Floresa.co – Sabtu, 2 Maret 2019 yang lalu, di pelataran wisata Kuliner Kita-Kita-Kampung Ujung Labuan Bajo, berlangsung sebuah pementasan Reog Ponorogo. Pementasan itu menjadi suguhan menarik bagi para wisatawan, sambil menikmati menu khas sea food khas Kuliner Kita-Kita.
Ini bukan kali pertama budaya asli tanah Jawa Timur itu dipentaskan di Labuan Bajo. Reog Ponorogo juga sempat memeriahkan event Festival Komodo 2018 yang lalu. Sebagian orang mungkin terdecak kagum dengan pementasan kebudayaan asli tanah Jawa Timur itu yang baru saja meraih rekor muri berkat penampilan kolosal yang melibatkan ribuan personel.
Namun itu tidak berlaku bagi seorang ibu Andi. Manajer I production yang juga terlibat aktif dalam kepengurusan Dewan Kesenian Manggarai Barat itu, justru merasa pementasan itu sebagai sindiran pedis bagi budaya Manggarai di tengah pesatnya perkembangan pariwisata hari ini. Sebagai pelaku seni, dirinya tidak habis pikir, mengapa bukan tarian Ndundu Ndake dari kelompok sanggar tari binaannya yang harus kebagian panggung malam itu.
Cerita lain lagi datang dari seorang pemandu wisata atau guide, bernama Paul, ketika pada medio 2018 yang lalu ia berkesempatan mengantar tamu orang Belanda dari Bali menuju Labuah Bajo. Saat itu ia merasa bingung, ketika sekembali trip satu hari dalam kawasan TNK, tamunya ingin sekali menyaksikan tarian khas etnik Manggarai pada malam hari di Kota Labuan Bajo.
Paul memaklumi permintaan para tamunya itu. Sebab selama berwisata beberapa hari di Pulau Dewata, pada malam hari mereka berkesempatan menyaksikan tarian barong, tarian kecak dan aneka budaya khas daerah Bali lainnya. Mengantongi informasi yang minim soal atraksi wisata serupa di Kota Labuan Bajo, ia pun langsung mengantar tamunya menuju hotel.
Tak ingin tamunya terus penasaran dengan budaya asli tanah Manggarai, keesokan harinya pun Paul mengantar mereka ke Rumah Tenun Baku Peduli yang terletak di Kampung Watu Langkas, 10 KM sebelah Timur Kota Labuan Bajo. Di sana mereka tidak saja kerkesempatan melihat tenun songke, tetapi juga menyaksikan secara langsung proses menenun kain songke dalam budaya Manggarai.
Omong soal pariwisata di Kabupaten Manggarai Barat, panorama keindahan alam ratusan Pulau dan bawah laut dalam kawasan TNK memang masih menjadi atraksi wisata utama. Sejauh ini, hanya desa Liang Ndara yang coba mengembangkan ekowisata. Di sana beberapa paket wisata khas budaya Manggarai seperti tarian caci, proses pembuatan topi re’a, dan proses pemecahan biji kemiri menjadi suguhan atraksi wisata yang menarik bagi para turis. Hingga sekarang komunitas ekowisata Liang Ndara rata-rata menerima lebih dari seratus paket kunjungan dalam setahun.
Lantas, apakah potensi kebudayaan kita tidak cukup menarik untuk dijadikan sebagai atraksi wisata? Atau kita takut terjebak ke dalam klaim jeratan sedang melakukan komersialisasi budaya? Mengapa daerah seperti Bali atau Jogja justru bisa menjadikan kekayaan budayanya sebagai bagian dari atraksi wisata, tanpa kehilangan jati diri? Atau memang grand design pembangunan pariwisata kita yang belum secara serius menggarap kebudayaan sebagai atraksi wisata yang sangat pontesial?
Mengangkat potensi budaya sebagai tawaran atraksi wisata di Kabupaten Manggarai Barat tampaknya bukan lagi menjadi sekadar pilihan agenda pembangunan sekarang ini. Ini agenda mendesak yang segera dipikirkan secara serius lintas stakeholder pariwisata. Selain untuk membendung potensi destruktif yang dipicu oleh mass tourism ke dalam kawasan TNK, membagi fokus pada pengembangan pariwisata budaya juga merupakan pillihan yang tepat bagi peningkatan ekonomi masyarakat Manggarai Barat sekarang ini.
Bukankah itu yang dimaksudkan dengan slogan pariwisata sebagai leading sector pembangunan? Bukankah itu juga yang menjadi dasar pertimbangan satu sapuan garapan pembangunan antara pariwisata dan budaya di bawah payung Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Manggarai Barat?
