Caleg Eks Napi DPRD Manggarai Barat: Dua Terkait Judi Bersama Edi Endi, Satu Terkait Kejahatan Seksual terhadap Anak

Pencalonan caleg eks napi kejahatan seksual pernah dianulir oleh Bawaslu pada pileg tahun 2019

Baca Juga

Floresa.co – Enam calon legislatif atau caleg DPRD Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur [NTT] pernah mendapat vonis penjara, dua di antaranya karena kasus perjudian dengan Edistasius Endi, yang kini menjabat sebagai bupati di ujung barat Pulau Flores itu.

Para caleg eks narapidana atau napi tersebut merupakan bagian dari 395 caleg DPRD Manggarai Barat yang telah ditetapkan Komisi Pemilihan Umum [KPU] Manggarai Barat pada awal November.

Dua caleg yang terlibat kasus judi bersama Edi Endi adalah Aventinus Jesman  dan Hasiman Tan Timotius. Saat kasus ini terjadi pada April 2016, Edi Endi berstatus sebagai Ketua DPRD Manggarai Barat.

Ketiganya ditangkap di sebuah rumah di Labuan Bajo, bersama Ovan Adu, Kepala Bidang Bina Marga saat itu; Ferdinandus Setia, seorang kontraktor dan Matheos Siok, seorang polisi. Pada 16 Agustus 2016, Pengadilan Negeri Labuan Bajo menjatuhkan hukum penjara 4 bulan 15 hari kepada semua terdakwa.

Aventinus Jesman – yang menjadi Ketua KPUD Manggarai Barat saat kasus perjudian itu terjadi – menjadi caleg dari Partai Kebangkitan Bangsa. 

Mendapat nomor urut lima, Jesman maju di daerah pemilihan dua yang meliputi Kecamatan Macang Pacar, Kuwus, Ndoso, Pacar dan Kecamatan Kuwus Barat.

Sementara itu, Hasiman Tan Timotius – yang menjabat sebagai Ketua Dewan Pimpinan Cabang Partai Amanat Nasional [PAN] saat kasus perjudian terjadi – menjadi caleg dari PAN. 

Bertengger di nomor urut satu, Hasiman maju di daerah pemilihan satu yang meliputi Kecamatan Komodo, Kecamatan Boleng, Kecamatan Mbeliling dan Kecamatan Sano Nggoang.

Selain Aventinus Jesman dan Hasiman Tan Timotius, dua caleg lainnya yang juga pernah terlibat kasus perjudian adalah Paskalis Yosep Sudario dan Safrudin Siprianus, keduanya sama-sama dari Partai Demokrat.

Paskalis Yosep Sudario yang maju dengan nomor urut satu di daerah pemilihan satu divonis dua bulan penjara pada 22 Mei 2014. Sementara Safrudin Siprianus maju dengan nomor urut 10 juga di daerah pemilihan satu, divonis penjara dua bulan 15 hari pada 4 Juni 2015.

Satu caleg lainnya yaitu Stanislaus Stan merupakan mantan napi kasus tindak pidana korupsi. Stanislaus yang maju dengan nomor urut satu di daerah pemilihan satu dari Partai Perindo divonis dua tahun tiga bulan penjara pada 18 Agustus 2010.

Mengutip Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Labuan Bajo, Stanislaus melakukan tindak pidana korupsi dalam kapasitasnya sebagai Ketua Unit Pengelola Kegiatan Kecamatan Sano Nggoang, Mustafaruni alias Roni selaku Bendahara UPK dan Ambrosius Binol selaku Sekretaris UPK pada kurun antara Januari 2004 sampai dengan Desember 2007.

Ketiganya dinilai “secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.”

Ini bukan kali pertama Stanislus Stan maju sebagai caleg. Tahun 2019, ia juga maju sebagai caleg dari Partai Gerindra.

Satu Caleg Napi Kasus Kekekerasan Seksual Terhadap Anak

Dari enam caleg mantan napi ini, salah satu diantaranya merupakan mantan napi kasus kekerasan seksual, yaitu Donatus Jehadir. Mendapat nomor urut empat, Donatus berlaga di daerah pemilihan tiga yang meliputi Kecamatan Lembor, Kecamatan Welak dan Kecamatan Lembor Selatan.

