Floresa.co – DPRD Kabupaten Lembata mendesak vendor melunasi bantuan sosial pascasiklon Seroja.
Desakan disampaikan dalam pertemuan antara Komisi III dan Dinas Sosial.
Ramadhan Kalang, anggota Komisi III mengaku memberi waktu tiga hari bagi vendor untuk menyerahkan barang kebutuhan penyintas.
Vendor beralasan sakit, yang membuat Komisi III memundurkan waktu penyerahan barang hingga 11 Maret.
Komisi III membidangi keuangan, perbankan, kesejahteraan rakyat, pekerjaan umum, dan lingkungan hidup.
Sementara, menurut John S. Batafor perlu ditelusuri dugaan penambahan harga [markup] serta penyusunan laporan fiktif oleh vendor.
“Bila terbukti benar, kasusnya mengindikasikan kejahatan luar biasa,” kata anggota Komisi II DPRD Lembata, John S. Batafor di kantor DPRD Lembata 4 Februari.
Komisi II membidangi perekonomian dan pembangunan daerah.
Pernyataan keduanya merespons keluhan penyintas siklon Seroja di Desa Waimatan di Kecamatan Ile Ape Timur.
Telah setahun warga penyintas menanti perabotan rumah tangga yang dijanjikan Toni Chandra.
Toni merupakan pemilik Toko Rejeki dan Surya Mas di Lewoleba, ibu kota Lembata.
Ia ditunjuk Dinas Sosial [Dinsos] Lembata sebagai vendor pengadaan barang kebutuhan penyintas.
Petronela Dela, seorang warga Desa Waimatan, mengaku baru mendapat empat kursi dan sebuah meja plastik.
Padahal, selain kursi dan meja plastik itu, ia telah secara formal meminta bantuan pengadaan sebuah kasur pegas [springbed], termos, baskom dan ember.
Sementara Benedikta Koi memutuskan “beli sendiri lemari” lantaran Toni tak juga mengantar permintaannya itu.
Susi Susantikidi, penyintas lainnya, “malah menerima sebuah lemari dan rak piring. Padahal yang saya minta ialah sebuah springbed.”
Diduga Menipu
Siklon Seroja menerjang wilayah pesisir Nusa Tenggara Timur pada April 2021.
Kekuatan embusannya memicu curah hujan tinggi yang mengakibatkan banjir bandang dan longsor di sejumlah pesisir provinsi itu, termasuk di Pulau Lembata.
Pada September 2023, pemerintah pusat melalui Kemensos menyalurkan bantuan hunian sebesar Rp3 juta per kepala keluarga di Lembata.
Dilansir dari bentara.net bantuan tersebut menyasar 700 kepala keluarga yang mencakup warga Desa Waimatan di Kecamatan Ile Ape Timur serta Desa Waisesa dan Desa Podu di Kecamatan Ile Ape.
Kedua kecamatan itu diapit gunung api aktif Ile Lewotolok sekaligus perairan yang mempertemukan arus Laut Flores dan Laut Banda.
Bencana susulan siklon Seroja menewaskan sebanyak 68 orang di lereng gunung api itu.
Kepala Desa Waimatan, Onesimus Sili yang berbicara kepada Floresa pada 3 Februari mengatakan dana tersebut “mesti disalurkan” ke 136 kepala keluarga di wilayahnya.
“Tidak boleh ada sisa,” kata Mus, sapaannya, mengulangi imbauan perwakilan Kemensos saat itu.
Guna memastikan bantuan tepat sasaran, Kemensos mengutus kelompok pendamping. Seorang pendamping mengurus kebutuhan per 10 keluarga.
Tugas mereka termasuk mengecek harga barang kebutuhan di sejumlah toko di Lewoleba, ibu kota Kabupaten Lembata.
Namun, dalam perjalanannya, “Dinas Sosial [Dinsos] Lembata malah menunjuk vendor guna mengelola bantuan Kemensos.”
Mus mengaku pernah meminta Dinsos mengalihkan pengurusan dana ke kantor desa, beralasan “desa lebih memahami kebutuhan riil warga.”
Alih-alih menerima masukan, kata Mus, Dinsos menunjuk Toni Chandra sebagai vendor.
Penunjukan berimbas pada selisih harga barang.
Harga pesanan Toni, kata Mus, lebih tinggi ketimbang yang tersedia di sejumlah toko lain di Lewoleba.
Menurut Mus, Toni mengklaim harga pesanannya lebih mahal karena dikirim dari Kota Surabaya, Jawa Timur.
Toni juga mengaku terus berkomunikasi dengan Kemensos dalam pengurusan kebutuhan bagi penyintas.
Menurut Mus, warga Desa Waimatan juga dibuatkan buku rekening serta kartu Anjungan Tunai Mandiri yang diterbitkan Bank Mandiri Kantor Cabang Larantuka, Kabupaten Flores Timur.
Dinsos menyebut keduanya sebagai syarat pendistribusian bantuan sosial.
