Ada Apa dengan Barang Bukti Kasus Dugaan Pemerkosaan di Labuan Bajo yang Pengusutannya Dihentikan Polisi?

Korban meyakini hilangnya kesadarannya saat diperkosa di Labuan Bajo tiga tahun lalu tidak masuk akal. Namun usahanya mencari titik terang, dengan melakukan tes urine dan mendorong polisi mencari barang bukti mengalami rintangan. Apa yang terjadi?

Baca Juga

Floresa.co – Saat menyadari dirinya telah menjadi korban pemerkosaan oleh dua pria, perempuan korban kekerasan seksual di Labuan Bajo berusaha mencari petunjuk yang membuatnya kehilangan kesadaran saat peristiwa itu terjadi.

Ia mencurigai bahwa pelaku mencampurkan zat tertentu ke dalam minumannya. Ia mengidentifikasi dua pelaku pemerkosaan pada 12 Juni 2020 itu dengan inisial SF dan NL. Mereka bekerja sebagai pelaku usaha pariwisata di ibukota Kabupaten Manggarai Barat itu.

Namun, langkahnya tidak mudah karena beragam rintangan, termasuk dari polisi yang berusaha menghalang-halanginya menjalani tes urine saat melakukan visum di RSUD Komodo.

Setelah terus mendesak, ia memang akhirnya dapat menjalani tes itu dengan biaya sendiri;  namun polisi, juga RSUD Komodo, tidak segera memberitahu hasilnya, kendati ia menanyakannya berkali-kali. 

Polisi juga tidak mengumpulkan barang bukti, seperti bekas botol minuman yang dikonsumsi pelaku dan korban sebelum kejadian. Korban berinisiatif sendiri mengumpulkannya dan menyerahkannya kepada polisi.

Di sisi lain, Polres Manggarai Barat kemudian kemudian menyimpulkan bahwa kasus ini bukanlah pemerkosaan, dan menyebut tidak ada minuman beralkohol saat kejadian. Kesimpulan demikian diambil berdasarkan keterangan pelaku.

Sengkarut Tes Urine di RSUD Komodo

Kepada Floresa korban bercerita bahwa saat menjalani visum di RSUD Komodo usai melaporkan kasus ini, ia bersikeras meminta polisi yang mendampinginya agar ia menjalani tes urine yang disatukan dengan visum et repertum.

Tes itu, kata dia, untuk memastikan jenis zat yang bercampur dalam minuman saat ia diperkosa di kos tempatnya menginap. Ia meyakini sedang dalam kondisi tidak sadar saat itu usai mengonsumsi minuman yang dibawa pelaku, yang datang bersama empat orang lainnya.

Ia menduga zat tertentu, kemungkinan narkoba atau date rape drug yang dimasukkan ke dalam  Soju – minuman berkadar alkohol antara 16-20%. Date rape drug merujuk pada obat yang membuat seseorang rentan terhadap kekerasan seksual, termasuk pemerkosaan.

Nggak mungkin juga minum Soju sampai blackout [tidak sadar]. Kalau obat tidur juga nggak separah itu efeknya,” katanya kepada Floresa.

“Saya tahu persis kapasitas tubuh saya terhadap alkohol. Sangat janggal bila tiba-tiba saya hilang ingatan secara total dalam waktu kurang lebih satu jam.”

Tes itu kemudian dilakukan oleh dokter di RSUD Komodo. Floresa mendapatkan kwitansi pembayaran tes urine itu yang disatukan dengan visum. 

Kesulitan Mendapat Hasil Tes

Dalam perjalanan waktu, korban kesulitan mendapatkan hasil urine itu.

Hasil visum baru diperlihatkan kepadanya tiga pekan kemudian setelah ia tegas mengatakan menolak tawaran untuk melakukan mediasi dengan pelaku. 

Tawaran mediasi itu disampaikan oleh pelaku lewat pengacara pertamanya. Tidak lama kemudian ia mencabut kuasa dari pengacara itu.

Ia mengatakan mendapat hasil visum pada 6 Juli 2020. Putu Lia, polisi dari Unit Perlindungan Perempuan dan Anak [PPA] Polres Manggarai Barat “hanya menyerahkan surat visum dan saya baca sendiri tanpa ada penjelasan apa-apa. Saya dilarang memiliki atau memfoto hasil visum.” 

Ia menjelaskan, surat visum tidak memiliki kop, tanggal visum dilakukan, dan nama dokter yang melakukan visum, yang membuatnya berkesimpulan “tampak tidak seperti dokumen formal.” 

Ia mengatakan, saat bertanya alasan hasil tes narkoba tidak ada dalam hasil visum itu, Putu tidak memberinya jawaban pasti.

Setelah itu, ia berusaha terus menghubungi dua polisi di Unit PPA, termasuk Putu.

Dalam sebuah obrolan via WhatsApp dengan Putu yang dilihat Floresa, Putu menjawab bahwa “kami juga tidak tahu kalau ibu menjalani tes narkoba. Di luar tanggung jawab kami.” 

