Floresa.co – Koalisi Advokasi Poco Leok menyebut langkah polisi memproses hukum pemuda Poco Leok yang dilapor Pemerintah Kabupaten Manggarai terkait kasus kerusakan pagar kantor bupati saat aksi unjuk rasa sebagai bentuk kriminalisasi.
Karena itu, sebagai protes terhadap tindakan yang dinilai bentuk pembungkaman itu, koalisi melakukan aksi penggalangan dana untuk mengganti pagar.
“Kami dan jaringan yang lainnya sedang melakukan tindakan pengumpulan donasi ‘500 rupiah’ untuk penggantian pagar bupati yang rusak,” kata Muhammad Jamil, pengacara dari Jaringan Advokasi Tambang yang juga bagian dari koalisi.
Dua pemuda Poco Leok menjalani pemeriksaan di Polres Manggarai pada 17 Maret terkait peristiwa kerusakan pagar saat aksi protes menolak proyek geotermal pada 3 Maret.
Keduanya, Kristianus ‘Tino’ Jaret dan Maksimilianus ‘Milin’ Neter, merupakan koordinator lapangan aksi yang melibatkan seratusan warga Poco Leok itu, dengan tuntutan utama adalah mendesak Bupati Manggarai, Herybertus GL Nabit mencabut Surat Keputusan Penetapan Lokasi Proyek yang diterbitkan pada Desember 2022.
Mereka menjalani pemeriksaan selama kurang lebih dari empat jam di Ruang Bareskrim Polres Manggarai oleh dua penyidik, Stanislaus Dea, Kepala Unit Pidana Umum dan Patric Y. H. Kono.
Tino dan Milin dipanggil pada 14 Maret melalui surat yang ditandatangani Kepala Satuan Reskrim, Robbianly Dewa Putra. Sehari sebelumnya, Polres Manggarai meningkatan status kasus ini dari penyelidikan menjadi penyidikan.
Sebagaimana disitir Petanttnews.com, Robbianly menjelaskan pelaku pengrusakan pagar terancam hukuman pidana paling lama lima tahun enam bulan sesuai Pasal 170 ayat (1) KUHP Sub Pasal 406 KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP.
Proses hukum kasus tersebut bermula dari laporan yang diajukan Kepala Bagian Umum Sekretariat Daerah Kabupaten Manggarai, Fransiskus Makarius Beka.
Langkah Fransiskus menyusul perintah Nabit kepada Sekretaris Daerah, Fansy Aldus Jahang untuk melaporkan kasus itu ke polisi.
Jahang telah mengonfirmasi kepada Floresa bahwa ada “disposisi” bupati kepadanya, yang dilanjutkannya dengan operasionalisasi “melalui pengguna barang yang bertanggung jawab terhadap aset kantor bupati Manggarai”, merujuk pada Kepala Bagian Umum, Fransiskus Makarius Beka.
Polres Manggarai juga telah menjadwalkan pemanggilan tiga saksi lainnya-Servasius Masyudi Onggal, Ferdiandus Parles dan Anus Sandur-untuk diperiksa pada 20 Maret.
Sinung Karto, Kepala Divisi Pembelaan HAM dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara [AMAN] menyatakan, pemanggilan terhadap para pemuda Poco Leok “merupakan tindakan kriminalisasi” oleh Polres Manggarai.
“Ini merupakan salah satu bentuk tindakan pelanggaran hak asasi manusia untuk menyampaikan pendapat secara bebas di muka umum yang dilindungi oleh UUD 1945, UU No. 9 Tahun 1998 dan Instrumen HAM Internasional yang sudah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia,” katanya.
Sinung menambahkan, AMAN yang sudah tergabung dalam Koalisi Advokasi Poco Leok telah mengutus tim pengacara untuk mendampingi para pemuda selama menjalani proses hukum.
Siapa yang Merusak Pagar?
Tudingan kriminalisasi, menurut koalisi, merujuk pada ketidakjelasan pelaku perusakan pagar.
Menurut Sinung, perlu ada kejelasan, “apakah itu dilakukan oleh peserta aksi yaitu masyarakat Poco Leok atau petugas.”
“Kami memiliki rekaman video mengenai situasi dan kondisi saat aksi tersebut. Bisa terlihat dalam video tersebut, gerbang jatuh ke arah peserta aksi,” katanya.
Ia menambahkan, “otomatis ada pihak yang mendorong dengan kuat sehingga gerbang jatuh ke peserta aksi.”
Hal senada dikatakan Muhammad Jamil bahwa koalisi mengantongi bukti video.
Karena itu, kata dia, gerakan donasi Rp500 “bukan karena peserta aksi yang melakukan pengrusakan,” tetapi untuk meminta simpati dan dukungan publik,
“Pengumpulan koin ini sebagai salah satu bentuk solidaritas untuk segera memperbaiki pagar yang rusak agar Bupati Manggarai bisa bekerja nyaman dan aman tanpa diganggu oleh masyarakat yang memilihnya,” kata Jamil.
Ia menjelaskan, setiap manusia berhak menyampaikan pendapatnya, apalagi warga Poco Leok yang menolak proyek yang berdampak bagi mereka.
“Kami akan mengawal seluruh proses hukum yang dilakukan oleh kepolisian saat ini. Kami juga akan mengambil langkah tegas untuk melapor ke berbagai pihak, salah satunya ke Divisi Propam Mabes Polri,” katanya.
Sementara Judianto Simanjuntak, pengacara lainnya meminta Polres Manggarai menghentikan segala bentuk pemanggilan dan pemeriksaan terhadap pemuda Poco Leok dan peserta aksi yang lainnya.
