Mengapa Gereja Harus Memimpin Perlawanan terhadap Perusakan Alam?

Gereja, sebagai penerus misi Yesus, dituntut untuk tidak hanya berfokus pada keselamatan individual, tetapi juga untuk menjadi agen perubahan yang aktif dalam membangun komunitas yang adil

Oleh: Martin Dennise Silaban

Pembangunan yang begitu masif sedang digalakkan di berbagai wilayah di Indonesia. Proyek-proyek besar ini, mulai dari pengembangan geotermal di Pulau Flores hingga proyek food estate di berbagai wilayah, membawa dampak signifikan pada ruang hidup masyarakat. 

Beberapa di antaranya adalah pencemaran lingkungan, gagal panen, pembabatan hutan, serta peningkatan risiko bencana alam maupun konflik sosial.

Proyek-proyek ini sebagian dijalankan di daerah-daerah mayoritas Kristen, sehingga berdampak secara langsung bagi komunitas Kristen.

Pertanyaan besar yang muncul adalah bagaimana gereja, sebagai institusi keagamaan dan moral, melihat ambisi proyek-proyek besar ini? Apakah gereja bersedia dan mampu bersuara di tengah jeritan umat yang terdampak secara langsung maupun tidak langsung oleh berbagai proyek pembangunan tersebut?

Pernyataan tegas dari Uskup Agung Ende, Paulus Budi Kleden baru-baru ini yang menolak pembangunan geotermal di wilayah pelayanannya karena dampak negatif yang dirasakan oleh komunitas lokal, mencerminkan contoh keberanian gereja dalam mengambil sikap. 

Namun, apakah sikap tersebut hanya sebatas pernyataan verbal semata? Dalam konteks Gereja Katolik, bagaimana dengan keuskupan-keuskupan lainnya? Apakah mereka juga memiliki keberanian yang sama dalam menentang kebijakan yang merugikan, atau justru terjebak dalam dilema antara mempertahankan hubungan baik dengan otoritas negara dan mengamankan kepentingan ekonomi dan pelanggengan status quo, atau mendengarkan dan berdiri di sisi umat yang menderita?

Keberanian gereja untuk bersikap akan sangat ditentukan oleh dua hal utama. Pertama, bagaimana gereja memahami dan memaknai keberadaannya [being] di dunia. Kedua, bagaimana gereja menafsirkan kerja-kerja Yesus selama hidup-Nya di dunia. 

Pemaknaan yang mendalam atas kedua hal ini akan menjadi fondasi bagi praksis gereja dalam merespons berbagai tantangan sosial, ekonomi, dan lingkungan yang hadir akibat ambisi pembangunan.

Melampaui Pertobatan Individual ke Perubahan Struktural

Terdapat empat cara pandang gereja dalam melihat kehadirannya di dunia, yang berpengaruh terhadap cara menentukan sikap berhadapan dengan masalah sosial dan lingkungan. 

Pertama adalah pendekatan spiritual-individual. Dalam pandangan ini, masalah sosial dan lingkungan dilihat sebagai manifestasi dosa manusia. Eksploitasi sumber daya alam dan penderitaan masyarakat dianggap sebagai akibat dari natur manusia yang berdosa. 

Solusi yang ditawarkan pun cenderung bersifat spiritual, yaitu melalui pertobatan individu. Pendekatan ini, meskipun memiliki nilai, seringkali kurang menyentuh akar masalah yang bersifat struktural.

Kedua, pendekatan moralis-individual. Dalam pendekatan ini, masalah sosial dan lingkungan dihubungkan dengan persoalan moral. Gereja menawarkan pola hidup sederhana sebagai solusi, sejalan dengan prinsip “small is beautiful” yang diperkenalkan Schumacher [1973]. 

Namun, pendekatan ini juga memiliki keterbatasan karena mengabaikan pentingnya perubahan struktural. Persoalan yang hadir hanya dikaitkan dengan urusan aksi moral semata dan tidak melihat perlunya pembaruan struktural. 

Padahal, permasalahan eksploitasi sumber daya alam dan ketimpangan sosial tidak cukup diselesaikan dengan perubahan moral individu semata.

Ketiga, pendekatan struktural-sosial. Dalam pendekatan ini, gereja menyadari bahwa umat juga merupakan warga negara yang memiliki peran dalam transformasi sosial. Masalah sosial dan lingkungan tidak hanya dilihat sebagai akibat dosa atau kegagalan moral, tetapi juga terkait erat dengan sistem ekonomi-politik dan struktur sosial yang timpang. 