Ia juga mengatakan, “kami tidak diinformasikan oleh pihak rumah sakit” merespons penjelasan korban bahwa tes urine itu ia lakukan bersamaan dengan visum.

“Kami bayar rumah sakit hanya untuk hasil visum pemerkosaan ibu saja. Tidak ada uang lain, dan permintaan visum resmi dari kepolisian hanya meminta visum perkara pemerkosaan.”

Menanggapi penjelasan korban bahwa ia membayar sendiri visum itu dan seorang polisi yang mendampinginya juga memintanya uang Rp780 ribu, Putu mengatakan, uang itu adala “jasa pengambilan visumnya. Hasil visumnya, ya, kami yang bayar saat kami ambil hasilnya.”

Klaim polisi ini dibantah korban, dengan mengatakan, ia sendiri yang membayar visumnya ke RSUD Komodo, dengan total hingga Rp1,2 juta. Penjelasan ini kemudian tidak direspons lagi oleh Putu.

Putu kemudian meminta korban menanyakan langsung ke RSUD Komodo: “Kalau ibu periksanya di RSUD Komodo, silakan ditanyakan ke sana.”

Dengan penjelasan Putu itu ia menelepon ke RSUD Komodo. Ia lalu dihubungkan dengan Dokter Andre Sitepu, Kepala Bidang Pelayanan Medik di rumah sakit milik pemerintah itu.

Namun, dokter itu hanya sekali menjawab pesannya via WhatApp. Pesan terakhir pada November 2020 tidak lagi ditanggapi.

Baru Akan Mendapatnya Tiga Tahun Kemudian

Dalam wawancara di Polres Manggarai Barat, Senin, 2 Oktober, Kepala Unit PPA, Karina Viktoria Anam mengatakan kepada Floresa, “Kami tidak pernah meminta korban untuk tes urine, namun korban melakukan itu” dan karena itu tidak ingin mencaritahunya.

“[Itu di luar] permintaan kami,” katanya.

Sementara itu, Dokter Andre di RSUD Komodo yang ditemui Floresa pada 5 Oktober mengatakan pihaknya sudah menyerahkan hasil tes urine itu bersama visum ke Polres Manggarai Barat.

“Selebihnya bukan tugas kami,” katanya, meski tidak merinci tanggal penyerahannya dan nama polisi yang menerimanya.

Ia mengatakan, hasil tes itu bisa diberikan kepada korban atau keluarganya “setelah mengajukan permintaan langsung kepada pihak rumah sakit.”

Ketika diberi tahu bahwa korban telah pernah menanyakan langsung ke RSUD Komodo dan menghubunginya secara pribadi via Whatsapp, ia mengatakan “lupa, mungkin terlalu banyak chat yang masuk.”

“Jadinya saya lupa untuk membalasnya. Lebih dari pada itu, saya tidak ada maksud apa-apa,” katanya.

Dokter Andre Sitepu, Kepala Bidang Pelayanan Medik di RSUD Komodo saat diwawancara Floresa pada 5 Oktober 2023. (Dokumentasi Floresa)

Ia mengatakan, pihaknya tidak tahu bahwa “pasien belum mendapatkan informasi terkait hasil tesnya” dan meminta korban menulis surat permintaan ke RSUD untuk mendapat salinannya.

Ia menjanjikan akan memberi jawaban pada 6 Oktober terkait nama polisi yang dahulu mengambil hasil tes itu di RSUD Komodo, setelah mencari tahu secara internal mengecek dokumen. Nama polisi itu akan disampaikan kepada korban.

Korban memberi tahu Floresa bahwa ia telah mengirim surat permintaan hasil itu kepada RSUD Komodo. 

Sementara terkait polisi yang dahulu menerima hasil tes itu dan dijanjikan oleh Andre untuk diberi tahu kepada korban, belum ada penjelasan.

“Sampe sekarang belum ada kabar,” kata korban pada 6 Oktober malam.

Pesan dari Floresa ke Andre pada 6 Oktober juga tidak lagi direpons. 

Karina, Kanit PPA Polres Manggarai Barat juga hanya membaca pesan Floresa yang menanyakan alasan mereka tidak menunjukkan hasil tes itu kepada korban, mengingat RSUD Komodo telah menyerahkannya kepada polisi. 

Dugaan Kejanggalan Saat Tes di RSUD Komodo

Korban mengaku menemukan dugaan kejanggalan dan upaya menghalang-halanginya sat ia melakukan tes di RSUD Komodo.

Hal itu ia kisahkan dalam sebuah dokumen puluhan halaman berisi kronologi kasus ini.

Dalam dokumen yang diakses Floresa itu, ia menguraikan bahwa polisi yang mendampinginya tampak “berusaha mempersulit saya untuk mendapatkan tes narkoba.”

“Beliau mengatakan hanya dengan mencampur abu rokok atau Bodrex ke dalam minuman, orang akan langsung mabuk,” katanya.