“Berdasarkan video yang beredar luas, robohnya gerbang pagar kantor bupati justru ke arah peserta aksi bukan ke petugas. Ini menunjukan bahwa petugas yang mendorong dengan kekuatan sehingga gerbang tersebut roboh,” katanya.
Ia menilai robohnya pagar itu “sebuah skenario dan rekayasa dari anggota kepolisian dan Satpol PP.”
“Seharusnya, yang dipanggil dan diperiksa adalah anggota Polisi dan Satpol PP,” kata Judianto.
Ia menegaskan, “ini merupakan tindakan kriminalisasi, maka kita perlu mengkawal proses ini dengan baik supaya tidak ada tindakan yang melanggar prinsip-prinsip hukum yang baik dan benar.”
Dalam laporan Floresa sebelumnya, Dandhy Dwi Laksono, aktivis dan produser sejumlah film dokumenter terkait masyarakat adat menyebut, laporan Nabit terhadap warga menunjukkan pemerintah yang tidak hanya merespons serius suatu hal yang sebenarnya sepele, tetapi juga melakukan intimidasi atau menakut-nakuti warga.
“Peristiwa jatuhnya pagar itu seharusnya menjadi momen penting untuk membuat bupati lebih mudah membayangkan kerusakan rumah, halaman dan ruang hidup warga Poco Leok,” katanya.
“Mestinya dengan kejadian itu, rasa empati dia terhadap warganya sendiri semakin besar,” tambah Dandhy.
Jika Nabit tidak menerima kenyataan rusaknya properti di kantor bupati, lanjutnya, “apalagi kampung orang, kehidupan sosial ekonomi masyarakat, dan harapan serta ruang hidup mereka yang dirusak” akibat proyek geotermal.
Sementara itu, Dimas Bagus Arya, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau KontraS menyebut pelaporan terhadap pengunjuk rasa “jelas adalah upaya pelemahan bentuk-bentuk ekspresi warga yang sedang menuntut kejelasan situasi yang terjadi di Poco Leok.”
Unjuk rasa, katanya, adalah ekspresi yang dilindungi oleh Undang-Undang Dasar dan Undang-Undang Kebebasan Berekspresi dan Berkumpul, termasuk Undang-undang Hak Asasi Manusia dan norma terkait penyampaian pendapat oleh masyarakat.
Alih-alih melakukan kriminalisasi, kata Dimas, pemerintah daerah seharusnya mengupayakan pemecahan masalah yang substansial, yaitu ketidakjelasan situasi warga Poco Leok akibat proyek geotermal.
“Kekecewaan masyarakat itu tumpah setelah rentetan peristiwa yang dialami warga dalam waktu yang lama dan tanpa kepastian, sampai ada ekspresi yang dianggap oleh pemerintah sebagai sesuatu yang merusak,” katanya.
Sementara itu Zainal Arifin dari Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia menduga pemerintah daerah dan Bupati Nabit sudah merencanakan kriminalisasi terhadap warga Poco Leok agar mereka takut dan tidak lagi melakukan protes.
“Ini bagian dari pembungkaman kebebasan berekspresi,” katanya.
Sekian Banyak Cara Penolakan
Dalam audiensi dengan warga pada 3 Maret, Nabit memilih menolak tuntutan mereka mencabut Surat Keputusan Penetapan Lokasi Proyek, menegaskan bahwa keputusannya “dibuat berdasarkan kebutuhan energi untuk masyarakat Manggarai.”
Ia berkata “tidak ada niat dari pemerintah untuk merusak lingkungan atau mengabaikan budaya lokal.”
“Niat saya sejak awal hanya ingin memastikan ketersediaan listrik bagi seluruh masyarakat Manggarai. Sayangnya, kita terbatas dalam sumber energi. Di Poco Leok, geotermal adalah satu-satunya sumber energi yang dapat diandalkan,” jelasnya.
Ia juga menambahkan bahwa “masyarakat Manggarai sangat bergantung pada ketersediaan listrik, termasuk untuk sektor pendidikan dan ekonomi.”
“Listrik bukan hanya untuk penerangan rumah tangga, tetapi juga untuk industri. Kita menerima banyak permohonan pembangunan usaha di beberapa daerah, seperti pabrik pengolahan ikan di Reo. Namun, karena keterbatasan listrik, hal itu tidak bisa diwujudkan,” katanya.
Unjuk rasa itu adalah satu dari sekian banyak upaya warga Poco Leok menolak proyek geotermal di wilayah mereka, yang merupakan pengembangan dari PLTP Ulumbu, sekitar tiga kilometer di sebelah barat.
Proyek di Poco Leok ditargetkan menghasilkan energi listrik 2 x 20 Megawatt, meningkat dari 10 Megawatt yang sudah dihasilkan PLTP Ulumbu sejak 2012.
Unjuk rasa juga dilakukan ratusan warga dari sepuluh kampung adat di Ruteng, ibukota Kabupaten Manggarai pada 9 Agustus 2023, di mana mereka tidak bertemu dengan Nabit yang dikabarkan sedang bertugas keluar daerah.
Selain unjuk rasa di Ruteng, berbagai upaya juga telah dilakukan oleh warga, termasuk mengadang Nabit saat mengunjungi wilayah itu pada Februari 2023.
Upaya penolakan warga juga telah direspons oleh Bank Pembangunan Jerman Kreditanstalt für Wiederaufbau [KfW] sebagai pendana proyek, yang mengirim tim independen untuk memantau pelaksanaan proyek itu.
Tim tersebut kemudian menyatakan proyek itu melanggar standar sosial dan ekologi internasional, dan merekomendasikan pemerintah serta PT PLN mengulang seluruh proses proyek sejak awal.
Editor: Ryan Dagur