Aktivis di Flores Ajak Media Waspadai Upaya Politisasi Isu LGBT untuk Pemilu 2024

Kalau kita ingin Pemilu yang damai, Pemilu yang inklusif, Pemilu yang memberikan kebebasan terhadap semua orang, termasuk kelompok ragam gender dan seksualitas, upaya politisasi isu LGBT mesti diredam, kata aktivis LGBT, Hendrika Mayora Viktoria

Floresa.co – Seorang aktivis untuk hak-hak kelompok Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender [LGBT] yang berbasis di Flores, NTT mengajak media untuk mewaspadai upaya memanfaatkan sentimen negatif terhadap mereka demi kepentingan politik menjelang Pemilu tahun depan.

Hendrika Mayora Viktoria dari Fajar Sikka, komunitas transpuan yang berbasis di Maumere, Kabupaten Sikka mengatakan, “kalau kita ingin Pemilu yang damai, Pemilu yang inklusif, Pemilu yang memberikan kebebasan terhadap semua orang, termasuk kelompok ragam gender dan seksualitas,” upaya politisasi seperti itu mesti diredam.

Ia berbicara dengan Floresa menanggapi sebuah laporan dari organisasi jurnalis dan lembaga advokasi baru-baru ini perihal tren media massa yang cenderung mengamplifikasi pernyataan-pernyataan anti-LGBT dari pejabat publik, termasuk politisi, yang disinyalir sebagai bagian dari upaya meraih dukungan politik menjelang Pemilu 2024.

Dalam sebuah pernyataan, Aliansi Jurnalis Independen [AJI], Serikat Jurnalis untuk Keberagaman [SEJUK], dan Arus Pelangi, sebuah LSM untuk hak-hak kelompok LGBT menyatakan, pemberitaan media online berskala lokal maupun nasional yang memuat pernyataan anti-LGBT “berpotensi menguatkan permusuhan, kebencian, diskriminasi, dan persekusi” terhadap kelompok minoritas tersebut.

Peringatan ketiga organisasi ini merespons kajian mereka terhadap 113 berita di media online sepanjang Januari- Februari 2023 yang mengandung kata kunci LGBT.

Mereka menemukan bahwa 100 berita di antaranya “tidak berperspektif gender dan tidak melindungi hak minoritas LGBT.”

“Media sering mengutip pernyataan yang diskriminatif seperti dari tokoh organisasi masyarakat sebanyak 35 kali, 31 anggota DPRD, 25 kali walikota, bupati, dan wakil bupati, dan 16 kali kepala dinas dan kepala bidang. Adapun, suara kelompok LGBT hanya lima,” kata mereka.

Mereka juga menyebut media banyak menggunakan diksi yang memuat stigma dengan menyebut LGBT sebagai perilaku menyimpang sebanyak 29 kali, LGBT dilarang oleh agama 28 kali, dan LGBT melanggar norma susila atau budaya 13 kali.

“Diksi diskriminatif mempertebal stigma dan melanggengkan diskriminasi terhadap minoritas LGBT,” kata Tantowi Anwari, Manajer Advokasi SEJUK.

Mereka menyebut contoh pernyataan Bobby Nasution, Wali Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara yang juga menantu Presiden Joko Widodo pada 1 Januari yang menyebutkan bahwa Medan adalah “kota anti-LGBT.”

Ujaran itu, kata mereka, “kemudian diikuti pejabat publik di Makassar, Bandung, Garut, Kalimantan Utara, dan Sampang yang mendorong pembentukan Rancangan Peraturan Daerah anti-LGBT.”

Ketiga organiasasi itu menyebut “pemantauan pemberitaan tentang LGBT itu memperlihatkan maraknya hasrat politisasi identitas mendekati Pemilu 2024.”

“Pesta politik mendorong politisi untuk berkontestasi meraup dukungan pemilih dengan menggunakan isu yang paling gampang, yakni LGBT,” kata mereka.

Mayora mengakui, memanfaatkan isu LGBT untuk meraih dukungan politik memang laku di Indonesia karena masih dominannya pandangan berbasis agama terhadap LGBT yang di dalamnya “budaya patriarki dan hetenormatif sangat kuat.”

Ia mengatakan, banyak orang yang belum paham tentang keberagaman, tentang penelitian-penelitian yang sudah menemukan bahwa menjadi LGBT ini “bukan hal yang aneh” dan “bahwa sejatinya kodrati itu bukan hanya perempuan dan laki-laki.”

Seharusnya, kata dia, kelompok LGBT “dihargai dan diakui keberadaannya,” meski di Indonesia hal ini memang “susah sekali” karena urusan negara banyak dicampuri urusan agama, begitupun sebaliknya.

Ia mengatakan, media massa bisa mengambil peran untuk melawan pandangan-pandangan yang mendiskriminasi itu, lewat “kampanye-kampanye tentang keberagaman, kampanye-kampanye tentang inklusi.”

Mayora juga mengharapkan kontribusi tokoh-tokoh agama dan tokoh-tokoh masyarakat untuk membicarakan hal ini secara serius dan memberikan pencerahan kepada publik tentang pentingnya menghargai keberadaan mereka.

Dengan demikian, kata dia, narasi-narasi yang masih mendominasi, yang seringkali memanfaatkan agama untuk menyerang mereka demi mendapat dukungan politik bisa diredam.

Sementara itu, Ika Ningtyas, Sekretaris Jenderal AJI mendorong media massa untuk menulis berita yang “inklusif terhadap kelompok minoritas LGBT, menghormati keberagaman, dan menggunakan perspektif hak asasi manusia “

“Media massa harus ekstra hati-hati dengan pola-pola penggunaan politik identitas jelang 2024,” ujarnya.

Ia juga mendorong Dewan Pers aktif menyosialisasikan peraturan tentang Pedoman Pemberitaan Isu Keberagaman kepada komunitas pers, sehingga pemberitaan “tidak memuat prasangka, kebencian, mengobarkan konflik, serta menghormati dan melindungi hak asasi manusia.”

Kelompok LGBT merupakan salah satu dari kelompok minoritas yang rentan didiskriminasi di Indonesia.

Menurut Arus Pelangi, saat ini terdapat 48 aturan daerah yang diskriminatif di berbagai daerah, sementara sebanyak 1.840 LGBT menjadi korban persekusi sepanjang 2006 hingga 2018.

Sebuah survei oleh Saiful Mujani Research and Consulting pada 2018 menemukan bahwa 87,6 persen masyarakat Indonesia menganggap kelompok LGBT sebagai ancaman.

Survei itu juga menyatakan bahwa 81,5 persen masyarakat berpendapat homoseksualitas dilarang oleh agama, 80 persen menolak LGBT menjadi tetangga mereka dan 90 persen tidak menginginkan kelompok LGBT menjadi pejabat publik.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

TERKINI

BANYAK DIBACA

BACA JUGA