“Tapi saya tetap memaksa meminta tes itu karena saya tahu ada yang tidak wajar dengan kesadaran saya malam itu,” tulis korban.

Ia memberitahu polisi itu bahwa “bila memang tidak ada dalam daftar visum, maka akan saya lakukan mandiri karena saya berhak tahu dengan apa yang ada di tubuh saya.”

Ia menjelaskan polisi itu “tampak bingung dan terus menerus menulis pesan dengan seseorang melalui ponselnya, hingga akhirnya mengatakan atasannya mengizinkan saya mendapat tes narkoba.”

Saat tes itu, kata dia, ada proses tarik ulur, di mana “perawat tampak bingung dan memberi informasi yang berganti-ganti kepada saya.”

Mulanya perawat itu mengatakan “hasil tes narkoba dapat ditunggu,” namun “tak lama kemudian [perawat]  berkata [hasil tes narkoba] akan dimasukkan ke dalam hasil visum.”

Namun, kata dia, pernyataannya berubah lagi bahwa hasilnya dapat ditunggu.

“Yang terakhir, setelah satu jam saya menyerahkan urine, perawat yang menyuruh saya untuk menunggu hasil tes berkata, “Maaf ada sedikit masalah, hasil tes akan digabung dengan visum.’”

“Perawat mengizinkan saya pulang dan proses visum ini memakan waktu kurang lebih empat jam mulai dari pukul 08.30 sampai pukul 12.30 Wita.”

Kesimpulan Polisi Berpatokan Pada Keterangan Pelaku

Kasus ini menjadi ramai dibicarakan setelah korban mengisahkan kasusnya yang terjadi pada 2020 itu lewat X [Twitter] karena mengaku kecewa dengan penanganan polisi. Dia berharap mendapatkan keadilan dengan berbicara di media sosial, setelah langkah hukum yang ditempunya tidak kunjung mendapat hasil.

Polres Manggarai Barat memutuskan menghentikan penyelidikan kasus ini, beralasan bahwa mereka merujuk pada pengakuan pelaku.

Karina mengatakan pada 2 Oktober bahwa “tidak ada alasan untuk menindaklanjuti” prosesnya dan “hanya bisa dibuka kembali jika korban atau pengacara korban punya bukti lain yang kuat.”

Ia menjelaskan, mereka telah beberapa kali memeriksa dua pelaku pemerkosaan dan empat orang lainnya yang ia sebut sebagai saksi.

Jadi, kata dia, “dalam proses penyelidikan kami berdasarkan pengakuan dua pelaku itu, [hubungan intim] terjadi atas kemauan korban yang memaksa pelaku satu dan dua.”

Ia juga mengklaim “tidak ditemukan minuman beralkohol.”

Korban menyatakan kekecewaan pada kesimpulan polisi.

Polisi jahat sekali bilang saya memaksa pelaku berhubungan seksual, tanpa ada bukti yang jelas,” katanya.

Ia juga mengatakan tidak melihat kesungguhan polisi mencari barang bukti kasus ini.

Kesimpulan polisi bahwa tidak ditemukan minuman beralkohol, kata dia, adalah janggal karena ia sebetulnya telah memberikan barang bukti kepada polisi yang ia kumpulkan di lokasi kejadian, berupa lima botol Soju, dua kaleng Sprite, satu kaleng bir.

Ia mengatakan, ada satu “botol kecil yang saya tidak tahu itu apa, tetapi masih terlihat baru tergeletak di sekitar area.”

Ia mengatakan botol-botol itu ia pungut sendiri setelah melaporkan kasus ini ke polisi.

“Saya berikan langsung kepada Ibu Putu Lia karena polisi tidak mau kerja,” katanya merujuk polisi di Unit PPA Polres Manggarai Barat.

“Kalau tidak ditemukan alkohol itu, apa botol minuman yang saya kumpulkan dibuang? Katanya.

Prosedur apa yang dijalankan polisi, karena kata dia, “ada laporan pemerkosaan, tetapi  polisi tidak langsung cek lokasi dan kumpulkan bukti-bukti.”

Siti ‘Ipung’ Sapurah, pengacara korban pemerkosaan di Labuan Bajo yang kasusnya dihentikan polisi, berpegang pada keterangan pelaku. (Dokumentasi Floresa)

Bagi Siti ‘Ipung’ Sapurah, pengacara korban, berbagai kejanggalan memperkuat alasan agar kasus ini “dibuka kembali” oleh Kapolres Manggarai Barat, AKBP Ari Satmoko dan Kapolda NTT, Johny Asadoma, karena telah dilaporkan juga ke Polda NTT.

“Saya bersedia datang ke Labuan Bajo untuk mendampingi klien saya agar dibuat Berita Acara Pemeriksaan ulang, supaya kasus ini menjadi terang,” katanya kepada Floresa.

“Jangan berpatokan dengan keterangan para pelaku,” katanya.


Baca dua laporan kami sebelumnya tentang kasus ini:

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kawan-kawan bisa berdonasi dengan cara klik di sini.

Terkini