‘Sedih. Kecewa. Prihatin. Gereja Perlu Berbenah’: Umat Keuskupan Ruteng Bicara tentang Kasus Bunuh Diri Imam

Selain prihatin dengan kasus bunuh diri seorang imam beberapa hari lalu, umat yang berbicara kepada Floresa menyoroti cara pimpinan Gereja di wilayah itu menyelesaikan persoalan klerus yang bermasalah. 

Floresa.co – Kasus bunuh diri seorang imam di Keuskupan Ruteng pekan lalu melahirkan perasaan yang campur aduk dalam diri umat Katolik.

Beberapa di antara mereka yang berbicara dengan Floresa mengungkap perasaan sedih, kecewa dan prihatin.

Dengan berkaca pada rekam jejak imam itu, mereka juga berharap agar Keuskupan Ruteng, yang wilayahnya mencakup Manggarai Raya, sebutan untuk tiga kabupaten di Flores barat – Manggarai, Manggarai Timur dan Manggarai Barat -, mengambil pelajaran dari peristiwa ini untuk melakukan pembenahan, terutama dalam penanganan terhadap klerus yang sedang bermasalah.

Mereka juga berharap Gereja perlu terbuka, dengan memberikan penjelasan yang memadai terkait kasus seperti ini, demi menghindari berkembangnya berbagai kecurigaan dan spekulasi.

Prihatin, Sangat Disayangkan

Romo Gregorius Transianus Syukur atau Romo Ansi, Kepala SMA St Klaus Kuwu, sekitar 7,5 kilometer arah barat dari Ruteng, meninggal pada 16 Februari. Ia pertama kali ditemukan tidak bernyawa oleh siswa di sekolah itu di kamarnya.

Umat melayati jenazah Romo Ansi usai Misa Arwah pada hari kematiannya, Kamis sore, 16 Februari 2023. (Foto: Floresa.co)

Polres Manggarai kemudian menyatakan bahwa ia murni bunuh diri, mengeliminasi kemungkinan adanya kekerasan setelah tidak menemukan tanda-tanda penganiayaan pada jenazahnya. Ia telah dimakamkan pada 17 Februari.

Dalam sebuah pernyataan resmi, Romo Alfons Segar, Vikaris Jenderal Keuskupan menyatakan “sangat prihatin  dan berduka” atas peristiwa ini dan menyerahkan jiwa imam itu “ke dalam kerahiman Ilahi.”

Sementara itu, Leo Par, yang berbicara mewakili keluarga Romo Ansi saat Misa sebelum pemakaman menyampaikan permohonan maaf kepada pihak Keuskupan Ruteng dan umat jika imam itu semasa hidupnya telah membuat “ketidaknyamanan bagi Gereja,” termasuk dengan peristiwa kematiannya.

Peristiwa ini memang hangat dibicarakan dan menimbulkan beragam reaksi di media sosial, setelah ramai diberitakan baik oleh media lokal maupun nasional.

Fulgensius Vino, seorang umat Katolik di Paroki St. Fransiskus Xaverius Loce, Reok Barat mengatakan, ia amat terkejut ketika pertama kali membaca informasi bunuh diri Romo Ansi itu di media sosial.

“Peristiwa itu sangat disayangkan karena dilakukan oleh tokoh agama,” katanya kepada Floresa.

Edit Theresa, seorang guru di Labuan Bajo juga mengaku terkejut dengan langkah yang ditempuh imam itu.

“Bagaimana mungkin seorang imam mengambil keputusan tersebut. Mengapa bisa terjadi seperti itu?” katanya.

Padahal, kata Edit, “bagi saya sebagai kaum awam, mereka [para imam] sebenarnya garda terdepan menolak praktik bunuh diri.”