Kurang Greget
Penyatuan antara pariwisata dan kebudayaan di bawah Dinas Pariwisata dan Kebudayaan lantas menumbuhkan harapan jika Pemkab Manggarai Barat serius untuk mengangkat potensi budaya daerah sebagai atraksi wisata. Harapan itu kian tampak menjanjikan ketika membaca visi pembangunan dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Manggarai Barat yang tertulis jelas pada website instansi itu yaitu “terwujudnya kesejahtraan masyarakat Manggarai Barat melalui Pembangunan Kepariwisataan yang berbasis kerakyatan dan bertumpu pada eko wisata, kekhasan serta keunikan budaya”.
Namun sejauh ini itu langkah lanjutannya masih nampak suam-suam kuku. Sebagai instansi teknis, Dinas pariwisata dan Kebudayaan Manggarai Barat belum tampak optimal menggarap potensi budaya di Manggarai Barat. Wesbsite Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Manggarai Barat terbukti memberikan informasi yang begitu minim terkait potensi pariwisata budaya di Kabupaten Manggarai Barat. Hanya Rangkuk Alu, Ndundu Ndake dan tarian Caci yang terdaftar sebagai atraksi pariwisata.
Padahal di luar sana, masih begitu banyak potensi budaya daerah yang belum diangkat. Di Pulau Komodo ada tarian Kolo Kamba, Arugela dan seni Pencak Silat asli budaya orang Komodo. Selama ini, karena belum gencar dipromosi, potensi-potensi budaya tersebut belum dijadikan sebagai sebagai bagian dari paket perjalanan wisata ke Pulau Komodo. Paket village tour ke Kampung Komodo hanya untuk menyaksikan proses pembuatan patung Komodo dari para pengrajin patung. Haji Musalim, pegiat budaya di Kampung Komodo, mengatakan sejauh ini hanya ada satu trip agency yang secara konsisten memasukan tarian Arugela sebagai pilihan paket perjalanan wisata ke kampung itu.
Sementara itu, hampir setiap tahun di Kota Labuan Bajo selalu diselenggarakan event pariwisata atas nama promosi budaya. Namun pemerintah Manggarai Barat melalui Dinas Pariwisata dan Kebudayaan belum secara sungguh mengoptimalkan event-event ini sebagai ajang promosi wisata budaya. Festival Komodo Maret 2018 yang lalu di lapangan Kampung Ujung misalnya, menyebutnya sebagai pesta rakyat juga amat boleh. Tidak didahului perencanaan yang matang, event itu dinilai oleh banyak pihak hanya untuk menghabiskan anggaran. Alhasil, tak ada rotan akar pun jadi. Tidak berhasil menghimpun sanggar-sanggar kebudayaan dari kampung-kampung di Manggarai Barat, Dinas-Dinas di Kabupaten Manggarai Barat pun akhirnya terkesan dipaksa untuk masing-masing menampilkan acara. Ada yang vokal group, tarian dan sebagainya.
Butuh Kerja Sama
Selain pemerintah, stakeholder pariwisata yang lain bukan tidak punya usaha untuk terlibat aktif dalam mengangkat potensi budaya Manggarai untuk dijadikan sebagai atraksi wisata.
Menangkap prospek pembangunan pariwisata, pada tahun 2016 yang lalu, dibentuklah Dewan Kesenian Kabupaten Manggarai Barat. Wadah ini konon akan menaungi para pelaku seni baik individual maupun komunitas sekabupaten Manggarai Barat.
Namun hingga sekarang ini, wadah ini belum sungguh menjalankan fungsinya sebagai mitra Pemkab Manggarai Barat. Ibu Andi, salah seorang staf pengurus, bercerita jika antara wadah ini dengan Dinas Pariwisata Manggarai Barat belum terjalin kerja sama yang baik. Pada tahun 2018 misalnya, sebagai pengurus, dirinya tidak tahu jika ada alokasi anggaran khusus dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan untuk perlombaan seni tari. Ia baru mengetahui informasi itu ketika dipanggil untuk menjadi juri lomba. Menurutnya, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan harusnya sejak awal membicarakan hal tersebut dengan Dewan Kesenian Kabupaten Manggarai Barat, mengingat cukup kuatnya jaringan wadah ini dengan sejumlah kelompok sanggar tari di Manggarai Barat.
