Floresa.co – Seorang nenek di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat memilih tetap berjuang untuk mengklaim dua bidang tanah yang kini sudah dikuasai dua perusahaan, kendati ia telah kalah dalam proses hukum hingga tingkat kasasi.
Dua bidang tanah dengan luas masing-masing 6.767 meter persegi dan 11.134 meter persegi itu terletak di pinggir pantai Labuan Bajo, dekat dengan Hotel Luwansa.
Keduanya sudah dikuasai oleh PT. Cahaya Kasih Pengharapan untuk tanah seluas 11.134 meter persegi dan PT. Karamba Loh Dora untuk tanah 6.767 meter.
Kendati demikian, Jahara Saleh Hayung, 67 tahun, perempuan asal Kampung Majaparang, Desa Gorontalo, Kecamatan Komodo itu mengklaim dua bidang itu adalah warisan keluarganya, yang dijual pihak lain dengan memalsukan sertifikat.
Dengan keyakinan itulah, ia kini terus berjuang, termasuk dengan meminta perhatian Kementerian Agraria dan Tata Ruang Badan Pertanahan Nasional [ATR/BPN].
Paharuddin, kuasa hukumnya berkata, Jahara memperoleh kedua bidang tanah itu dari Hasan Hayung, kakek buyutnya, yang kemudian mewariskannya kepada Kumala, orangtua Saleh Hayung.
Dari Kumala, kata dia, diwariskan ke Saleh Hayung, yang selanjutnya kepada Jahara.
“Hasan Hayung adalah pendiri Kampung Majaparang tahun 1915,” kata Paharuddin kepada Floresa.
Peralihan Tanah 11.134 Meter Persegi
Peralihan kepemilikan tanah seluas 11.134 meter persegi itu, kata dia, bermula dari Sertifikat Hak Milik [SHKM] Nomor 362 yang dikeluarkan Kantor Badan Pertanahan Nasional Manggarai pada 1992. Manggarai merupakan induk dari Manggarai Barat yang mekar pada 2001.
Sertifikat itu, kata dia, atas nama Ishaka, ayah Ramang, bukan Jahara.
“Tidak tahu kenapa tanah itu disertifikatkan atas nama Ishaka,” katanya.
Ia menjelaskan pada 1996 Ishaka menjual tanah itu kepada Helena Lada Sitta, yang pada pada 2001 dijual Helena kepada Achmad Fathoni.
Pada 2013, kata dia, Achmad menjualnya lagi kepada PT Cahaya Kasih Pengharapan.
Tahun itu pula, kata dia, SHM itu dibalik nama oleh PT. Cahaya Kasih Pengharapan menjadi Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 20.
Berbekal SHGB dan akta tanah itu, kata dia, Charles Sitorus, pemilik PT Cahaya Kasih, bersama BPN Manggarai Barat mengusir Jahara sekeluarga dari tanah itu, lalu membuat pagar tembok.
“Ini tanah sudah milik PT Cahaya Kasih Pengharapan karena sudah dibeli dan sudah ada sertifikat,” ungkapnya menirukan ucapan pegawai BPN.
Paharuddin menjelaskan hal itu memicu keributan. Jahara dan suaminya Haji Kasim Hamnu merusak pagar PT Cahaya Kasih Pengharapan.
Pada 2014, keduanya dilaporkan ke Polres Manggarai Barat, hingga divonis bersalah dalam putusan pada 2019 dan diminta mengosongkan tanah itu.
Ia menjelaskan, Jahara sempat mengajukan banding. Namun, kata dia, Abdul Hakim, pengacara mereka ketika itu hanya mengajukan Haji Kasim dan anaknya, Saing Basri sebagai pemohon sehingga ditolak pengadilan tinggi.
“Ketika hendak kasasi, Abdul Hakim meninggal dunia dan diajukan pengacara lain yaitu Hendrik Jehadut. Di tingkat kasasi, Jahara juga kalah,” ungkapnya.
