Kasus Dugaan Pemerkosaan Wisatawan di Labuan Bajo: Polres Manggarai Barat Bungkam, Kanit PPA Diganti

Sebelumnya polisi menyatakan menghentikan pengusutan, meskipun menurut lembaga negara lain kasus ini adalah pemerkosaaan dan korban mengalami trauma yang membutuhkan pendampingan psikologi.

Baca Juga

Floresa.co – Polres Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur memilih bungkam terkait tindak lanjut penanganan kasus dugaan pemerkosaan wisatawan yang kini sedang menjadi sorotan dan didesak oleh korban untuk diusut kembali.

Floresa juga mendapat informasi bahwa Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak [PPA] – yang sebelumnya mengklaim kasus ini tidak bisa ditindaklanjuti – baru saja diganti.

Saat mendatangi Polres Manggarai Barat pada Rabu, 18 Oktober, polisi di Unit PPA menolak memberikan keterangan.

“Kami tidak mau diwawancarai,” kata Putu Lia, salah seorang polisi di Unit PPA merespons pertanyaan terkait tindak lanjut penanganan kasus ini.

Ia kemudian menuding Floresa salah menulis berita sebelumnya yang mengutip keterangan Kepala Unit PPA, Karina Viktoria Anam.

Namun, ketika diberi penjelasan bahwa Floresa menyimpan bukti rekaman wawancara dan mempertahankan bahwa pernyataan yang dipublikasi sudah sesuai isi rekaman, ia hanya mengangguk.

Ia tetap memilih bungkam ketika ditanya lebih lanjut.

Putu Lia kemudian hanya menjelaskan bahwa Karina sudah diganti. Namun, ia tidak menjelaskan alasan pergantiannya.

Dalam wawancara pada 2 Oktober dengan Floresa, Karina mengklaim bahwa Polres Manggarai Barat telah memutuskan menghentikan pengusutan kasus ini setelah menyimpulkan keterangan pelaku.

Ia mengatakan, “tidak ada alasan untuk menindaklanjuti” prosesnya dan “hanya bisa dibuka kembali jika korban atau pengacara korban punya bukti lain yang kuat.”

Ia menjelaskan, mereka telah beberapa kali memeriksa dua pelaku dugaan pemerkosaan dan empat orang lainnya yang ia sebut sebagai saksi.

Jadi, kata dia, “dalam proses penyelidikan kami berdasarkan pengakuan dua pelaku itu, [hubungan intim] terjadi atas kemauan korban yang memaksa pelaku.”

Ia juga mengklaim “tidak ditemukan minuman beralkohol” saat peristiwa itu.

Usai penerbitan laporan itu, Karina sempat menghubungi Floresa, menjelaskan bahwa pernyataanya yang dikutip tidak sesuai dan menyebut ia ditekan oleh atasannya.

Namun, ia memilih tidak merespons lagi ketika diberitahu bahwa Floresa menyimpan bukti rekaman wawancara.

Ia juga sempat meminta kepada Floresa nomor pengacara korban, Siti ‘Ipung’ Sapurah, yang pernyataannya juga dikutip dalam berita yang sama.

Namun, Ipung menyatakan tidak bersedia nomornya diberikan kepada Karina. Ia mengatakan hanya bersedia berkomunikasi dengan polisi lewat surat resmi atau saat bertemu di kantor Polres Manggarai Barat.

Kasus ini menjadi ramai dibicarakan setelah korban mengisahkan kasusnya yang terjadi pada 2020 itu lewat X [Twitter] karena mengaku kecewa dengan penanganan polisi.

Dia berharap mendapatkan keadilan dengan berbicara di media sosial, setelah langkah hukum yang ditempuhnya tidak kunjung mendapat hasil.

Korban menyatakan kekecewaan pada kesimpulan polisi dan berharap kasus ini diusut kembali.

“Polisi jahat sekali bilang saya memaksa pelaku berhubungan seksual, tanpa ada bukti yang jelas,” katanya.

Ia juga mengatakan tidak melihat kesungguhan polisi mencari barang bukti kasus ini.

Kesimpulan polisi bahwa tidak ditemukan minuman beralkohol, kata dia, adalah janggal karena ia sebetulnya telah memberikan barang bukti kepada polisi yang ia kumpulkan di lokasi kejadian, berupa lima botol minuman beralkohol jenis Soju, dua kaleng Sprite dan satu kaleng bir.

Ia mengatakan botol-botol itu ia pungut sendiri setelah melaporkan kasus ini ke polisi.

Korban menyebut botol-botol itu ia berikan kepada Putu Lia “karena polisi tidak mau kerja.”

“Kalau tidak ditemukan alkohol itu, apa botol minuman yang saya kumpulkan dibuang?” katanya.

Ia mempertanyakan prosedur yang dijalankan polisi, karena “ada laporan pemerkosaan, tetapi  polisi tidak langsung cek lokasi dan kumpulkan bukti-bukti.”

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan [Komnas Perempuan] dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban [LPSK] telah ikut menyikapi kasus ini. 

Setelah mempertimbangkan aduan korban, Komnas Perempuan mengirim surat kepada Polres Manggarai Barat sebanyak dua kali.

Dalam sebuah surat yang dikirim pada Oktober 2020, lembaga negara itu mengatakan korban merupakan korban pemerkosaan yang dilakukan secara terencana, tidak seperti klaim pelaku bahwa hubungan seksual dengan korban atas dasar suka sama suka.

Pemerkosaan, kata Komnas Perempuan, memanfaatkan kondisi korban yang tidak sadarkan diri dan karena itu tidak ada alasan yang meringankan ataupun alasan pemaaf bagi pelaku dalam kasus ini.

Sementara itu LPSK yang telah melakukan asesmen terhadap kondisi psikologis korban menyatakan bahwa korban masih mengalami trauma berat.

Karena itu, dalam sebuah surat pada September 2023, lembaga itu menyatakan pendampingan kepada korban akan dilakukan untuk waktu enam bulan.

Dalam pernyataan terbaru kepada Floresa, korban mengatakan memilih mempertahankan penyelesaian kasus ini secara hukum karena ingin mendorong polisi bekerja profesional dan mencegah kasus serupa terjadi kembali.

“Mau sampai kapan predator seksual di Labuan Bajo berkeliaran?” katanya.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kawan-kawan bisa berdonasi dengan cara klik di sini.

Terkini