Sementara itu dari kalangan para pelaku wisata, seperti para guide dan pemilik trip agency, mereka mau-mau saja untuk menyertakan beberapa spot budaya ke dalam paket perjalanan yang mereka tawarkan kepada para turis. Aloysius Suhartim Karya, pengampuh trip agency Komodo Trekker, sempat berpikir untuk menjadikan narasi tentang Mbutak di Kampung Terang-Kecamatan Boleng sebagai paket trip yang hendak ia tawarkan kepada para turis. Pangan alternatif orang Boleng ini, proses pembuatannya, kapan ia dimakan, menurutnya dapat dijadikan sebagai sajian wisata yang menarik bagi wisatawan.
Namun jika merujuk pada UU No. 10 tahun 2009 tentang kepariwisataan, menurut Louis, dari segi amenitas dan aksesibilitas, budaya Mbutak di Kampung Terang masih cukup sulit untuk dijadikan sebagai atraksi wisata budaya. Secara amenitas, perjalanan yang memakan waktu lama dari Labuan Bajo menuju Terang, akan terasa membosankan bagi para wisatawan, sebab tidak ada spot-spot pariwisata antara yang bisa disinggahi. Semantara itu, dari segi aksesibilitas, kondisi jalan raya dari Labuan Bajo menuju Terang yang rusak parah, menurut Louis, juga menjadi tantangan berat.
Berbeda halnya dengan Kampung Wae Rebo. Meskipun secara amenitas dan aksesibilitas masih jaruh dari kata ideal, namun menurut Louis, Wae Rebo diuntungkan dengan predikat world herritage. Sebagai pelaku wisata, ia pun sangat mengharapkan terjalinnya kerja sama antara pelaku wisata dengan pemerintah Manggarai Barat dalam rangka mempromosikan makin banyak potensi pariwisata berbasis budaya di Manggarai Barat. Harapannya, pemerintah harus memberi perhatian yang lebih serius pada kondisi infrastruktur seperti jalan raya menuju spot-spot pariwisata budaya.
Butuh Dukungan Regulasi
Berkaca pada daerah lain di Indonesia, di mana pariwisata budayanya berkembang pesat justru berkat dukungan penuh dari regulasi. Desa-desa wisata di Bali berkembang dengan baik di bawah dukungan Perda Desa Adat. Atau pengalaman lain dari Kabupaten Sikka-NTT. Keseriusan pemerintah daerah dalam rangka pembangunan pariwisata di Kabupaten itu dibuktikan dengan langkah menerbitkan Perda khusus No. 3 tahun 2017 tentang Usaha Pariwisata. Pasal 36 dari Perda itu dengan jelas merumuskan wajib menggunakan busana daerah pada pekerjaan.
Untuk konteks Kabupaten Manggarai Barat, sejauh ini belum ada produk Perda khusus yang membahas tentang pariwisata budaya. Ada pun dalam Perda No. 3 tahun 2014 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Kabupaten Manggarai Barat tahun 2014-2025 dan Perda No. 4 tahun 2014 tentang Penyelenggaraan dan Pengelolaan Kepariwisataan di Kabupaten Manggarai Barat, pasal-pasal yang menyinggung tentang pariwisata budaya dirumuskan dalam kalimat-kalimat yang begitu umum dan normatif. Padahal level sebuah Perda itu tidak hanya sekadar aturan hukum, tetapi juga lebih merupakan petunjuk teknis implementasi sebuah kebijakan.
Ada pun pada tahun 2016 silam, Pemkab Manggarai Barat sempat mewacanakan untuk menerbitkan Perda khusus tentang tarian caci (bdk. kbr.id/nusantara). Namun hingga sekarang itu masih sebatas sebuah wacana.
Sebenarnya keberadaan beberapa potensi pariwisata budaya di Manggarai Barat sudah cukup meyakinkan Pemkab Mabar untuk mengeluarkan produk hukum semisal Perda Desa Adat. Sebagai contoh, di gendang Nunang, desa Wae Sano, selain atraksi utama Danau Sano Nggoang, keberadaan beberapa obyek wisata budaya lain seperti Wae Mberas yang menjadi nomenklatur Kedaluan Matawae, narasi mistik Golo Lampang, pembuatan topi re’a sudah cukup menjadikan desa Wae Sano sebagai desa wisata. Di tengah tidak tergarapnya potensi pariwisata itu, Kampung Nunang malah dijadikan sebagai lokasi pembangunan geothermal yang hingga saat ini masih ditolak keras oleh masyarakat setempat.