Tanah 6.767 Meter Persegi
Selain lahan tersebut, pada 2011, kata Paharuddin, Ramang juga menjual tanah seluas 6.767 meter persegi kepada PT. Karamba Loh Dora, sebuah perusahaan pembesaran ikan laut.
Tanah itu, kata dia, sebetulnya milik Jahara.
Namun, kata Paharuddin, Ramang mengklaimnya, dengan memakai sertifikat untuk tanahnya yang lain, yang berlokasi di Kampung Wae Kelambu, Desa Gorontalo di Jalan Poros Bandara Komodo Labuan Bajo seluas 4.226 meter persegi.
Sertifikat tanah di Jalan Poros Bandara itu, kata dia, diubah, menjadi berlokasi di tanah milik Jahara.
Padahal, kata dia, tanah Jahara itu luasnya 6.767 meter persegi.
“Kebetulan tanah milik Jahara Saleh di Majaparang mirip dengan letak tanah milik Haji Ramang di Jalan Poros Bandara, sama-sama di sebelah utara berbatasan dengan sungai dan di sebelah timur dengan jalan raya,” ungkapnya.
Dalam sertifikat yang dipalsukan pada 2001 itu, kata Paharuddin, Ramang mengubahnya dengan tulisan tangan dari sebelumnya bernomor 38 menjadi bernomor 37.
Ramang, tambahnya, juga mengubah gambar peta lokasi dan luas tanah serta nama pemilik batas tanah.
Pada batas sebelah selatan, kata dia, dari sebelumnya berbatasan dengan tanah negara, diubah menjadi berbatasan dengan tanah milik Helena Lada Sitta.
“Hal itu dilakukan Haji Ramang dengan tujuan menyandingkan sertifikat miliknya dengan sertifikat Nomor 362,” merujuk tanah milik Helena Lada Sitta, yang dibeli dari Ishaka.
Paharuddin menjelaskan dengan sertifikat yang dipalsukan itu, pada 2010, Ramang mengajukan permohonan pelepasan hak tanahnya kepada Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional [BPN] Manggarai Barat, Siprianus Reku.
Pada tahun yang sama, kata dia, Siprianus menerbitkan dan menandatangani surat keterangan pelepasan hak itu.
Tahun berikutnya, 2011, kata Paharuddin, Ramang menjual tanah itu kepada PT Karamba Loh Dora, dengan notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah, Idrus Ebang.
Idrus, jelasnya, tidak mengecek keaslian dan alas hak warkah penerbitan sertifikat itu di Kantor BPN Manggarai Barat karena Ramang telah mengantongi surat keterangan pelepasan hak.
BPN, kata dia, kemudian menerbitkan Sertifikat Hak Guna Bangunan [SHGB] Nomor 3 yang dipakai Haji Ramang ketika menjualnya kepada PT Karamba Loh Dora.
Paharudin berkata, Haji Umar, kakak kandung Ramang sempat mengkonfirmasi kepada pihaknya bahwa tanah itu adalah milik Jahara, bukan Ramang.
“Memang tanah itu milik Jahara tapi berperkara dengan Ramang yang banyak uang,” ungkapnya menirukan ucapan Umar.
Ia menambahkan, Haji Abdul Rahman, adik kandung Ramang yang pernah menjabat sebagai Kepala Dinas Penanaman Modal Manggarai Barat juga pernah menyuruh pegawainya membantu Jahara mengurus pajak tanah sengketa itu.
Abdul, kata dia, juga mengkonfirmasi bahwa tanah itu memang milik Jahara.
“Andai tanah itu milik bapak saya, Ishaka, maka saya juga bersama saudara saya yang lain pasti dapat juga bagian-bagian, bukan cuma Haji Ramang,” ungkapnya menirukan ucapan Abdul.
