Floresa.co – Petani jambu mete di salah satu desa di Kecamatan Talibura, Kabupaten Sikka mengeluh setelah gagal panen selama setidaknya tiga tahun terakhir karena perubahan iklim yang memicu kekeringan berkepanjangan.
Tahun ini, kondisi semakin parah akibat aktivitas Gunung berapi Lewotobi Laki-Laki yang erupsi empat hingga lima kali sehari, menyemburkan abu vulkanik.
“Perubahan iklim kami rasakan betul, tetapi abu vulkanik yang datang buat kami semakin sengsara,” kata Maria Letisia, 46 tahun.
Ia merupakan warga Desa Kringa, salah satu dari lima desa di Kecamatan Talibura yang terdampak langsung abu vulkanik Lewotobi Laki-Laki.
Ditemui Floresa pada 14 September, ia sedang berada di salah satu kebun jambu metenya.
“Hari ini saya rencananya pilih mete dan kemiri. Dari tiga kebun, lihat ini, hasilnya tidak sampai satu kilogram,” katanya.
Ketika Lewotobi Laki-Laki mulai erupsi pada Januari dan Februari, Letisia sempat berharap bahwa abu vulkanik akan menyuburkan tanamannya.
Namun, kekeringan membuat harapannya itu pupus karena mete yang mulai berbunga segar, tertutup abu vulkanik, lalu mengering.
“Kalau saja abu vulkanik yang datang diselingi hujan, itu pasti subur,” katanya.
“Tetapi sejak Mei, hujan hanya datang dua kali, selebihnya sampai sekarang kami terima abu vulkanik beberapa kali dalam sehari,” tambahnya.
Ia berkata, kalaupun ada mete yang sampai berbuah, buah dan bijinya tidak sehat, “seperti terserang penyakit.”
Bukan hanya jambu mete, buah kemiri, mangga dan kopi pun gagal berbuah tahun ini, katanya.
“Kemiri masih bisa dapat satu dua kilo. Tetapi kedepannya mungkin akan sulit berbuah karena bunganya juga gugur. Begitu pun buah-buahan, termasuk tanaman kopi.”
“Bunganya itu terlihat segar, tetapi akan bertahan hanya dalam satu dua hari. Setelah itu hangus.”
Martha Delong, 50 tahun, warga Desa Darat Gunung, Kecamatan Talibura bercerita hal yang sama kepada Floresa.
Meskipun berjarak lebih dari 30 kilometer dari kaki Lewotobi Laki-Laki, abu vulkanik juga sampai ke desanya dan turut merusak tanaman mete.
“Abunya kami dapat setiap hari, meskipun tidak setebal di Desa Kringa,” katanya.
Abu itu “turut merusak jambu mete yang sedang berbunga.”
Dari lima kebun yang ditanami pohon mete, ia baru menjual lima kilogram tahun ini, dengan harga per kilo Rp22.000.
“Itupun saya kumpulkan sejak bulan Agustus sampai sekarang. Memang hasilnya buruk sekali tahun ini,” katanya.
‘Kehidupan Terasa Semakin Sulit’
Martha berkata, hasil tahun ini sangat berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya di mana ia dan beberapa warga desanya biasa menjual hingga ratusan kilogram, bahkan ada yang hingga hitungan ton.
“Walaupun kami mengalami gagal panen di ladang, hasil mete bisa menjadi tumpuan kami untuk menutupi kebutuhan kami sehari-hari,” katanya.
Letisia juga mengakui bahwa “hasil panen padi dan jagung tidak cukup untuk kebutuhan kami.”
Karena itu, ia berharap pada hasil mete.
Ia berkata, saban tahun pada musim panen Agustus hingga November, ia bisa mendapat hasil mete hingga lebih dari seratus kilogram.
Dalam tiga terakhir, katanya, “hasilnya hanya puluhan kilo saja,” meski tanpa menjelaskan lebih rinci.
“Kami pikir tahun ini akan lebih baik, malah sebaliknya, jauh dari harapan.”
“Ke depan, kehidupan kami akan terasa semakin sulit,” katanya dengan pandangan mengarah ke kebunnya.
Letisia berkata, erupsi yang berkepanjangan membuat mereka juga kesulitan mendapatkan sayuran dan makanan ternak yang “semuanya tertutup abu.”
“Kadang kami sering mengalami sakit perut kalau kami konsumsi meskipun sudah dibersihkan berkali-kali,” katanya.
Ia berkata, saat ini belum ada upaya serius dari pemerintah untuk memberikan solusi terhadap kondisi mereka.
“Baru-baru ini kami dibagikan mie dua bungkus, air mineral lima gelas dan masker.
Namun, katanya, “tolong lihat kami dari sisi lain, kami benar-benar susah.”
“Sudah hampir lima bulan kami sangat kesulitan,” kata Letisia.
Sementara Martha mengaku pasrah dengan keadaan ini.
“Ini alam punya mau, kita tidak bisa buat apa-apa selain berdoa dan berharap segera turun hujan,” katanya.
Editor: Ryan Dagur