Anak-Anak dan Remaja Paling Rentan di Dunia Digital, Penggunaan Media Sosial Perlu Dibatasi

Orang tua berperan penting mengawasi dan membatasi penggunaan media sosial untuk mengurangi risiko kekerasan digital

Floresa.co – Anak-anak dan remaja di Indonesia merupakan kelompok yang rentan terkena serangan digital, dampak minimnya pengawasan orang tua, pembatasan oleh pemangku kepentingan serta penyedia layanan.

Hal tersebut disampaikan Diena Haryana, pendiri Yayasan Semai Jiwa Amini [SEJIWA] dalam lokakarya daring yang diadakan Asosiasi Media Siber Indonesia [AMSI] dan TikTok Indonesia pada 31 Januari.

Lokakarya bertajuk “Keamanan Digital Bagi Remaja” tersebut juga menghadirkan Anggini Setiawan, Direktur Komunikasi TikTok Indonesia dan Andi Muhyiddin, jurnalis media Republika.

Diena menjelaskan, sifat impulsif atau mengambil keputusan tanpa pertimbangan matang seringkali memicu anak dan remaja tidak memedulikan keamanan di ruang maya.

“Rasa ingin tahu remaja itu besar sekali, tetapi juga impulsif, mau melakukan sesuatu tanpa pikir panjang,” katanya.

“Sikap impulsif itu berbahaya,” kata Diena, “memicu remaja kurang bijak dalam dunia digital.”

“Karakteristik remaja secara umum juga gampang baperan, mood swing, kadang gembira, kadang sedih,” kata Diena.

Hal itu, jelasnya, menyebabkan remaja cenderung cepat bertindak di ruang digital, misalnya mengunggah status dan mengomentari unggahan di linimasa.

“Kalau ada masalah, langsung dia komen, tidak berpikir bahwa komen itu bisa menyakitkan dan berpotensi menjadi cyber bullying [perundungan online] bagi orang lain,” katanya.

Selain itu, remaja juga cenderung tidak sadar dengan jejak digital, yang “barangkali berdampak buruk di masa depan.”

Kecenderungan lainnya dari sikap impulsif remaja, kata dia, adalah menyebarkan data-data pribadi di media sosial.

Tiga Tipe Orang Tua

Di tengah kondisi remaja seperti itu, Diena menyoroti ketidaksiapan orang tua sebagai pengasuh sekaligus pengawas dalam penggunaan media sosial.

Ia menjelaskan tiga tipe umum orang tua. 

Pertama, orang tua yang memiliki keterampilan digital yang baik, sekaligus digital parenting yang memadai.

Kendati demikian,  “belum tentu anak-anaknya aman di ruang digital” kalau orang tua “tidak tahu memasang fitur-fitur keamanan di media sosial.”

Kedua, orang tua memiliki keterampilan digital yang baik, tetapi tidak mampu menerapkannya dalam digital parenting.

“Dia tahu banyak tentang keterampilan digital, tetapi tidak menerapkan ke anak. Boleh jadi karena orang tua tidak mau diganggu oleh anak atau dia sendiri juga sibuk, misalnya bermain gim,” katanya.

Dalam tipe ini, kata Diena, anak-anak dan remaja sangat berisiko karena “ada pembiaran berada di media sosial tanpa batas.”

Ketiga, orang tua yang tidak memiliki keterampilan digital.

“Kami menemukan cukup banyak orang tua yang tidak punya ponsel, tetapi membelikan anaknya ponsel. Keterampilan digitalnya tidak ada, apalagi digital parenting.”

‘‘Seimbangkan Aktivitas Online dan Offline

Sementara itu, Andi Muhyiddin mengibaratkan dunia digital, terutama media sosial sebagai “hutan belantara yang penuh risiko, maka orang tua perlu bersama-sama dengan anak menjelajahi itu.”

Mengutip data Southeast Asia Freedom of Expression Network atau SAFEnet, Andi menjelaskan risiko-risiko tersebut antara lain pelecehan dan kekerasan berbasis gender online [KBGO], di mana terdapat 480 kasus pada triwulan pertama 2024.