Paharuddin juga berkata perbedaan paling nyata pada sertifikat Ramang dengan sertifikat PT Karamba Loh Dora terletak pada Nomor Identifikasi Bidang Tanah [NIB].
“NIB letak tanah Haji Ramang Ishaka bernomor 25, dengan kode Kelurahan Labuan Bajo. Sedangkan NIB letak tanah PT Karamba Loh Dora bernomor 10, dengan kode Desa Gorontalo,” ungkapnya.
Klaim Ramang
Di sisi lain, Gabriel Kou, kuasa hukum Ramang membantah bahwa kliennya merampas lahan Jahara.
Ia mengatakan tuduhan Jahara bahwa Ramang menggunakan sertifikat tanah rumahnya di Jalan Poros Bandara sebagai alas hak untuk menjual tanah milik Jahara, “sangat tidak benar.”
Gabriel mengklaim sertifikat yang dimiliki Ramang mempunyai batas-batas yang jelas dan “semua itu pun sudah melewati proses persidangan di pengadilan.”
Jika ada indikasi pemalsuan dokumen, kata dia, bisa dilaporkan secara pidana karena “itu soal yang paling penting.”
Ia mengatakan jika laporan itu terbukti, maka semua putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap bisa dibatalkan.
“Yang penting terbukti bahwa benar sertifikat itu adalah palsu,” katanya, seperti dilansiri Radarflores.com.
Gabriel mengatakan dalam perkara Jahara tidak pernah menunjukan dokumen berupa alas hak tanah tersebut.
Jahara, kata dia, hanya mengandalkan saksi bahwa “mereka menguasai tanah tersebut secara turun-temurun,” namun “tidak ada bukti tertulis.”
Terkait dengan perbedaan jumlah luas lahan dari yang sebelumnya 4226 m² berubah menjadi 6767 m², menurut dia, hal itu karena proses alam abrasi di bagian barat yang berbatasan dengan laut.
Merujuk pada situs Kementerian Kelautan dan Perikanan, abrasi adalah pada proses alam berupa pengikisan tanah di daerah pesisir pantai karena ombak dan arus laut yang sifatnya merusak.
Dari pengertian ini, luas tanah seharusnya berkurang, berbeda dengan klaim Gabriel.
Saing Basri, anak pertama Jahara juga mempertanyakan alasan Gabriel.
“Kalau abrasi itu pengikisan, sementara alasan kuasa hukumnya kan terjadi penambahan,” katanya kepada Floresa di rumahnya pada 20 Februari.
“Artinya, seharusnya berkurang dia punya tanah, bukan bertambah,” tambahnya.
Tuntut Pembatalan Sertifikat
Paharuddin yang sejak 2017 menjadi pengacara Jahara berkata, pada 2019 keluarga Jahara pernah melaporkan kasus ini ke polisi, dengan tudingan pemalsuan dokumen sertifikat oleh Ramang. Jahara juga ikut menggugat sejumkah pihak lainnya yang telah menduduki dua bidang tanah yang diklaimnya.
Dalam pemeriksaan kala itu, kata dia, “penyidik membuat Ramang tidak berkutik dan mengaku telah membuat dan menggunakan sertifikat palsu.”
Tetapi, kata dia, polisi tidak memproses Ramang karena sampai sekarang alat bukti asli sertifikat palsu dan warkah SHGB Nomor 3 tahun 2011 masih ada di BPN Manggarai Barat.
Dalam putusan pengadilan, kata dia, mereka akhirnya kalah karena ketiadaan bukti itu.
Ia menambahkan kunci lain kasus ini adalah pada SHM Nomor 362 tahun 1992 yang jadi pegangan Ramang.
Namun, kata dia, BPN tidak pernah memenuhi permintaan Polres Manggarai Barat untuk menunjukkan SHM itu.
Ia menjelaskan, setidaknya dua kali Polres memintanya SHM 362 itu kepada Kepala Kantor Wilayah BPN Nusa Tenggara Timur di Kupang.
