjamin keberlangsungan pemenuhan dan perlindungan hak-hak sipil warga.
Solidaritas Massa
Menghadapi tekanan konflik yang melibatkan negara dan warga seperti di Besipae, menjadi penting solidaritas massa dan perlawanan kolektif yang lebih massif.
Ini barangkali bukan solusi yang paling mutlak. Tetapi, berharap pada negara menyelesaikan konflik di Besipae adalah jalan kesia-siaan. Toh, sampai hari ini Pemprov NTT telah menggusur rumah-rumah warga dan tetap memaksa agar kebijakannya berjalan.
Untuk itu, solidaritas masa yang melibatkan LSM, aktivis mahasiswa, media lokal dan jaringan masyarakat sipil harus perlu dibangun dalam menghadapi tekanan negara agar tidak semena-mena dan sembrono.
Jika hal seperti ini dibiarkan, tindakan serupa dalam rangka melicinkan kebijakan negara yang kapitalistik akan mungkin terjadi di tempat-tempat lain.
Patrisius Eduardus Kurniawan Jenila adalah alumnus Universitas Merdeka Malang pada program studi Administrasi Publik. Berasal dari Manggarai Timur, NTT, saat ini bekerja dan berdomisili di Jakarta.