Jumlah ini meningkat empat kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya 118 kasus.

Korban terbanyak KBGO, kata dia, adalah anak-anak dan remaja berusia 18 sampai 25 tahun, dengan 272 kasus atau 57 persen, diikuti oleh anak-anak di bawah 18 tahun dengan 123 kasus atau 26 persen.

Titik awal masalah-masalah itu, kata Andi, adalah “remaja cenderung mengekspresikan identitas diri dan perasaannya di media sosial.”

“Mereka menganggap media sosial sebagai ruang aman untuk mengekspresikan segala sesuatu, termasuk saat merasa sedih atau sakit hati.”

Karena itu, Andi mengusulkan perlunya keseimbangan aktivitas online dan offline. Salah satunya dengan membangun komunikasi antara orang tua dan anak di luar ruang digital.

“Orang tua perlu mengajak anak berbicara tentang pengalaman online,” katanya, “misalnya menanyakan perasaan saat bermedsos.”

Selain itu, kata Andi, orang tua juga perlu memantau penggunaan media sosial anak. Salah satunya dengan menambahkan akun media sosial anak pada perangkat milik orang tua.

Peran pengawasan orang tua, kata dia, juga dapat dilakukan dengan menjaga privasi dan keamanan akun media sosial anak, misalnya dengan menggunakan password yang kuat dan memakai fitur akun privat.

“Orang tua juga bisa mencegah perundungan online dengan membatasi atau memblokir akun-akun yang bersikap kasar,” katanya.

Saling Jaga di TikTok

Senada dengan Andi, Anggini Setiawan dari TikTok Indonesia mengatakan anak-anak dan remaja menjadi kelompok yang paling berisiko di dunia digital.

“Sekitar 95 persen anak usia 12 sampai 17 tahun di Indonesia menggunakan internet minimal dua kali sehari, dan 500.000 di antaranya menjadi korban eksploitasi seksual dan perlakuan yang salah di media sosial,” kata Anggini.

Namun, “sebetulnya anak-anak dan remaja ingin mendapatkan bimbingan dalam bentuk kreatif dan menyenangkan tentang cara agar mereka merasa aman di ruang digital.”

Karena itu, TikTok Indonesia berkomitmen “menyediakan wadah yang aman dan memastikan bagaimana remaja seru berkreasi dan saling jaga di TikTok.”

“Kami memiliki kebijakan batas usia, ragam fitur keamanan dan di luar aplikasi, kami proaktif melakukan kampanye publik #SalingJaga,” katanya.

Kebijakan batas usia di TikTok hanya mengizinkan remaja di atas 14 tahun mengunduh aplikasi.

“Total ada 66.160.791 akun yang dihapus oleh TikTok pada Januari sampai September 2024 karena diduga dimiliki anak di bawah batas usia itu,” kata Anggini.

Selain itu, kata dia, terdapat perbedaan fitur yang dapat diakses oleh anak berusia 14-15 tahun, 16-17 tahun dan lebih dari 18 tahun.

Fitur tersebut, misalnya “pesan langsung tidak diizinkan untuk kelompok 14-15 tahun, nonaktif secara default untuk 16-17 tahun dan teman secara default untuk lebih dari 18 tahun.”

Anggini juga mengatakan pihaknya memiliki program kampanye proaktif dengan mengunjungi sekolah-sekolah dan mengedukasi orang tua “menginformasikan secara lebih luas fitur keamanan di TikTok.”

Diena Haryana dari SEJIWA berharap pengawasan dan pembatasan penggunaan media sosial oleh orang tua semakin gencar dikampanyekan.“Resepnya ada tiga, yakni screen time, screen break dan screen zone,” katanya yang mengusulkan alokasi waktu dan tempat yang tepat bagi anak-anak dan remaja berselancar di dunia digital.

Editor: Anastasia Ika

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel Whatsapp dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA