Konsolidasi Jejaring Perlawanan Rakyat Flores-Lembata; Momen Refleksi dan Berbagi di Tengah Gempuran Industri Ekstraktif

Pertemuan ini melibatkan 30 orang warga dari berbagai komunitas terdampak pembangunan ekstraktif di Flores-Lembata. Mereka saling berbagi pengalaman dan memperkuat gerakan perlawanan

Floresa.co – Yuliana Guru, perempuan 52 tahun asal Kampung Adat Cako, Poco Leok, Manggarai tak kuasa menahan air mata ketika mengisahkan situasi di kampungnya belakangan ini.

“Semenjak masuknya PT PLN, kami tidak bisa bergerak cari nafkah, berlawanan terus dengan pihak keamanan,” ungkapnya.

Setiap hari, kata ibu lima orang anak itu, warga selalu berjaga-jaga di beberapa lokasi, memastikan tidak ada aktivitas yang dilakukan PT Perusahaan Listrik Negara itu.

Maria “Mery” Teme, perempuan lainnya dari Lungar, Poco Leok mengatakan situasi mereka belakangan ini “sangat keras” dan “penuh paksaan”, berkaitan dengan perlakuan represif aparat keamanan.

“Kami bahkan didorong pakai mobil,” ungkapnya mengisahkan kejadian pada 25 November lalu, di mana mobil polisi menerobos kerumunan warga yang menghadang petugas PT PLN.

Beberapa tahun belakangan, warga dari belasan Gendang [kampung adat] di wilayah Poco Leok memang gencar melakukan penolakan terhadap proyek perluasan PLTP Ulumbu Unit 5-6, bagian dari Proyek Strategis Nasional bidang energi yang dikerjakan oleh PT PLN.

Selain melakukan penghadangan terhadap petugas PLN, Badan Pertanahan [ATR/BPN], dan pegawai Pemerintah Daerah Kabupaten Manggarai, warga juga sudah melakukan beragam cara penolakan, misalnya menulis surat kepada pendana proyek asal Jerman Bank Kreditanstalt für Wiederaufbau (KfW) dan kepada pemerintah, juga melakukan aksi demonstrasi di Ruteng, ibukota Kabupaten Manggarai. 

Para peserta pertemuan. (Dokumentasi Floresa)

Sebagai petani kecil, kata Yuli, mereka tak hanya kehilangan waktu untuk berkebun, tetapi juga mengalami cedera oleh tindak represif aparat keamanan.

“Ada yang luka, ada yang ditendang, didorong oleh polisi,” katanya.

Yuli dan Mery adalah dua dari 30 peserta pertemuan “Jejaring Perlawanan dan Pemulihan Kepulauan Flores-Lembata” yang diinisiasi secara bersama oleh warga dari Flores bagian Barat hingga Pulau Lembata dan lembaga-lembaga advokasi yakni JPIC OFM, Jaringan Advokasi Tambang [Jatam], JPIC SVD, Walhi NTT, Solidaritas Perempuan [SP Flobamoratas], Trend Asia, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia [YLBHI], Aliansi Gerakan Reforma Agraria [AGRA], Penguatan Lingkar Belajar Komunitas Lokal [PIKUL Kupang], dan Sunspirit for Justice and Peace.

Pertemuan tersebut berlangsung di Pusat Ekopastoral Fransiskan Pagal, Kabupaten Manggarai pada Senin hingga Selasa, 27-28 November 2023, membahas refleksi dan pembelajaran dari gerakan komunitas warga.

Selain itu pertemuan ini juga membahas komitmen bersama untuk menjaga dan mempertahankan ruang hidup dari berbagai gempuran industri ekstraktif, yaitu pertambangan, pariwisata, perampasan lahan dan kawasan hutan, serta ancaman terhadap ekosistem pesisir. 

Beberapa perwakilan perempuan mengangkat secara khusus isu kekerasan berbasis gender dalam pembangunan di wilayah NTT.

“Investasi yang sarat dengan padat modal dan teknologi, alih-alih membuat keadaan lebih baik bagi kelompok sasarannya, justru berakhir pada dominasi, pencaplokan kekayaan alam dan sumber-sumber agraria, marginalisasi, subordinasi, dan kekerasan dalam berbagai bentuk,” demikian pernyataan tertulis panitia.

Pertemuan tersebut menjadi ajang “membentuk kesadaran kritis” dalam “ruang evaluasi dan refleksi bersama, baik di level komunitas maupun jejaring perlawanan yang lebih luas.”

Ancaman Nyata Industri Ekstraktif

Ludgardis Rima, 48 tahun, yang mewakili komunitas warga dari Serise, Kecamatan Lambaleda Utara, Manggarai Timur mengisahkan tentang masuknya perusahaan tambang mangan PT Istindo Arumbay di wilayah itu beberapa tahun silam.

Hal itu, kata dia, menyebabkan ruang hidup mereka terancam.

Ludgardis Rima [kiri] saat membagikan pengalaman melawan tambang mangan di Serise, Manggarai Timur. (Dokumentasi Floresa)
“Penggilingan batu mangan itu ada di depan rumah saya, jaraknya hanya 25 meter,” ungkap ibu tujuh orang anak itu.

Meski aktivitas perusahaan tersebut telah berhenti beberapa tahun lalu, kata dia, warga di lingkar tambang itu hingga kini terpaksa mengonsumsi air dengan kandungan mangan tinggi.

“Saya masih menderita karena air sumur yang saya nikmati masih penuh dengan endapan debu hitam dari mangan,” ungkapnya.