Buku rekening diterbitkan pada 19 September 2023 yang lalu diberikan ke warga terkait.
“Tidak ada nominal apapun dalam buku rekening itu. Kosong saja,” kata Mus.
Beberapa warga pernah meminta bank mencetak mutasi rekening sesudahnya.
“Hasilnya sama saja. Tetap kosong,” kata Mus.
Teken Kuitansi, Barang Tak Kunjung Datang
Mus mengatakan warga masih menunggu barang yang dijanjikan Toni, setelah pada pertengahan 2024 mereka meneken kuitansi penerimaan barang.
“Vendor secara lisan menjanjikan segera menyerahkan barang-barang itu ke warga. Tapi, sampai hari ini barang belum datang juga,” katanya.
Pengakuan Mus dibenarkan Romanus Raba, warga Waimatan yang mengaku mendengar keluhan warga lain usai mendapat bantuan berupa kipas rusak.
Menurut Roman, sapaannya, warga diminta untuk menandatangani kuitansi.
“Hingga kini kami belum terima barang sesuai kuitansi,” kata Roman kepada Floresa pada 3 Februari.
Kejanggalan lain, kata Mus, ialah salinan kuitansi yang tak juga diserahkan ke kantor desa.
Ia mengaku sudah menanyakan ke pendamping vendor, yang terus-terusan dijawab “nanti kami fotokopi semuanya.”
“Sampai sekarang, kami tidak dapat arsipnya,” kata Mus.
Rentetan kejadian itu membuat warga “menduga Toni melakukan penipuan berkedok bantuan sosial.”
Pengakuan Toni
Floresa menghubungi Toni pada 3 Februari.
Ia mengaku berada di Kupang, “lagi urus keluarga yang sakit.”
Melalui pesan WhatsApp, Toni mengatakan pendistribusian bantuan “selesai pada Januari atau Februari 2024.”
Namun, menurutnya, sekitar 4-5 bulan kemudian ia didatangi seorang perangkat Desa Waimatan. Kepada Toni, perangkat desa itu mengatakan sejumlah kepala keluarga belum menerima keseluruhan bantuan.
Ia mengaku kaget mendengarnya. Kepada perangkat desa, ia “berpesan supaya duduk sama-sama sesudah Pilkada.”
“Sampai sekarang saya tidak pernah didatangi lagi,” kata Toni.
Ditanya soal dokumen yang diteken warga, ia merespons “nanti kita sambung lagi [percakapannya]. Sudah dipanggil dokter.”
Beberapa jam kemudian ia membalas pesan Floresa sebelumnya terkait janji mengantar barang kebutuhan warga. “Ini perlu duduk bersama, termasuk dengan pendamping,” tulisnya.
Toni mengklaim pernah mengutus stafnya ke Desa Waimatan “untuk mengecek apa semua sudah terdistribusi.”
“Ada yang terima barang lebih, setelah ditunjuk bukti foto akhirnya [barang] dikasih pulang, yang kurang kita lengkapi,” kata Toni.
Ia tidak menjawab ketika ditanya soal sejumlah warga belum menerima barang kendati sudah menyetor Rp300 ribu ke rekening khusus.
Sehari kemudian, ia mengirim pesan WhatsApp yang pada intinya “siap menyelesaikan.” Namun, tulisnya kemudian, “apa setelah ini muncul lagi klaim serupa?”
Ia “menyesalkan persoalan jadi seperti ini” selagi mengklaim “tak ada yang sempurna dalam proses pendistribusiannya.”
“Jangan Berat Sebelah”
Mikhael Satri, staf Desa Waimatan mengaku “pernah bertemu Toni” meski tak menyebutkan waktunya.
“Saya menyerahkan nama-nama warga penerima bantuan ke Toni. Ia berjanji akan berkontak kembali,” kata Mikhael.
Namun, kata Mikhael, Toni tak sekalipun menghubunginya sampai suatu waktu bertemu kembali ketika mengikuti sosialisasi salah satu Paslon Bupati di Desa Waimatan.
Toni pada saat itu, kata Mikhael, menawarkan lemari olympic, namun warga “menolak barang karena tak sesuai permintaan mereka.”
Toni, katanya, “wajib menyampaikan pertanggungjawabannya ke warga.”
Selain meminta pertanggungjawaban Toni, John Batafor juga mendesak Dinsos “jelaskan duduk perkaranya ke warga.”
“Dinsos hendaklah berempati pada warga. Jangan berat sebelah,” katanya.
Ia juga mendorong Kejaksaan Negeri Lembata lekas menindaklanjuti kasusnya.
Floresa menghubungi Thomas Udak, staf Dinsos Lembata yang menjadi penanggung jawab pengadaan vendor pada 3 Februari.
Ia tak merespons pesan WhatsApp yang dikirim Floresa, meski sudah bercentang dua, tanda sudah terkirim ke penerimanya.
Editor: Anastasia Ika