Sementara itu, minimnya produk regulasi yang meransang tumbuhnya pariwisata berbasis budaya di Manggarai Barat persis tersituasikan di tengah grand design pembangunan pariwisata yang tidak berpihak pada kepentingan masyarakat. Sekarang ini, energi pembangunan pariwisata di Kabupaten Manggarai Barat sepenuhnya diarahkan untuk mendukung TNK sebagai destinasi utama. Bandara Komodo diperluas, Marina dibangun, wisata kuliner kampung ujung di-make up. Juga dalam rangka percepatan pembangunan infrastruktur pariwisata di Labuan Bajo, BOP menguasai lahan paling sedikit 400 hektar. Semua pembangunan ini disinyalir lebih berpihak pada kepentingan investor.
Seolah tidak ingin hanya kebagian ampas dari model pembangunan pariwisata macam ini, pada tahun 2018 yang lalu, Pemkab Manggarai Barat dengan sigap merevisi Perda Retribusi. Harapannya dengan menaikkan retribusi,peningkatan PAD pun akan berjalan. Bak gayung bersambut, ide ini sejalan dengan mimpi akrobatik Gubernur Laiskodat untuk menargetkan 1 T PAD di Kabupaten Manggarai Barat dengan mengoptimalkan sektor pariwisata.
Persis dalam cara pandang seperti ini, memikirkan pengembangan pariwisata yang berbasis masyarakat hampir pasti tidak lagi menjadi agenda utama pembangunan pariwisata. Sebab tidak berkontribusi untuk menaikkan PAD. Tidak heran jika, pada analisis SWOT Pembangunan pariwisata di Manggarai Barat; makin banyaknya hotel ditempatkan sebagai kekuatan, sementara sumber daya manusia masyarakat lokal yang konon dinilai rendah ditempatkan sebagai tantangan pembangunan.
Konsep Pariwisata sebagai Living Culture
Omong soal pariwisata yang berbasis budaya, juga sangat mengandalkan peran sentral para guide sebagai pendongkrak image sebuah destinasi wisata. Di Santiago Chile misalnya, peran ini diemban oleh lembaga tourism authority, yang keanggotaannya lintas stakeholder pariwisata. Ada yang dari kalangan guide, pelaku seni, pegiat budaya dan lain-lain. Berkat keberadaan lembaga ini, banyak potensi budaya di Chile yang telah disulap menjadi atraksi wisata yang menarik bagi para wisatawan.
Terkait peran guide dalam mendongkrak image destinasi wisata budaya, Louis, pengelola trip agency Komodo Trekker, mempunyai pengalaman yang sedikit berbeda dan barangkali menarik untuk dijadikan sebagai bahan pembelajaran untuk kita semua.
Pada tahun 2018 yang lalu, ia berkesempatan mengatur sebuah perjalanan wisata sembilan hari delapan malam di sepanjang Pulau Flores. Trip itu ditawarkan sebagai bagian dari paket etnotour yang baru saja coba dirintisnya pada awal 2018. Di awal ia sempat ragu, apakah tawaran paket perjalanan wisata itu dapat menyenangkan tamunya. Sebab menurutnya beberapa destinasi seperti di Kampung Rahong-Kecamatan Ruteng dan Kampung Lokong di Kecamatan Sano Nggoang, jika merujuk pada tiga syarat utama sebuah destinasi wisata (what to see, what to do dan what to buy), sangat belum layak untuk dijadikan sebagai destinasi pariwisata.
Akan tetapi pada waktu itu, Louis sangat yakin jika paket itu bakal menyenangkan para tamunya. Ia berkeyakinan, tawaran merasakan keterlibatan yang mendalam dengan budaya daerah setempat (living culture), merupakan salah satu bentuk paket pariwisata budaya untuk konteks Manggarai. Tidak melulu soal tarian, situs budaya dan sebagainya. Cara hidup masyarakat menurut Louis, sudah menjadi tawaran wisata yang sangat menarik dan unik bagi para wisatawan.
“Sebuah destinasi wisata itu bukan melulu soal, what to see, what to do dan what to buy. Tetapi juga what to learn. Sebagai budaya khas orang Manggarai, this is what we have”, terang Louis.
Setelah beberapa kali berkesempatan mengatur perjalanan wisata yang serupa, Louis mengaku selalu mendapatkan review yang bagus dari para tamunya. Sekali ia pernah mendapatkan review yang buruk. Istu pun terkait dengan guide yang kurang komunikatif.
Akhirnya tidak cukup hanya dengan menyalahkan pementasan Reog Ponorogo di Labuan Bajo, sepanjang kita terus tutup mata dengan kekayaan budaya kita sendiri. Jangan sampai penyesalan selalu datang terlambat, ketika sektor budaya kita telah mengalami nasib na’as yang sama seperti sektor usaha wisata lain di Labuan Bajo yang telah dikuasai orang luar.
Peneliti Sunspirit dengan Tim Litbang Floresa