Untuk mengatasi kondisi itu ia dan keluarganya menampung air dari sumur selama tiga hari, menunggu hingga debu-debu hitam tersebut mengendap di dasar wadah air.

Genoveva Namur, 46 tahun, ibu enam orang anak mengatakan selain masalah air, lahan ulayat di dataran yang lebih tinggi bernama Lingko Renge Komba tidak lagi dapat dimanfaatkan oleh warga Serise yang sebagian besarnya petani.

“Lubang-lubang bekas tambang tersebut masih menganga,” ungkapnya.

Hery Jem, warga asal Racang Buka, Labuan Bajo, yang hingga kini terlibat konflik dengan Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo Flores [BPO LBF] di kawasan Hutan Bowosie mengatakan ia dan seluruh warga lainnya di komunitas itu tidak akan berhenti berupaya untuk mendapatkan pengakuan negara atas lahan pemukiman dan pertanian.

Hery Jem menunjukkan infografis yang dibuatnya terkait evaluasi dan rekomendasi perjuangan Komunitas Warga Racang Buka, Labuan Bajo. (Dokumentasi Floresa)

“Meskipun BPO-LBF sudah mengantongi sertifikat HPL beberapa waktu lalu, kami yakin itu bukan berarti mereka menang,” ungkapnya.

Ia dan ratusan warga lainnya di Komunitas Masyarakat Racang Buka adalah korban penggusuran lahan oleh BPO LBF untuk membangun kawasan wisata eksklusif bernama “Parapuar” di atas lahan seluas 400 hektar bekas hutan Bowosie. 

Sementara warga yang menduduki sekitar 150 hektar tepi barat hutan tersebut telah mengupayakan pembebasan lahan sejak dekade 1990-an, BPO LBF yang dibentuk melalui Peraturan Presiden Nomor 32 tahun 2018 mendapatkan lahan otoritatif seluas 400 hektar, termasuk di dalamnya kawasan pemukiman dan pertanian warga.

“Kami punya prinsip bahwa kami yang hidup dan bertempat tinggal di tanah itu akan tetap bertahan sampai kapanpun,” ungkapnya.

Rofinus Rabun dari Dasak, Desa Wae Sano, lokasi Wilayah Kerja Panas Bumi di Manggarai Barat mengatakan, ancaman nyata proyek geothermal tidak akan dirasakan oleh para investor, orang-orang kaya, maupun pemerintah dan aparat yang memaksakan proyek tersebut.

“Ancaman nyata dari proyek itu dirasakan oleh warga sekitar yang tanah dan airnya suatu saat akan tercemar dan hilang,” ungkapnya.

“Apapun alasan pemerintah untuk meloloskan proyek itu, kami hanya punya satu sikap yaitu menolak atas dasar keberlanjutan ruang hidup bersama kami,” tambahnya.

Yuliana Guru menambahkan, masuknya rencana pengeboran geothermal di Poco Leok membuat warga terancam kehilangan tanahnya. Ia mengatakan, “manusia akan berkembang terus menerus, tetapi tanah tidak berkembang biak.”

Momen Refleksi dan Berbagi

Bagi Direktur JPIC OFM Indonesia, Pastor Fridus Derong, OFM, pertemuan ini adalah momen perjumpaan antar-komunitas warga untuk berbagi cerita, pengalaman, kegembiraan, kesedihan, kecemasan, dan harapan mereka.

Ia mengatakan refleksi, evaluasi, dan konsolidasi tahunan tersebut berguna untuk melihat kerapuhan, kekuatan, kemenangan, dan kegagalan, juga mengevaluasi secara bersama sistem dan mekanisme kerja komunitas warga dan jejaring lembaga advokasi.

“Hal itu untuk membuat perubahan yang signifikan, demi perjuangan yang lebih baik, efektif, dan berhasil,” ungkapnya.

Sementara itu, Koordinator Nasional Jatam, Melky Nahar mengatakan ruang bersama dibutuhkan untuk evaluasi dan refleksi bersama, baik di level komunitas warga maupun jejaring perlawanan yang lebih luas.

Ruang bersama tersebut, kata dia, juga bertujuan untuk membangun kesadaran kritis yang bersifat kolektif, sebab “kesadaran kritis menjadi senjata ampuh dalam menghalau setiap investasi destruktif yang punya daya rusak di Flores dan Lembata.”

Terkait industri ekstraktif yang berdaya destruktif tersebut, ia mengangkat contoh proyek panas bumi dalam skala besar yang menempatkan rakyat dalam risiko yang besar. 

Selain karena berada langsung di ruang hidup warga, kata dia, Pulau Flores juga berada di atas jalur cincin api vulkanik atau ring of fire

“Warga tidak saja menuntut sebuah pembangunan yang partisipatif, di mana mereka dilibatkan, tetapi menggugat tujuan, manfaat, dan bahkan seluruh rancang bangun pembangunan itu,” pungkasnya.

Peserta pertemuan foto bersama usai penanaman pohon di Embung Wae Kebong. (Dokumentasi Floresa)

Selain refleksi, berbagi pengalaman dan pelatihan menyusun peta persoalan di komunitas serta strategi bersama, pada pertemuan tersebut para peserta juga melakukan penanaman pohon lokal Manggarai jenis Meni’i di Embung Wae Kebong, sekitar dua kilometer sebelah timur dari Pusat Ekopastoral Fransiskan Pagal. 

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

TERKINI

BANYAK DIBACA

BACA JUGA