Tahun Ini 156 Pekerja Migran Asal NTT Dipulangkan dari Malaysia, Peneliti Pertanyakan Musababnya

Bila perkaranya hanya terkait dokumen, bagaimana dengan ribuan lain yang hingga hari ini bertahan hidup di negeri seberang?

Floresa.co – Sebanyak 156 pekerja migran asal Provinsi Nusa Tenggara Timur [NTT] dipulangkan dari Malaysia sepanjang tahun ini, terbanyak berasal dari Kabupaten Flores Timur.

Dari jumlah tersebut, menurut data Balai Pelayanan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia [BP3MI] NTT, sebanyak 150 pekerja tercatat berangkat secara non-prosedural. Sedangkan enam pekerja lainnya berangkat secara prosedural tetapi masa kontraknya telah berakhir. 

Kepala BP3MI NTT, Suratmi Hamida berkata, para pekerja dipulangkan karena “bermasalah secara prosedur.”

“Mereka hidup di Malaysia tanpa dokumen,” katanya kepada Floresa pada 10 Juli.

Terhadap penjelasan Suratmi, peneliti di Universitas Vrije Amsterdam di Belanda, Pamungkas Ayudaning Dewanto menyatakan “masih banyak yang perlu dieksplorasi dari pernyataan itu.”

Bila perkaranya hanya terkait dokumen, di Malaysia “masih ada ribuan buruh migran NTT yang tak berdokumen dan berupaya sebisa mereka demi bertahan hidup.”

Pada 2015, 2017 hingga 2019, Yudha, sapaannya, meriset kondisi pekerja migran Indonesia di Kuala Lumpur, Negara Bagian Selangor dan Negeri Sembilan–semuanya bagian dari Malaysia.

Bagi ribuan pekerja migran asal NTT di Malaysia, “bisa pulang kampung merupakan privilese.”

Seorang pekerja migran mesti melalui proses panjang dan mengeluarkan biaya yang tak sedikit demi bisa pulang kampung, katanya.

Tak setiap pekerja migran memiliki uang yang cukup untuk pulang kampung.

“Mengapa 156 orang itu yang dipulangkan? Apakah mereka terjerat perkara pidana di Malaysia? Atau majikan yang meminta mereka dipulangkan?”

Yudha baru kembali dari NTT untuk meriset kondisi pekerja migran sekaligus memberi pelatihan bagi institusi pemerintah dan lembaga advokasi terkait migrasi manusia.

Ia mengingatkan “masalah pekerja migran asal NTT kompleks di negara tujuan, tak bisa tiba-tiba kita bilang ‘dipulangkan.’”

“Kenapa dipulangkan? Bagaimana dengan ribuan lainnya? Apakah pemerintah sudah memastikan mereka hidup baik di negara tujuan bekerja?,” kata Yudha.

Berdasarkan catatan BP3MI NTT, jumlah pekerja migran terbanyak asal NTT yang dipulangkan dari Malaysia selama Januari-Juni 2024 berdomisili di Kabupaten Flores Timur [47 orang], Timor Tengah Selatan [14], Sikka dan Lembata yang masing-masing 11 orang.

Sebanyak 33 orang yang berdomisili di Flores Timur merupakan laki-laki dan 14 lainnya perempuan.

Suratmi mengimbau “setiap calon pekerja migran sebaiknya mencari informasi yang benar di dinas terkait atau ke BP3MI sebelum berangkat ke negara tujuan.”

Aktif mencari informasi yang akurat “sangat penting dilakukan agar tidak menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang atau TPPO.”

Apa yang Bisa Dilakukan?

TPPO tak hanya menimpa pekerja migran laki-laki, melainkan juga perempuan dan anak-anak.

Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak [Simfoni PPA] mencatat 191 kasus TPPO terhadap perempuan dan anak pada 2019, sebelum naik menjadi 382 kasus pada 2020 dan 624 kasus pada 2021.

Pada 10 Juni, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak [PPPA] memfasilitasi kepulangan terhadap 12 anggota kelompok rentan pekerja migran asal Indonesia. Mereka terdiri dari empat perempuan dewasa dan delapan anak-anak yang berasal dari beberapa provinsi, termasuk NTT.

Dalam pernyataan pada 12 Juni, Atwirlany Ritonga, Pelaksana Tugas Asisten Deputi Bidang Pelayanan Anak yang Memerlukan Perlindungan Khusus Kementerian PPPA menyebut,  selain penjemputan, sebanyak 12 orang yang termasuk dalam kelompok rentan tersebut “diberi pelayanan asesmen oleh psikolog klinis dan pekerja sosial.” 

Gabriel Goa Sola dari Tim Advokasi Zero Human Trafficking Network dan Tim Advokasi Jaringan Nasional Anti TPPO menyepakati korban TPPO “harus diberi pendampingan psikologis, rohani, hukum dan proses reintegrasi dalam masyarakat.”

Cara itu, kata Gebi, sapaannya, “dapat mencegah warga NTT terbebas dari bujuk rayu para mafia TPPO.”

Ia menyatakan “Indonesia sudah darurat TPPO.” Salah satu modus operandi TPPO yang mengalami peningkatan di kawasan Asia Tenggara ialah penipuan daring.

Direktorat Pelindungan WNI, Direktorat Jenderal Protokol dan Konsuler Kementerian Luar Negeri mencatat Kamboja sebagai negara dengan kasus TPPO berbasis penipuan daring terbanyak di Asia Tenggara pada 2021-2023.

Kamboja mencatatkan 1.748 kasus TPPO berbasis penipuan daring selama periode tersebut, disusul Filipina dengan 663 kasus dan Thailand 340 kasus.

Pada Agustus 2022, pemerintah memulangkan 484 WNI korban TPPO berbasis penipuan daring dari Kamboja. Korban terbanyak dari Sumatra Utara, yakni 178 orang, diikuti Sulawesi Utara dan Kalimantan Barat yang masing-masing 70 orang.

Mendapati kasus TPPO yang masih marak, Gebi mendesak “presiden baru segera membentuk Badan Nasional Penanggulangan TPPO setelah dilantik.”

Negara, “wajib hadir melindungi warga yang harkat dan martabatnya dilecehkan lewat TPPO,” katanya.

Editor: Anastasia Ika

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA