Borong, Floresa.co – Camat Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai Timur, Flores, NTT, Ferdinandus Lendo membatah adanya intimidasi dalam rapat penyerahaan tanah untuk bandar udara (bandara) di Tanjung Bendera. Ia mengatakan semua pihak yang hadir dalam rapat yang berlangsung 23 April lalu itu diberi kesemapatan untuk bicara.
Sebelumnya, laporan mengenai adanya intimidasi ini dikemukakan oleh Ketua Paguyuban Motu Tujuh Bersaudara, Irenius Lagung.
Pertemuan tersebut, kata Irenus, terkesan sudah diatur sedemikian rupa, sarat intimidasi dan konspiratif sehingga utusan yang ditugaskan sebagai pemantau pertemuan dari sub-klan Motu Kaju Leke, Motu Poso Watunggong dan Leke, dan Motu Kaju Wolomboro nyaris tak bisa mengemukakan gagasan secara bebas dan nyaman.
Namun, camat Kota Komba Ferdinandus Lendo yang memimpin rapat itu membantah tudingan Irenius. “Rapat tanggal 23 itu tidak ada intimidasinya, terus terang saja. Karena kita lebih banyak lempar ke forum dan saya punya catatan terkait usulan-usulan. Termasuk om Iren sendiri itu juga menyampaikan usulan bahwa harus ada kompensasi. Saya tanya Pak Kadis (Kadis Perhubungan Matim), dia bilang untuk itu tidak disiapkan kompensasi terkait penyerahan tanah itu,”jelas Ferdindanus kepada Floresa.co, Rabu (6/5/2015).
Ia mengakui memang saat itu ada tarik ulur terkait luas lahan yang diserahkan. Karena, dalam master plan lahan yang dibutuhkan mencapai 200 hektare. “Tetapi saat itu termasuk Om Iren mengatakan kita kembali ke dokumen awal, studi awal yang dibutuhkan 80-100 hektare, sehingga itu yang diserahkan waktu itu,”ujarnya.
Ditanya, apakah penyerahan 100 hektare itu sudah disepakati oleh tujuh sub-klan suku Motu, Ferdinandus mengatakan pihaknya tidak mengundang semuanya.
“Kita tidak bisa mengundang semua dan kami juga tidak tahu tujuh klan yang Motu itu yang mana-mana, tetapi ini kan (yang hadir) perwakilan dari suku-suku yang ada, termasuk suku Suka,Panda, Liti, itu kita undang semua. Jadi, penyerahan oleh Motu itu disaksikan oleh suku-suku yang lain termasuk orang Lowa, orang Suka, mereka menandatangani itu,”ujarnya.
Ferdinandus mengatakan nama-nama yang diundang dalam rapat tanggal 23 April itu berdasarkan data dari Dinas Perhubungan Matim dan disinkronkan dengan daftar nama yang pernah diundang saat konsultasi publik awal dan sidang Amdal.
Ia mengakui tidak bisa mengundang semua orang daru suku Motu. “Karena kita dibatasi jumlahnya, kita dikasih jumlah 39 orang dengan anggaran yang ada di Dinas Perhubungan. Sehingga kita keluarkan undangan ke 11 suku, sehinga terjadi rapat tanggal 23. Khususnya untuk teman-teman yang dari Motu ini, memang yang kita undang empat orang,”ujarnya.
Untuk diketahui pemilikhak ulayat tanah untuk bandara tersebut adalah suku Motu. Suku ini memiliki tujuh sub klan. Namun, sejumlah anggota sub klan suku Motu ini mengatakan penyerahaan tanah untuk kepentingan bandara dalam rapat 23 April lalu belum sah. Karena tidak semua klan suku Motu terlibat. (Petrus D/PTD/Floresa).