Gereja yang mengadopsi pendekatan ini tidak hanya bersikap kritis, tetapi juga berani menjadi agen perubahan dengan menyuarakan keadilan sosial dan melakukan pengorganisasian komunitas.
Keempat, pendekatan relasional-komunitarian. Pendekatan ini menekankan pentingnya hubungan antarindividu dalam suatu komunitas, namun dalam kerangka kritik terhadap struktur kekuasaan dan ketimpangan sosial yang ada. 

Gereja, dalam perspektif ini, bukan hanya sebagai lembaga yang menawarkan solusi individual atau moral, tetapi sebagai agen kolektif yang berfungsi untuk memobilisasi dan mengorganisasi masyarakat dalam menghadapi penindasan struktural. 

Dalam pendekatan ini, masalah sosial dan lingkungan tidak hanya dilihat dan disebabkan oleh perilaku individu, tetapi oleh sistem ekonomi-politik yang menindas, yang menciptakan ketidakadilan dan ketimpangan. 

Gereja, sebagai bagian dari masyarakat, memiliki peran untuk memperkuat solidaritas antarumat, berbagi sumber daya secara adil, dan membangun kekuatan kolektif untuk menantang dan meruntuhkan struktur-struktur penindasan. 

Dalam kerangka ini, gereja harus terlibat dalam perjuangan untuk menciptakan perubahan sosial dengan tujuan menghapuskan eksploitasi, ketimpangan ekonomi, dan kerusakan lingkungan. Solusi yang ditawarkan tidak hanya berupa tindakan instrumental semata, tetapi pada perubahan sistemik. 

Makna Kerja-kerja Yesus : Dari Pewartaan hingga Tindakan

Dimensi kedua yang memengaruhi sikap gereja adalah bagaimana gereja memaknai kerja-kerja Yesus. Jika kehadiran Yesus hanya dipahami sebagai pembebasan manusia dari dosa individu, gereja akan cenderung fokus pada spiritualitas pribadi dan kesalehan individu. 

Pandangan ini akan mengarahkan gereja pada tugas membimbing umat dalam pencapaian kesucian pribadi, tetapi mengabaikan peran gereja dalam mempengaruhi struktur sosial yang lebih besar. 

Sebaliknya, jika Yesus dimaknai sebagai pembawa misi pemerintahan Allah yang adil, gereja akan mengembangkan pandangan yang lebih komprehensif dan holistik. 

Dalam perspektif ini, Yesus tidak hanya berbicara tentang dosa sebagai persoalan individual, tetapi juga tentang keadilan sosial, komunitas yang saling mendukung, serta pembebasan bagi mereka yang tertindas dan terpinggirkan dalam masyarakat.

Dalam bukunya Jesus: The Organizer [1994], Jose P.M. Cunanan menggambarkan Yesus sebagai seorang pengorganisir yang membangkitkan kesadaran kritis di tengah masyarakat yang termarginalkan.

Narasi tentang pemerintahan Allah yang dibawa Yesus tidak hanya menegakkan moralitas pribadi, tetapi juga menantang sistem pemerintahan yang tidak adil dan menindas, seperti pemerintahan Romawi pada masa itu. 

Yesus mengorganisir komunitas-komunitas marginal yang tidak memiliki tempat dalam struktur sosial yang ada, dengan membangun solidaritas, berbagi pengetahuan, dan menciptakan ruang bagi mereka untuk melakukan kerja-kerja kolektif demi terjadinya perubahan sosial.

Kerja-kerja Yesus memberikan model konkret bagi gereja dalam berpihak pada mereka yang tertindas dan terpinggirkan. Yesus tidak hanya memperhatikan individu, tetapi juga struktur sosial yang menindas. 

Gereja, sebagai penerus misi Yesus, dituntut untuk tidak hanya berfokus pada keselamatan individual, tetapi juga untuk menjadi agen perubahan yang aktif dalam membangun komunitas yang adil.

Panggilan gereja di tengah dunia yang sarat dengan ketidakadilan dan eksploitasi adalah untuk menjadi perpanjangan tangan misi Yesus dengan berpihak pada masyarakat marginal, menjadi suara bagi mereka, dan mendorong mereka untuk menjadi agen transformasi sosial.

Dari Gereja yang Berdoa ke Gereja yang Bertindak

Dalam konteks pembangunan yang masif, gereja harus berani memaknai ulang keberadaannya di dunia, dengan mengakui bahwa peranannya tidak hanya terbatas pada urusan spiritual atau moralitas individu. 

Pembangunan yang terus berkembang di banyak wilayah di Indonesia seringkali mengabaikan dampak jangka panjang terhadap kehidupan sosial dan lingkungan. 

