Floresa.co – Organisasi masyarakat sipil di NTT meminta para kepala daerah yang baru dilantik Presiden Prabowo Subianto untuk memberi perhatian serius pada isu pangan, inklusi dan ekologi, yang mereka sebut sebagai persoalan strategis di provinsi tersebut.
Tiga organisasi – Yayasan Penguatan Lingkar Belajar Komunitas Lokal [Pikul], Wahana Lingkungan Hidup Indonesia [Walhi] NTT, dan Aliansi Penyandang Disabilitas [APDIS] NTT – yang bergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil NTT menyampaikan hal itu dalam konferensi pers bertepatan dengan pelantikan para kepala daerah pada 20 Februari.
Pesan itu, kata mereka, penting menjadi perhatian Gubernur Melkiades Laka Lena bersama pasangannya Johni Asadoma beserta para bupati dan wakil bupati dari 22 kabupaten.
Gres Gracelia, Staf Divisi Advokasi Walhi NTT yang menjadi moderator pada konferensi pers itu menyebut “pelantikan ini menjadi momentum penting untuk merefleksikan tantangan pembangunan daerah.”
“Sebagai pemimpin yang baru, penting bagi pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur Melki – Johni untuk menaruh konteks NTT sebagai provinsi yang mengedepankan isu keberlanjutan, terutama pada konteks pangan, inklusi dan keadilan ekologis,” katanya.
Ketersedian Pangan dan Pemerintah yang ‘Bias Darat’
Dina Soro, Kepala Divisi Advokasi dan Kampanye Yayasan Pikul memberi catatan berkaitan dengan isu ketahanan pangan dan kaitannya dengan fenomena perubahan iklim.
Terkait program “ladang dan lautan” yang menjadi agenda prioritas Gubernur dan Wagub NTT, Melki – Johni, Dina berkata, “berdasarkan kajian Pikul, kami melihat isu pertanian dan perikanan perlu dilakukan dengan pendekatan terintegrasi dalam kaitan dengan isu perubahan iklim.”
Selama 25 tahun melakukan kajian advokasi, jelasnya, pihaknya menjadikan isu pangan sebagai “hal yang sangat krusial.”
Pikul antara lain mendorong pemerintah provinsi untuk melakukan upaya diversifikasi pangan, dengan tidak hanya berfokus pada “beras, jagung dan kedelai.”
Untuk isu pertanian, Dina menyebut “pemerintah hanya menjalankan program-program dari pemerintah pusat, seperti food estate.”
Menurutnya, program ini cenderung mendorong “pertanian monokultur yang bertentangan dengan konsep diversifikasi pangan yang telah lama dijalankan oleh masyarakat.”
Dina menambahkan, program itu “belum pernah dievaluasi secara menyeluruh, terutama terkait dampaknya terhadap petani serta kecukupan cadangan beras di Provinsi NTT.”
Salah satu dampak yang dirasakan adalah meningkatnya pengeluaran daerah untuk impor beras.
Selain itu, “saat ini sebanyak 19 jenis pangan dilaporkan punah, karena sudah tidak dibudidayakan lagi oleh masyarakat.”
Kendati tak memerinci jenis-jenisnya, ia menyebut hal ini sebagai dampak dari kebijakan monokultur secara nasional.
Tingkat konsumsi yang rendah terhadap bahan pangan lain yang masih tersedia di kebun atau hutan masyarakat terjadi karena “dominasi beras sebagai pangan utama masih sangat kuat sampai di tingkat desa.”
Keberagaman pangan lokal di NTT, katanya, seharusnya menjadi solusi untuk mengurangi ketergantungan terhadap beras.
“Jika pengabaian ini terus berlanjut, ketergantungan terhadap beras tidak akan pernah berhenti dan justru semakin meningkat,” katanya.
Merujuk pada data yang dihimpun Pikul dari dinas pertanian, masih terdapat sekitar 3,6 juta hektare lahan pertanian yang bukan sawah.
“Artinya, ketersediaan lahan seluas ini masih bisa didorong untuk pengembangan pangan lokal di pelbagai kabupaten yang ada di Provinsi NTT,” katanya.
Dampak perubahan iklim juga turut dirasakan oleh nelayan, kata Dina.
Musim kemarau yang berkepanjangan menyebabkan banyak nelayan menghadapi cuaca ekstrem yang menghambat aktivitas melaut.
Dina berkata, prevalensi penurunan pangan laut terjadi sejak tahun 2018-2020 mencapai 18.000 ton dan “kemungkinan akan turun pada tahun-tahun berikutnya akibat dampak perubahan iklim.”
Bila disandingkan dengan tingkat konsumsi masyarakat NTT terhadap protein pangan laut dalam setahun saja dapat mencapai 0,47 ton atau sekitar 47,36 kilogram, hal yang mengindikasikan “sebagian masyarakat, belum mampu mengakses pangan laut.”
Hal ini terjadi karena pemerintah “masih sangat bias darat,” di mana hal-hal yang didorong “tidak menyentuh isu-isu pesisir.”
“Penurunan hasil tangkapan laut memicu ketidakpastian ekonomi yang memaksa mereka mencari alternatif mata pencaharian.”