Ferdinandus Jehalut, 27 tahun, warga Manggarai yang kini tinggal di Yogyakarta mengatakan, “turut prihatin atas kejadian tersebut”

“Teriring rasa duka yang mendalam bagi keluarga almarhum dan keluarga besar Keuskupan Ruteng, saya perlu secara terbuka mengatakan bahwa kejadian tersebut agak susah diterima dan patut disesalkan,” katanya.

Meski imam itu tetaplah manusia yang rapuh, kata dia, “secara moral, sebagai umat saya menilai kerapuhan itu tidak serta-merta membenarkan tindakan bunuh diri.”

“Saya merasa sedih” sebagai umat, kata Emiliana Mian, 45 tahun, umat asal Kampung Nunur, bagian dari Paroki St. Agustinus Mok di Manggarai Timur.

Sementara Emil Ndaru, umat di Paroki St Yosef Kisol di Manggarai Timur, mengaku terpukul.

“Saya berpikir bahwa seorang imam tidak sepatutnya melakukan tindakan bunuh diri karena imam itu adalah tokoh panutan,” katanya kepada Floresa.

“Saya sangat terkejut dengan peristiwa ini. Dan, dia pasti sedang memikul beban yang sangat berat,” kata Frans Jehoda, umat Paroki St. Nikolaus Golodukal.

“Dan, saya duga, itu sangat substansial,” katanya.

Keprihatinan akan Kesehatan Jiwa

Bunuh diri Romo Ansi terjadi di tengah kecemasan terkait peningkatan kejadian serupa di wilayah Keuskupan Ruteng dalam beberapa tahun terakhir.

Dalam sebuah laporan Floresa baru-baru ini, diungkapkan bahwa terjadi tren 2-3 kasus bunuh diri setiap bulan di kalangan remaja di wilayah Manggarai dalam beberapa tahun terakhir. Di Kabupaten Manggarai Timur, sudah ada tiga kasus selama tahun ini, dengan kasus terakhir adalah seorang siswa SMA yang bunuh diri pada bulan lalu.

Kasus bunuh diri imam, meski mungkin merupakan kasus pertama di Indonesia, terjadi di tengah tren di tingkat global yang menjadi keprihatinan dalam satu dekade terakhir.

Menurut laporan Crux, sebuah media Katolik internasional, setidaknya sembilan imam Katolik di Brasil melakukan bunuh diri pada tahun 2021, hal yang kemudian meningkatkan kekhawatiran tentang kesehatan jiwa para imam di negara itu.

Disebutkan bahwa faktor-faktor kunci yang menyebabkan bunuh diri adalah depresi karena beban kerja yang memicu kelelahan, serta pengalaman merasa kesepian.

Faktor lain menurut media itu adalah terkait dengan respons Gereja yang keras dan cepat dalam penanganan kasus dugaan pelecehan seksual oleh para imam. Khawatir mendapat serangan di media sosial karena menjadi pihak tertuduh, beberapa imam – entah bersalah atau tidak – lalu mengambil jalan pintas.

Pada 2020, umat Katolik di India juga diguncang oleh kasus bunuh diri tiga orang imam di tiga keuskupan berbeda hanya dalam waktu 14 hari.

Sejumlah umat yang berbicara kepada Floresa menyatakan, Gereja perlu mendiskusikan masalah bunuh diri, termasuk di kalangan imam, secara serius, selain agar belajar darinya, juga untuk membuat strategi dan rencana aksi untuk mencegah dan mengelola krisis ini.

Tarsi Hurmali, awam Katolik di Ruteng yang bergerak dalam bidang pemberdayaan masyarakat mengatakan, kasus kematian tidak wajar Romo Ansi perlu diberi perhatian tidak hanya karena ia adalah imam “tetapi karena di wilayah Keuskupan Ruteng kasus bunuh diri sering sekali terjadi.”

“Sudah urgen dipikirkan sebuah pelayanan kesehatan jiwa – yang tidak mesti diartikan pelayanan Orang dengan Gangguan Jiwa [ODGJ] seperti biasanya,” kata umat dari Paroki St. Maria Assumpta St. Yosef Katedral Ruteng ini.

“Komisi Kesehatan di Keuskupan, termasuk Komisi Keluarga, pelayanan rohani lainnya, perlu belajar dari hal serupa ini,” tambahnya.

Pastor Avent Saur, Pendiri Kelompok Kasih Insanis  Peduli Sehat Jiwa Provinsi NTT dalam sebuah artikelnya di Floresa merespons kasus Romo Ansi menyebut kejadian dugaan bunuh diri atau upaya bunuh diri adalah “sebuah masalah kesehatan jiwa yang mesti mendapat kepekaan semua kalangan.”

“[Ini] bukan merupakan sebuah tindakan kriminalitas, apalagi tindakan sensasional, melainkan sebuah ekspresi hilangnya harapan hidup atau hilangnya kemampuan untuk mengendalikan diri dari dorongan penghilangan diri oleh diri sendiri,” tulisnya.

Problem Struktural

Kasus yang menimpa imam yang lama bekerja di dunia pendidikan ini juga memicu sorotan publik atas persoalan struktural di dalam Gereja Katolik.

Sejauh ini, memang tidak diketahui persis apa pemicu tindakan Romo Ansi. Dalam sebuah salinan surat wasiat yang diperoleh Floresa, ia juga tidak membuka alasan di balik keputusannya.

Sementara itu, menyusul peristiwa ini, beredar berbagai informasi tentang sejumlah persoalan, termasuk terkait masalah yang pernah menyeret namanya ketika berstatus sebagai dosen di Universitas Katolik Indonesia Santo Paulus Ruteng [Unika St Paulus], ketika universitas Katolik pertama di Flores itu masih berstatus sebagai sekolah tinggi.

Meskipun kasus itu tidak pernah diinformasikan secara resmi kepada umat, namun keputusan Keuskupan Ruteng yang membebastugaskannya satu dekade lalu setelah memberinya hukuman suspensi sesuai ketentuan Hukum Gereja membuat kecurigaan itu mendapat alasan.

Sumber lain di internal Keuskupan juga mengatakan kepada Floresa bahwa beberapa hari sebelum imam itu bunuh diri, ia sempat dipanggil oleh pimpinan Keuskupan.

Menurut sumber itu, “tampaknya ada hal serius yang dibicarakan.”

Romo Yohanes Servatius Boy Lon, Rektor Unika St. Paulus mengonfirmasi kepada Floresa bahwa memang benar Romo Ansi pernah mendapat hukuman suspensi pada 2012 setelah ia diadukan menghamili mahasiswi di kampus yang dipimpinnya itu.

Ia menjelaskan, imam itu yang mengajar Matematika di Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar sedang menjadi Pembantu Ketua III Bidang Kemahasiswaan saat terlibat masalah tersebut.

Kampus Universitas Katolik Indonesia St Paulus Ruteng, yang sebelumnya bernama STKIP Ruteng, tempat Romo Ansi dilaporkan penah melakukan skandal, hingga berujung hukuman suspensi. (Foto: Floresa.co)

Imam yang disapa Romo John itu mengatakan, kasus Romo Ansi diselesaikan secara adat, dengan membayar denda sesuai adat Manggarai.

“Waktu itu sangat tertutup penyelesaiannya, walaupun terbongkar juga. Tetapi, istilahnya, penyelesaian secara keluarga, secara adat,” katanya dalam wawancara di ruang kerjanya pada 20 Februari.

Karena itu semua beres, makanya dia diizinkan pergi waktu itu ke Kalimantan. Selama suspensi, semua kewenangannya sebagai imam ditahan, sambil menjalani refleksi dan konseling di bawah bimbingan seorang imam,” katanya.

Ditanya mengapa kemudian ditugaskan kembali di lembaga pendidikan setelah imam itu beberapa tahun lalu kembali ke Keuskupan Ruteng, ia menjawab “memang susah.”

“Mau ditempatkan di mana lagi,” katanya.

Perihal informasi dari sejumlah pihak yang menyebut imam itu menjalin relasi khusus dengan lebih dari satu mahasiswi saat sebagai dosen, kata dia, “kami tidak bisa mengatakan iya atau tidak.”

Ia mengklaim bahwa tidak ada mahasiswi yang mengadu langsung ke kampus terkait imam itu, tetapi hanya ke keuskupan.

Sementara itu, pihak Keuskupan Ruteng sejauh ini belum memberikan informasi terkait persoalan yang dihadapi Romo Ansi.

Floresa sudah menghubungi Romo Alfons Segar, Vikaris Jenderal untuk mengonfirmasi berbagai kabar ini pada 8 Februari. Namun, ia tidak merespons permintaan wawancara. Ia juga hanya membaca pesan yang dikirim lewat WhatsApp.

Floresa mendatangi kantor keuskupan pada 20 Februari. Seorang staf yang bertugas di sekretariat mengatakan Uskup Siprianus Hormat sedang berada di Jakarta, sedangkan Romo Alfons sedang merayakan Misa di luar kota. Sekretaris Jenderal Keuskupan, Romo Manfred Habur juga sedang mengajar.

Perlu Berbenah 

Menurut sejumlah umat yang berbicara kepada Floresa, kasus Romo Ansi diharapkan menjadi titik penting bagi Keuskupan Ruteng untuk berbenah, terutama dalam penanganan terhadap klerus yang bermasalah.

“Imam adalah manusia biasa, tetapi imam juga manusia dewasa. Ketika sudah memilih untuk hidup selibat, artinya jika memilih sesuatu di luar itu, imam itu tidak bertanggung jawab lagi dengan pilihannya,” kata Tini Pasrin, umat Katolik asal Paroki St. Arnoldus Janssen Ponggeok di Satar Mese.

“Apa respon Keuskupan sejak dulu jika iman yang seorang manusia dewasa memutuskan hal-hal di luar komitmennya? Pengasingan? Pembiaran? Apa dengan harapan imam bertobat? Yakinkah cara ini cukup efektif atau justru menambah korban baru setelahnya,” tambahnya.

Sebagai umat, ia  melihat cara yang terkesan membenarkan pelanggaran selibat itu “justru merendahkan hidup imamat.”

Sementara Ferdinandus Jehalut mengatakan “perlunya reformasi dalam tubuh Gereja dalam menyikapi skandal-skandal yang melibatkan para imam, biarawan dan biarawati.”

“Hal itu untuk memberikan rasa keadilan bagi korban sekaligus mempercepat proses pemulihan psikologis bagi pelaku dan korban. Sebab, bagaimana pun, ketertutupan hanya akan membuat stigma bagi pelaku berkepanjangan,” katanya.

“Hal itu bisa berakibat fatal bagi pelaku, sebab ia tidak diberi ruang untuk membarui diri akibat stigma umat. Lebih dari itu, Gereja perlu tegas memberhentikan para imam dan suster yang melanggar janji suci mereka,” tambahnya.

Bagi Emil Ndaru, ia tidak peduli untuk mengetahui secara gamblang cerita di belakang kasus bunuh diri ini, hanya Gereja “perlu berbenah diri agar bisa kembali pada jalan kebenaran.”

Ia menambahkan, pimpinan Keuskupan Ruteng mesti melakukan penegasan kepada seluruh imam yang melanggar setiap janji saat tahbisan.

Frans Jehoda mengatakan, Gereja perlu secara terbuka menjelaskan kepada umat jika ada skandal “walaupun taruhannya adalah reputasi gereja.”

Namun, kata dia, “untuk memperbaiki diri, itu perlu.”

Tarsi Hurmali menambahkan, imam adalah manusia biasa yang tidak kebal terhadap godaan dan karena itu perlu dilindungi dan dicegah agar tidak terlibat masalah.

“Kalau imam sudah bermasalah – tergantung levelnya – kalau masih tahap awal, ada pendampingan tentu saja, tetapi ada batasnya. Kalau tingkatan kasusnya terbukti sangat besar, imam tersebut berhenti saja dari imam, dan itu bukan kejahatan,” katanya.

“Imam yang memiliki masalah jangan diminta memimpin sekelompok orang, seperti jadi guru dan pastor paroki,” tambahnya.

Ia mengatakan, tiap orang, siapa pun, bertanggung jawab untuk apa yang dibuat dan mesti bersedia menanggung konsekuensinya.

“Saya memandang bahwa berubah status menjadi awam, menikah dan punya anak bukan sebuah kejahatan, bukan sebuah dosa. Karena itu, ketika seorang imam ditemukan dan dibuktikan secukupnya melakukan hal seperti itu, yang harus didesak adalah mengubah status hidupnya, dalam hal ini menjadi awam saja,” katanya.

“Imamat bukan sesuatu yang begitu hebatnya sampai harus dipertahankan apapun caranya, kecuali tentu saja kalau tidak ada alasan untuk hal itu,” katanya.

Sementara untuk imam yang terlibat skandal hingga punya anak tetapi ngotot untuk tetap jadi imam, kata dia, “uskup punya wewenang untuk memberhentikannya.”

Namun, ia memberi catatan agar perlu ada pendampingan bagi imam yang didesak beralih status seperti itu.

“Pilihan seperti itu tentu saja bukan pilihan yang baik, kita harus akui, tetapi akan lebih tidak baik lagi kalau dengan segala macam cara imam seperti itu dipertahankan,” katanya.

Tarsi mengatakan, dalam penanganan masalah seperti ini, pimpinan keuskupan bisa mengajak umat lain untuk menerima imam yang diberhentikan itu, menghormati, menyayangi dan menjadi sahabat baginya.

“Dengan kata lain, umat perlu berubah atau dibuat berubah pikirannya, bahwa keluar dari imam itu bukan kejahatan atau dosa,” katanya.

Tarsi mengatakan, kalau kita percaya bahwa hidup manusia dituntun dan diarahkan oleh Tuhan, “mengapa kita tidak percaya bahwa hal seperti itu mungkin juga menjadi satu jalan yang di dalamnya mungkin tersembunyi berkat dan jalan dari Tuhan?”

Ia juga berharap agar Gereja tidak perlu anti terhadap pandangan yang berbeda dari cara pikir arus utama, termasuk dari awam yang penuh cinta atas imam dan Gereja, dalam menyikapi kasus-kasus seperti ini.

“Mereka yang tidak sependapat dengan kita tidak otomatis melawan dan membenci kita,” katanya.

Sementara itu, Romo John, yang juga menjadi bagian dari Tribunal Keuskupan Ruteng, mengakui bahwa selama ini pola penanganan masalah yang dipraktikkan memang “masih sangat melindungi imam.”

“[Karena itu] sering kali diselesaikan secara kekeluargaan. Untuk penanganan secara profesional, belum,” katanya.

Namun, ia mengatakan, saat ini ada upaya perubahan karena “uskup sekarang ketat,” meski tetap membedakan antara kejahatan seksual dan kejatuhan seksual.

“Kejatuhan seksual ini kan karena situasional, kesepian atau hal-hal lain, sedangkan kejahatan seksual karena memang muncul dari dalam, semacam predator,” katanya.

Dua jenis masalah itu, kata dia, memiliki hukuman yang berbeda.

Ia mengatakan, terkait kasus Romo Ansi, “kita belum ada penyelidikan apakah saat itu masuk kategori kejatuhan atau kejahatan.”

“[Penyelidikan ini] harus melibatkan psikolog. Psikolog yang menentukan apakah kasus ini kejatuhan atau kejahatan [seksual],” katanya.

Yang jelas, kata dia, saat ini pihak Gereja, termasuk di Unika St Paulus berupaya belajar dari masa lalu dengan membentuk tim anti kekerasan seksual, namun setiap pengaduan tetap ditangani secara hati-hati.

