Floresa.co – Sentimen negatif menjadi reaksi dominan publik menanggapi kasus penganiayaan seorang satpam di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat oleh anggota Polri.
Dalam peristiwa yang terjadi pada 13 September itu, Kapolsek Komodo, AKP Ivans Drajat memukul satpam sebuah bank tersebut di kantor Polsek. Pemicunya adalah satpam itu menegurnya karena memakai helm saat menggunakan mesin ATM.
Publik tidak saja menyayangkan terjadinya peristiwa itu, tetapi juga mengaitkannya dengan berbagai kasus tindakan melawan hukum yang dinilai makin jamak dilakukan oleh aparat kepolisian di seluruh tanah air. Apalagi peristiwa memalukan itu dilakukan oleh Kapolsek di Kecamatan Komodo yang mencakup kota Labuan Bajo dan Taman Nasional Komodo yang merupakan salah satu episentrum pariwisata nasional.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan [KontraS], menyebut peristiwa seperti ini adalah bagian dari kultur kekerasan di tubuh Polri yang sudah sampai pada level yang mengkhawatirkan.
Rusaknya reputasi institusi kepolisian di mata publik juga terjadi karena buruknya komunikasi publik dalam menjelaskan penanganan kasus ini.
Di berbagai platform media sosial, warganet menyebut dan menandai akun-akun resmi Polri, seperti Divisi Humas, Kapolri, Polda dan Polres. Di media-media utama juga warga dan pengamat mendesak Polri untuk mengambil tindakan tegas.
Sayangnya, tidak ada respons konstruktif dari para pihak itu untuk menjelaskan langkah yang sudah diambil. Menjawab desakan jurnalis yang terus bertanya, pihak Polres Manggarai Barat dan Polda NTT hanya memberikan jawaban normatif standar bahwa “akan memproses sesuai aturan.”
Hal itu memberi kesan Polri lamban, tidak responsif, tidak sigap dalam menumpas kejahatan yang secara berulang-ulang dilakukan korpsnya.
Padahal, kesigapan memberi informasi kepada publik menjadi penting untuk menjawab keraguan bahwa kasus seperti ini tidak akan ditangani secara serius.
Sementara itu, di tengah kuatnya perhatian publik, pelaku bersama rekan-rekan sejawatnya juga getol mendekati korban agar menempuh langkah mediasi. Desakan damai dari pelaku berujung pembayaran denda Rp10 juta dan seekor babi.
Dalam sistem adat Manggarai, denda adat membayar seekor babi adalah hukuman tingkat tinggi. Sedangkan pembayaran sejumlah uang dikenal dengan nama wunis peheng adalah penggantian biaya pengobatan dan perawatan korban.
Denda adat dan wunis peheng itu dikenakan pada pelaku yang sudah terbukti bersalah, meminta maaf secara terbuka, dan bersumpah tidak akan melakukan tindakan buruk di kemudian hari.
Denda adat juga biasanya melibatkan keluarga pelaku dan institusi asalnya sebagai bentuk kontrol sosial. Bahwa mereka pun berkewajiban mengontrol pelaku untuk benar-benar menyesal dan tidak mengulangi perbuatannya.
Sayangnya, dalam pelaksanaan denda adat ini, korban juga diminta oleh pelaku dan rekan-rekannya untuk mencabut laporan polisi. Hal itu menghentikan proses pengusutan pidana.
Selain preseden buruk bagi penegakan hukum, hal ini tambah mencoreng muka Polri. Bagaimana mungkin polisi yang terang-terangan melakukan tindak pidana meminta korban mencabut laporan polisi? Dan mengapa kepolisian sebagai institusi tidak mencegah hal itu?
Denda adat kepada pelaku sebenarnya bukanlah proses menghapus jejak pidana dan pelanggaran aturan oleh Kapolsek. Sebaliknya, denda adat justru seharusnya menjadi pendorong bagi institusi Polri untuk sigap mengambil tindakan hukum dan disipliner untuk anggotanya.
Kalau secara adat pelaku sudah divonis bersalah dan dihukum, seperti apa langkah Polri? Dan bagaimana langkah Polri untuk memastikan tidak ada tindakan serupa oleh anggotanya di masa depan?
Atau, apakah Polri menganggap tindakan anggotanya itu sebagai hal biasa-biasa saja? Apakah rekam jejak Kapolsek Komodo yang pernah dipidana sebelumnya karena kasus kekerasan belum jadi alasan yang cukup untuk memberikan tindakan yang tegas?