Surat pertama dikirim Kapolres Manggarai Barat, AKBP Julisa Kusumowardono pada 9 Agustus 2019 dan surat kedua oleh penggantinya, AKBP Handoyo Santoso 29 Januari 2020.
Lantaran kedua surat itu tidak kunjung direspons, kata dia, Jahara lalu mengadu ke Kementerian ATR/BPN pada 31 Agustus 2019, meminta “mencabut SHM Nomor 37 Tahun 2002 dan menarik SHM Nomor 362 Tahun 1992.”
Pengaduan itu direspons Kementerian ATR/BPN pada pada 16 September 2019, di mana Direktur Jenderal Penanganan Masalah Agraria, Pemanfaatan Ruang dan Tanah, Hary Sudwijanto, mengirimkan surat kepada Kepala Kantor BPN Manggarai Barat, I Gusti Made Anom Kaler, menindaklanjuti permintaan Jahara. Namun, kata Paharuddin, surat pertama itu diabaikan.
Pada 13 Maret 2020, kata dia, Direktur Penanganan Masalah Agraria, Pemanfaatan Ruang dan Tanah, Daniel Adityajaya juga mengirimkan surat lagi kepada Abel Asa Mau, pengganti Made Anom. Surat itu, kata dia, kembali diabaikan.
Paharuddin mengatakan lantaran kedua surat itu tidak direspons, pada 11 April 2022 Jahara kembali mengirimkan surat kepada Menteri ATR/BPN.
Merespons surat itu, pada 27 Juli 2022, Direktur Pencegahan dan Penanganan Konflik Pertanahan, Widodo mengirimkan surat ketiga kepada Kepala Kantor BPN Manggarai Barat, Budi Hartono. Paharuddin mengatakan surat itu juga diabaikan Budi.
Kementerian ATR/BPN, kata dia, telah mengirim surat keempat pada 15 November 2023. Surat itu dikirim Direktur Pencegahan dan Penanganan Konflik Pertanahan, Arif Rachman kepada Kepala Kantor BPN Manggarai Barat yang baru, Gatot Suyanto
Paharuddin berharap Gatot menanggapi surat itu.
Floresa sudah mengontak Gatot via ponselnya. Namun, pesan yang dikirim via WhatsApp sejak 19 Februari tidak dibalas.
Saing Basri berharap “semoga BPN bisa merespons surat yang dikeluarkan oleh Kementerian ATR/BPN.
“Kalau sertifikat yang telah diterbitkan itu bisa diperiksa, maka kasus ini bisa ditinjau lagi,” katanya saat ditemui di rumahnya.
Tren Konflik Tanah di Labuan Bajo
Sengketa ini terjadi di tengah Konflik lahan di Labuan Bajo yang kian meningkat dan kompleks dalam beberapa tahun terakhir, seiring perkembangan pesat kota di ujung barat Pulau Flores ini sebagai destinasi pariwisata.
Hal ini berdampak pada peningkatan drastis harga tanah.
Konflik seperti ini berjalan beriringan dengan tren peralihan status kepemilikan tanah dari warga setempat ke pihak lain, termasuk para investor.
Di daerah Mbehal, Kecamatan Boleng, pinggiran Labuan Bajo sempat terjadi konflik berdarah perebutan lahan pada 2017 yang menewaskan dua orang.
Donatus Jehurut dan Alosius, warga asal Kusu, Kecamatan Ruteng, Kabupaten Manggarai itu menjadi pekerja di kebun yang diklaim milik Robert, seorang warga asal Australia.
Mereka tewas saat terlibat perkelahian dengan warga lain yang juga mengklaim lahan itu.
Informasi yang diperoleh Floresa, banyak dari lahan-lahan konflik di wilayah Labuan Bajo sudah dijual kepada pihak lain.
Editor: Ryan Dagur