Akses Ekonomi dan Pendidikan yang Setara
Sementara itu, Koordinator Aliansi Penyandang Disabilitas [APDIS] NTT, Desderdea Kanni berkata, “menyandang julukan provinsi inklusi, kami ingin melihat implementasi kebijakan inklusi yang sebenarnya,” dalam kepemimpinan Melki – Johni.
Dalam catatan APDIS, penyandang disabilitas di NTT berjumlah 8.000 orang. APDIS juga mencatat terdapat 18 organisasi penyandang disabilitas yang tersebar di NTT pada 2022.
Namun, kata dia, data itu masih terbatas sehingga “pemerintah perlu melakukan pendataan jumlah penyandang disabilitas secara akurat, supaya bisa menjawab kebutuhan dari teman-teman penyandang disabilitas.”
Menurutnya, sekalipun penyandang disabilitas telah diwadahi dalam tiap komunitas, namun “hak-hak kami belum diprioritaskan oleh pemerintah, khususnya di sektor pendidikan dan ekonomi.”
Ia mencontohkan dalam sektor pendidikan, pemerintah masih keliru menetapkan prioritas antara “pendidikan khusus ketimbang pendidikan inklusi,” yang menjadi tuntutan komunitas penyandang disabilitas.
Di sisi lain, pada sektor ekonomi, penyandang disabilitas membutuhkan pemberdayaan ekonomi secara inklusi, bagian dari “pemenuhan terhadap semua orang yang selama ini terpinggirkan.”
Padahal, katanya, dalam regulasi secara nasional telah mengatur soal aksesibilitas bagi penyandang disabilitas.
Aturan itu termuat dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas yang mengatur hak-hak penyandang disabilitas, termasuk aksesibilitas di berbagai sektor seperti pendidikan, pekerjaan, fasilitas umum, dan transportasi.
Pelaksanaan aturan itu, katanya, harus “diwujudnyatakan agar NTT bisa menjadi provinsi yang inklusi.”
Menurutnya, jika kebijakan ini diterapkan, pelabelan terhadap objek seharusnya dapat beralih menjadi subjek dalam setiap pembangunan yang inklusif.
Dengan demikian, “penyandang disabilitas tidak hanya menjadi penerima manfaat, tetapi juga berperan aktif dalam proses perumusan kebijakan.”
Selain itu, katanya, dengan adanya kriteria pembangunan inklusif yang jelas akan memastikan setiap aspek pembangunan benar-benar melingkupi kebutuhan penyandang disabilitas.
Hal itu akan menciptakan “lingkungan yang lebih adil dan setara bagi semua.”
Pemulihan Ekologi sebagai Prioritas
Masifnya pola kebijakan pembangunan di NTT dinilai semakin memperburuk kondisi lingkungan dan meningkatkan risiko sosial bagi masyarakat.
Deputi Walhi NTT, Yuvensius Stefanus Nonga menyoroti sejumlah proyek, seperti perkebunan monokultur, food estate, geotermal, serta infrastruktur skala besar, yang dianggap tidak mempertimbangkan kelestarian alam dan kesejahteraan warga.
Ia menjelaskan, kebijakan pembangunan yang bersifat top-down justru menggusur masyarakat lokal, termasuk petani, nelayan, masyarakat adat, perempuan, dan kelompok disabilitas.
“Pendekatan pembangunan yang tidak memperhitungkan daya dukung serta daya tampung lingkungan akan semakin memperparah krisis ekologis yang terjadi di NTT,” katanya.
“Eksploitasi sumber daya alam yang tidak berkelanjutan semakin mengancam kehidupan masyarakat,” tambah Yuven.
Mengambil contoh proyek geotermal di Flores, jelasnya, proyek itu berpotensi merusak “sumber air bagi masyarakat adat,” sementara food estate dinilai “tidak mendukung pertanian kecil.”
Selain itu, ketergantungan pada batu bara dalam sektor energi terus memberikan dampak negatif bagi nelayan dan petani rumput laut di sekitar PLTU.
Tak hanya itu, ia juga menyoroti proyek Bendungan Lambo di Nagekeo yang tetap dijalankan meskipun mendapat penolakan dari masyarakat adat yang terdampak.
Sementara itu, kebijakan pengelolaan Taman Nasional Komodo yang diserahkan kepada korporasi semakin membatasi akses masyarakat lokal terhadap sumber daya alam yang selama ini menopang kehidupan mereka, kata Yuven
“Yang lebih kontradiktif adalah ketika pemerintah menggagas kebijakan ketahanan pangan dan Makan Bergizi Gratis, tetapi di saat yang sama tetap mendorong pembangunan smelter untuk pengolahan hasil tambang di NTT. Bagaimana mungkin ketahanan pangan dapat berjalan seiring dengan ekspansi pertambangan?” katanya.
Menanggapi situasi ini, jelasnya, pihaknya meminta pemerintah daerah yang baru dilantik untuk mengubah arah kebijakan agar lebih berorientasi pada keberlanjutan dan perlindungan lingkungan.
“Kebijakan pemulihan ekologi harus menjadi prioritas utama guna memastikan keberlangsungan hidup masyarakat dan keseimbangan ekosistem di NTT,” tegas Yuven.
Editor: Ryan Dagur