Kasus Kerusakan Pagar Kantor Bupati Manggarai: Demi Ambisi Nabit Menyeret Warga Poco Leok ke Jeruji Besi?

Pengacara warga menyatakan akan melakukan praperadilan dan upaya hukum lain jika Polres Manggarai menetapkan tersangka

Floresa.co – Polres Manggarai menyatakan bahwa kasus kerusakan pagar kantor bupati Manggarai saat unjuk rasa warga Poco Leok masih dalam tahap penyelidikan, berbeda dengan keterangan yang disampaikan ke salah satu media bahwa akan ada penetapan tersangka.

Di sisi lain, Koalisi Advokasi Poco Leok menyatakan kasus ini adalah murni upaya kriminalisasi oleh Bupati Manggarai, Herybertus GL Nabit demi menekan warga yang terus melakukan perlawanan terhadap proyek geotermal.

Koalisi itu pun sudah ancang-ancang melakukan praperadilan andai Polres Manggarai jadi menetapkan tersangka.

Ditemui Floresa pada 25 April, Kepala Seksi Humas Polres Manggarai, I Made Budiarsa, berkata, penyelidikan kasus ini “masih terus berlangsung.”

“Masih dalam penyelidikan, masih dalam pemeriksaan saksi-saksi. Hingga saat ini ada 10 orang yang dimintai keterangan,” katanya.

Informasinya berbeda dengan klaim Kasat Reskrim, Iptu Robbyanli Dewa Putra sebelumnya bahwa penanganannya sudah sampai pada tahap penyidikan. Sementara dalam laporan ntt.viva.co.id pada 11 April, Putra menyatakan telah mengantongi dua nama calon tersangka.

Kasus ini dilaporkan pada 3 Maret, hari yang sama usai warga dituding merusak pagar kantor itu saat unjuk rasa menuntut Nabit mencabut Surat Keputusan Penetapan Lokasi Proyek Geotermal.

Polisi bergerak cepat dengan memasang garis polisi, disertai pemanggilan warga yang dituding merusak pagar beberapa hari setelahnya.

Sekretaris Daerah Manggarai, Fansi Aldus Jahang mengonfirmasi bahwa laporan yang diajukan Kepala Bagian Umum Sekretariat Daerah, Fransiskus Makarius Beka itu adalah atas disposisi Nabit.

Siapa yang Merusak Pagar?

Sumber Floresa menyatakan, polisi kebingungan setelah melihat video rekaman saat kerusakan pagar itu, yang jatuh ke arah warga.

Pagar itu jatuh setelah terjadi saling dorong antara Satpol PP, polisi dengan warga.

Hal itu pula yang membuat kuasa hukum warga menyatakan bahwa tudingan terhadap warga sebagai pemicunya tidak beralasan.

Seorang warga Poco Leok yang diperiksa polisi berkata kepada Floresa, penyidik berulang kami bertanya alasan mereka merobohkan pagar itu.

“Namun kami tetap konsisten bahwa warga hanya berusaha menahan pagar yang hendak jatuh ke arah kami,” katanya. 

“Pagar jatuh ke arah kami bukan karena kami tarik,” tambahnya.

Warga itu berkata, pertanyaan-pertanyaan penyidik seolah memaksa mereka mengaku bahwa merekalah yang merobohkan pagar itu.

Kriminalisasi demi Ambisi Nabit?

Kasus ini telah memicu kritikan dari berbagai pihak sebagai bentuk kriminalisasi.

Praktisi hukum, Siprianus Edi Hardum berkata, proses hukum kasus ini merupakan celah yang sengaja dimanfaatkan Nabit untuk mengkriminalisasi pemuda dan warga Poco Leok.

“Ini adalah kriminalisasi terhadap masyarakat yang menuntut hak-haknya”, tegas Edi.

Edi juga menilai pelaporan itu tindakan yang berlebihan.

“Ini menyampaikan pendapat saja, berunjuk rasa. Berunjuk rasa itu dijamin dan dilindungi oleh undang-undang,” jelasnya.

Edi menambahkan, dalam menyampaikan aspirasi, tindakan anarkis dan vandalisme memang tidak boleh dilakukan.

Namun, Edi menyatakan, dalam kasus kerusakan pagar ini “tidak terjadi tindak pidana.”

“Yang saya lihat justru saling dorong antara pihak keamanan dan pengunjuk rasa,” ujar Edi.

Karena itu, kata dia, “tidak perlu ada kriminalisasi.”

“Kalaupun ada fasilitas yang rusak, diperbaiki saja,” kata Edi.

Dandhy Dwi Laksono, aktivis dan produser sejumlah film dokumenter terkait masyarakat adat menyatakan, laporan Nabit terhadap warga menunjukkan pemerintah yang tidak hanya merespons serius suatu hal yang sebenarnya sepele, tetapi juga melakukan intimidasi atau menakut-nakuti warga.

“Peristiwa jatuhnya pagar itu seharusnya menjadi momen penting untuk membuat bupati lebih mudah membayangkan kerusakan rumah, halaman dan ruang hidup warga Poco Leok,” katanya kepada Floresa.

“Mestinya dengan kejadian itu, rasa empati dia terhadap warganya sendiri semakin besar,” tambahnya.

Jika Nabit tidak menerima kenyataan rusaknya properti di kantor bupati, lanjut Dandhy, “apalagi kampung orang, kehidupan sosial ekonomi masyarakat, dan harapan serta ruang hidup mereka yang dirusak” akibat proyek geotermal.

Kuasa Hukum Warga Adukan Polres Manggarai

Kuasa hukum warga dari Koalisi Advokasi Poco Leok telah mengadukan Polres Manggarai ke sejumlah lembaga, termasuk Mabes Polri, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Kepolisian Nasional dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.

Judianto Simanjuntak, kuasa hukum Pemuda Adat Poco Leok yang ikut bergabung dalam koalisi itu berkata, penanganan kasus kerusakan pagar ini oleh polisi adalah “keliru dan menyesatkan.”

“Tidak ada indikasi dugaan tindak pidana pengrusakan,” katanya, merujuk pada pasal 170 ayat [1] KUHP Sub Pasal 406 KUHP Pasal 55 ayat [1] ke-1 KUHP yang dipakai polisi.

Fakta yang sebenarnya, “adalah terjadi saling dorong gerbang kantor bupati” yang juga melibatkan polisi dan Satpol PP.

“Akibatnya, gerbang kantor bupati tersebut jatuh ke arah massa aksi, bahkan hampir mengenai mereka,” katanya.

Ia juga menekankan bahwa unjuk rasa warga menolak proyek geotermal Poco Leok “merupakan hak atas kebebasan mengeluarkan dan menyampaikan pendapat di muka umum.”

Hak itu dijamin dalam UUD 1945, Undang-Undang HAM Nomor 39 Tahun 1999, dan instrumen hukum lainnya.

“Aksi tersebut merupakan upaya mempertahankan wilayah adat yang dijamin dalam instrumen hukum nasional dan hukum internasional, yang mengakui dan menghormati hak-hak masyarakat adat,” kata Judianto.

Sementara itu, Yulianto Behar Nggali Mara, kuasa hukum lainnya yang juga pengacara publik dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) berkata, “kriminalisasi ini bukan baru terjadi, tapi sudah berulang kali.”

Ia merujuk pada pemanggilan terhadap beberapa warga Poco Leok sebelumnya karena  mengadang PT Perusahaan Listrik Negara dan pemerintah saat mendatangi lokasi proyek di bawah pengawalan aparat.

Proses hukum kasus ini “harus berkeadilan dan dipelajari betul” dan “tidak boleh tergesa-gesa hanya karena ada pesanan.”

Ia menekankan bahwa perlawanan warga terjadi karena “mereka memperjuangkan ruang hidup.”

Karena itu, Polres Manggarai “jangan hanya melihat persoalan di hilirnya saja, tetapi tidak melihat persoalan hulunya.” 

“Jangan sampai proses hukum yang terjadi saat ini adalah untuk membungkam suara kritis warga,” katanya.

Siap Praperadilan

Judianto mengingatkan bahwa pengusutan kasus itu oleh polisi terlalu dipaksakan dan “akan sangat berbahaya, apalagi jika sampai ada penetapan tersangka.”

“Jika nanti ada penetapan tersangka, warga dan kuasa hukum pasti akan melakukan perlawanan hukum terhadap keputusan tersebut,” katanya.

Ia menjelaskan, perlawanan hukum itu bukan hanya praperadilan, tetapi juga berbagai upaya lainnya.

Dikonfirmasi Floresa pada 29 April, Sekda Jahang mengklaim “belum ada laporan dari Kabag Umum” terkait perkembangan kasus itu, merujuk pelapor Fransiskus Makarius Beka.

Ia juga berkata belum mengetahui informasi rencana polisi menetapkan tersangka.

Floresa telah berupaya menghubungi Nabit pada pada 28 April. Namun, hingga berita ini ditulis, ia belum memberikan tanggapan.

Upaya serupa dilakukan kepada Beka. Ia sempat memberikan respons awal pukul 13:25 WITA.

“Maaf masih ada kegiatan. Nanti saya WA,” kata Beka.

Floresa mencoba hubungi Beka pukul 17:27 WITA. Namun, hingga berita ini diterbitkan ia tidak merespons.

Sorotan untuk Nabit

Nabit telah menjadi salah satu sasaran utama protes warga Poco Leok terkait proyek ini.

Merespons aspirasi dari aliansi pemuda pada 3 Maret ia menyatakan mempertahankan keputusannya agar proyek itu terus berlanjut, menolak mencabut Surat Keputusan Penetapan Lokasi yang ditekennya pada 1 Desember 2022.

Usai unjuk rasa itu, ia mengunggah video di akun Instagram dan Facebooknya yang mempersoalkan kasus kerusakan pagar itu.

“Saya sangat kecewa ketika terjadi pengrusakan di luar setelah dialog,” katanya dalam video yang diunggah pada 13 Maret itu.

Ia juga mengklaim menerima aliansi pemuda dengan baik, sembari membandingkannya dengan peristiwa saat dirinya berkunjung ke Poco Leok pada 27 Februari 2023, di mana “saya ditolak dan diusir.”

“Sebagai orang tua di Manggarai, ketika masyarakat datangi saya harus membuka pintu, saya tidak boleh melakukan hal yang sama dengan hal yang mereka lakukan terhadap saya,” katanya.

Sementara polisi memproses hukum laporannya terhadap warga, pada pertengahan bulan lalu, Nabit bepergian untuk studi banding proyek geotermal di Lahendong, Sulawesi Utara.

Ikut dalam rombongan itu Kapolres Manggarai AKBP Edwin Saleh, Kepala Kejaksaan Negeri Manggarai Fauzi dan Komandan Kodim 1612 Manggarai Budiman Manurung. 

Selain itu, ikut juga Sekda Fansi Aldus Jahang, pimpinan DPRD, dan beberapa kepala dinas. 

Warga Poco Leok yang menolak geotermal telah berulangkali berunjuk rasa. Mereka tercatat 27 kali mengadang aktivitas PT PLN, Badan Pertanahan dan pemerintah daerah di lokasi proyek.

Selain itu, mereka juga bersurat kepada berbagai lembaga negara, di antaranya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Ombudsman dan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan.

Surat lainnya mereka layangkan kepada Bank Pembangunan Jerman Kreditanstalt für Wiederaufbau [KfW] sebagai pendana proyek, yang direspons lembaga itu dengan mengirim tim independen untuk memantau pelaksanaan proyek.

Dalam pertemuan daring pada 14 November 2024, KfW dan tim independen menyatakan penghentian sementara proyek tersebut karena melanggar standar sosial dan ekologi internasional. Tim itu juga merekomendasikan pemerintah dan PT PLN mengulang seluruh proses proyek sejak awal.

Proyek geotermal Poco Leok merupakan pengembangan dari PLTP Ulumbu, sekitar tiga kilometer di sebelah barat, dengan target menghasilkan energi listrik 2×20 Megawatt, meningkat dari 10 Megawatt yang sudah dihasilkan sejak 2012.

Tak hanya di Poco Leok, gelombang penolakan terhadap proyek serupa juga muncul di berbagai lokasi di Flores, menyusul penetapan pulau itu sebagai Pulau Panas Bumi pada 2017.

Selain warga di berbagai lokasi itu, otoritas Gereja Katolik yang diwakili enam uskup dari wilayah Nusa Tenggara dan Bali juga telah menyatakan sikap penolakan, berdasarkan keluhan warga dan kondisi Pulau Flores yang kecil dengan topografi berbukit-bukit.

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik mendukung kami, Anda bisa memberi kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

BACA JUGA

TERKINI

BANYAK DIBACA