Dalam hal ini, gereja perlu melangkah lebih jauh dari pendekatan spiritual-individual yang lebih menekankan pada pertobatan pribadi atau pendekatan moralis-individual yang hanya mengandalkan perubahan gaya hidup sebagai solusi.

Gereja harus mampu menghadirkan pendekatan struktural-sosial yang lebih kritis, di mana masalah sosial dan lingkungan dilihat sebagai akibat dari ketimpangan struktur ekonomi dan politik yang ada. 

Pembangunan yang tidak mempertimbangkan keadilan sosial dan keberlanjutan lingkungan seringkali menghasilkan kesenjangan yang semakin lebar, penindasan terhadap kelompok masyarakat adat, serta kerusakan alam yang tak terelakkan. 

Dalam hal ini, gereja perlu berbicara secara jelas dan tegas mengenai masalah-masalah yang disebabkan oleh kebijakan pembangunan yang tidak adil dan merusak. 

Gereja bisa menjadi suara bagi mereka yang terpinggirkan, mengkritik kebijakan yang menyingkirkan kepentingan rakyat kecil, dan mendorong perubahan yang lebih adil.

Namun, gereja juga harus mengintegrasikan pendekatan relasional-komunitarian yang menekankan pada pentingnya membangun solidaritas sosial dalam komunitas. 

Gereja bukan hanya sekedar lembaga yang berdiri sendiri, tetapi merupakan bagian dari sebuah komunitas yang lebih luas, yang memiliki tanggung jawab untuk mengorganisir dan memobilisasi umat dalam menghadapi ketidakadilan. 

Gereja harus berfungsi sebagai agen kolektif yang menggerakkan umat untuk bersatu dalam menghadapi dampak buruk pembangunan yang tidak berpihak pada kesejahteraan mereka.

Keberpihakan gereja tidak cukup hanya diwujudkan melalui pernyataan sikap, tetapi juga melalui tindakan nyata. Dalam hal ini, gereja perlu mendorong partisipasi aktif umat dalam proses perubahan sosial, berbagi sumber daya secara lebih adil, dan membangun kekuatan kolektif untuk memperjuangkan hak-hak yang seringkali terabaikan dalam narasi pembangunan. 

Gereja harus mengambil peran aktif sebagai mediator, pengorganisir, dan pendukung komunitas terdampak. Gereja juga harus didorong menjadi ruang persekutuan yang mengorganisir masyarakat, memberikan mereka kesadaran kritis tentang isu-isu sosial dan lingkungan, serta memfasilitasi pengorganisasian komunitas untuk mendorong perubahan.

Pengorganisasian ini dapat dimulai dengan membentuk kelompok inti yang terdiri dari masyarakat terdampak. Gereja dapat membantu kelompok ini dalam mendistribusikan pengetahuan dan pengalaman, merancang strategi advokasi, dan mengembangkan solidaritas antaranggota komunitas. 

Gereja juga perlu memberikan penjelasan yang jelas tentang peran dan tanggung jawab setiap individu dalam kelompok, serta mendorong mereka untuk melakukan perubahan yang nyata.

Hanya dengan cara ini, gereja dapat memenuhi panggilannya untuk mewartakan kabar baik pemerintahan Allah yang sejati, sebuah pemerintahan yang mengutamakan keberlanjutan hidup di bumi, bukan hanya keuntungan sesaat. 

Gereja harus membawa harapan di tengah keputusasaan yang disebabkan oleh kerusakan lingkungan, dengan menunjukkan bahwa perlindungan terhadap tanah, dan semua yang ada di atasnya adalah panggilan moral yang harus dijalani oleh setiap orang.

Gereja harus menjadi pelopor perlawanan terhadap perusakan alam, memimpin umat untuk terlibat dalam aksi-aksi pro-lingkungan, dan bekerja sama dengan berbagai elemen masyarakat untuk menjaga bumi. 

Gereja harus berani menyuarakan keadilan lingkungan dan memperjuangkan masa depan yang lebih baik bagi generasi mendatang. Gereja harus berperan aktif dalam membentuk kesadaran ekologis umatnya dan menjadi agen transformasi yang berani melawan sistem yang merusak alam. 

Jika gereja mengambil langkah ini, maka bukan hanya masyarakat yang tertindas yang akan merasakan keadilan, tetapi juga bumi ini yang akan dipulihkan kembali, sebagaimana mestinya. 

Gereja tidak hanya dapat, tetapi harus memimpin perlawanan terhadap perusakan alam, karena perlawanan itu adalah bagian dari panggilan ilahi untuk menjaga ciptaan-Nya.

Martin Dennise Silaban adalah mahasiswa magister Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta 

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

Baca Artikel Lainnya