Pengadilan Negeri Ruteng pada 13 Desember 2007 memvonisnya lima tahun penjara karena  melanggar Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Ia pernah maju sebagai caleg pada 2019. Namun, pencalonannya dianulir oleh Badan Pengawas Pemilu pada September 2018 karena tidak mendeklarasikan diri sebagai mantan napi kejahatan seksual. Saat itu, ia merupakan bakal caleg dari PAN, nomor urut dua untuk daerah pemilihan tiga.

Pasal 240 ayat (1) huruf g Undang-Undang No.7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum memang mengatur bahwa para caleg dari tingkat pusat hingga daerah harus memenuhi persyaratan tidak pernah dipidana penjara lima tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.

Pada pemilu 2019, pasal tersebut kemudian diadopsi dalam Peraturan KPU No. 20 tahun 2018 pasal 7 ayat (1) huruf g. Selain itu, dalam peraturan yang sama yaitu pasal pasal 4 ayat (3), KPU dengan tegas melarang pencalonan napi untuk bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi. Namun, pasal 4 ayat ayat (3) kemudian direvisi lagi dengan membolehkan eks napi korupsi untuk mencalonkan diri.

UU dan peraturannya turunannya itu menjadi alasan Bawaslu menggagalkan pencalonan Donatus pada 2019.

Dulu Dilarang, Sekarang Bagaimana?

Bila dalam pemilu lima tahun lalu, KPU dengan tegas melarang pencalonan mantan napi kejahatan seksual terhadap anak dalam pemilihan legislatif, tidak demikian dengan pemilu 2024.

Kali ini, KPU lebih lunak, tidak saja terhadap napi korupsi, tetapi juga kasus-kasus lainnya, termasuk kasus kejahatan seksual terhadap anak, sebagaimana tergambar dalam Peraturan KPU No. 10 tahun 2023.

Ketentuan mengenai persyaratan administrasi bakal calon anggota DPR dan DPRD diatur dalam pasal 12 PKPU tersebut.

Pasal tersebut membolehkan mantan napi yang telah melewati jangka waktu lima tahun menjalani pidana penjara.

Selanjutnya, ketentuan lebih lanjut terkait persyaratan dalam pasal 12 tersebut juga diatur dalam pasal 18.

Dalam pasal itu, para caleg mantan napi hanya perlu  menyerahkan surat keterangan dari kepala lembaga pemasyarakatan dan/atau kepala balai pemasyarakatan; salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; dan bukti pernyataan yang memuat latar belakang jati diri yang bersangkutan sebagai mantan terpidana, jenis tindak pidananya, yang diumumkan melalui media massa.

Ponsianus Matur, Koordinator Divisi Hukum dan Pengawasan KPU Manggarai Barat mengatakan seluruh caleg eks napi sudah memenuhi persyaratan yang diatur dalam PKPU No.12 tahun 2023 tersebut.

Hal yang sama juga disampaikan Muhamad Hamka, Kordinator Divisi Hukum Bawaslu Manggarai Barat.

“Secara normatif, mereka sudah memenuhi persyaratan sebagaimana dalam PKPU 10 2023,” ujar Hamka.

Mershinta Ramadhani, aktivis pemerhati perempuan dan anak dari Puanitas Indonesia mengatakan PKPU No.10 tahun 2023 yang melenggangkan langkah para eks napi, termasuk yang terkait kekerasan seksual,  akan mempengaruhi tingkat kepercayaan publik terhadap komitmen negara dalam memberantas jenis kejahatan yang sudah masuk dalam kondisi “darurat moral.”

Ia mengatakan setiap warga negara termasuk mantan napi memang memiliki hak konstitusional untuk dipilih dalam pemilihan umum.

Namun, Mershinta khawatir masyarakat kemudian akan menganggap kekerasan seksual sebagai “bukan kasus luar biasa karena sekalipun punya rekam jejak seperti itu negara tetap memberikan kesempatan mereka dalam ajang pemilihan legislatif.”

Ia mengatakan pekerjaan rumah yang tak kalah pentingnya adalah meningkatkan pemahaman dan kesadaran politik masyarakat untuk lebih cerdas dalam menentukan pilihan.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kawan-kawan bisa berdonasi dengan cara klik di sini.

Terkini