Ia mengatakan, melibatkan psikolog dalam penanganan kasus-kasus seperti ini, juga dalam kerangka persiapan calon imam sebelum ditahbiskan, adalah belajar dari yang sudah dipraktikkan di Keuskupan Agung Jakarta.

“Kita sekarang lagi siapkan SOP [Prosedur Operasional Standar], [apakah] seseorang layak ditahbiskan menjadi imam. Demikian juga ketika ada imam yang bermasalah, harus libatkan psikolog,” katanya.

Menanggapi komentar umat yang mengatakan imam yang terlibat skandal diberhentikan saja karena menjadi awam itu bukan dosa dan perlu melibatkan awam dalam penanganan kasus demikian, kata dia, “saya setuju.”

Memang harus kerja sama dengan umat. Kadang, uskup khawatirkan umat, lalu keluarga. Saya sangka pada waktunya [akan berubah],” katanya.

“Di Amerika itu asosiasi eks imam kuat sekali. Mereka malah menjadi pendukung Gereja yang sangat kuat setelah keluar dari imam. Bukan akhir dunialah jika berhenti dari imam. Itu menjadi bagian dari dinamika hidup,” tambah Romo John.

Romo Yohanes Servatius Boy Lon saat ditemui di ruang kerjanya pada Senin, 20 Februari 2023. (Foto: Floresa.co)

Apakah Menyebabkan Goncangan Rohani?

Persoalan-persoalan di dalam Gereja Katolik, sering kali ditutup-tutupi dengan alasan bahwa kasus seperti ini mengganggu iman umat.  

Di Keuskupan Ruteng, hal itu juga terjadi dalam kasus mundurnya Almarhum Mgr. Hubertus Leteng pada 2018, menyusul aksi protes para imam, disertai tudingan penggelapan uang dan skandal. Saat uskup itu mundur, Gereja Katolik tidak memberitahu apa alasannya, yang membuat desas-desus terus berkembang di tengah umat.

Floresa menanyakan kepada umat perihal reaksi mereka ketika ada individu tertentu di dalam institusi Gereja Katolik yang terlibat masalah; apakah kemudian iman mereka ikut terganggu ketika Gereja memberikan penjelasan kepada mereka, termasuk dalam kasus Romo Ansi.

Fulgensius menjawab bahwa “kasus seperti ini sama sekali tidak mengganggu iman saya sebagai seorang umat Katolik.”

Hal yang sama juga disampaikan Ferdinandus Jehalut: “Sama sekali tidak mengganggu iman saya.”

“Kendati iman mempunyai dimensi komunitas, pada tataran yang lebih mendalam, iman merupakan urusan pribadi saya dengan Tuhan,” katanya.

“Oleh karena itu, ia [iman] sedikit lebih banyak bergantung pada keyakinan pribadi saya dan tidak terlalu dipengaruhi oleh kejadian kasuistik semacam ini,” katanya.

Bagi Frans Jehoda, “peristiwa ini memang sangat mengganggu, tetapi tidak mengguncang iman.”

Sementara menurut Tini Pasrin, amat penting bagi Gereja untuk terbuka, tidak perlu menutupi masalah yang kerap dicap sebagai aib, apalagi ketika itu malah memicu kesimpangsiuran di tengah umat.

Sebagai umat, kata dia, ia merasa perlu tahu dan “yakin bahwa umat akan bisa mengambil sikap sendiri.”

Ia mengatakan, pembiaran terhadap isu yang beredar di tengah umat adalah bagian dari sikap yang “tidak mengakui kalau kita sedang tidak baik-baik saja.”

“[Ini] tidak pernah menyembuhkan Gereja dengan baik dan benar,” katanya.

“Sebaliknya, jika kita mengaku sakit, maka jalan menuju kesembuhan itu ada.”

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

TERKINI

BANYAK DIBACA

BACA JUGA