Ruteng, Floresa.co – 21 Warga Tumbak, Desa Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai Timur, NTT diperiksa oleh Polres Ruteng, setelah mereka dinyatakan terbukti melakukan pemagaran di Lingko Roga dan Lingko Lembung, yang masuk wilayah lokasi tambang PT Aditya Bumi Pertambangan.
Dari 21 warga tersebut, 2 diantaranya masih duduk di bangku SMP.
Iptu Eddy, Kasat Reskrim Polres Manggarai menyatakan, pihaknya telah melakukan pemeriksaan terhadap 21 warga tersebut dan mereka telah mengakui perbuatannya.
“Di sana terjadi pro dan kontra antarwarga sendiri. Yang kontra, mereka memperjuangkan haknya dengan cara mengancam pekerja tambang dan memagari lokasi,” terang Iptu Edy, Jumat (20/6/2014).
Ia menjelaskan, polisi tidak menahan warga tersebut, namun, hasil penyelidikan akan diserahkan ke Pengadilan Negeri Ruteng untuk diproses.
“Biarkan pengadilan yang memutuskan benar atau salahnya, karena masyarakat ini pada dasarnya tidak mengerti tentang hukum,” kata Edy.
Antonius Jeramun, panasehat hukum warga Tumbak menyatakan, warga melakukan pemagaran di Lingko Roga dan Lingko Lembung karena warga tidak tahu bahwa dua Lingko tersebut sudah menjadi lokasi tambang PT. Aditya.
Tambang tersebut lanjutnya, berdasarkan SK Bupati Manggrai Timur, Yosep Tote No. HK/81-2009. Dalam lampiran SK itu, jelas dia, lokasi tambang termasuk di Tumbak, tetapi jika berdasarkan peta lokasi yang ada, Tumbak tidak termasuk dalam wilayah IUP yang mencapai luas 2.222 hektar.
Informasi yang dihimpun Floresa, pada 31 Juli 2012, Warga Persekutuan Adat Gendang Tumbak pernah membuat kesepakatan dengan PT Aditya.
Isinya, bagian pinggir luar Lingko Roga, Lingko Lembung dan Lingko Bongko dipakai oleh perusahan, tetapi hanya untuk pembuatan jalan ke lokasi tambang di Waso dari Satar Teu.
Namun kemudian, sejak Mei 2014 lalu, malah lokasi tersebut dikeruk.
Perusahan asal India itu melakukan eksplorasi di Lingko Roga dan Lingko Lembung, serta satu lagi, Lingko Wejang Nara.
SK Bupati Tote Bermasalah
Robertus Morgan, salah satu warga Tumbak menjelaskan, penerbitan SK oleh Bupati Tote sebenarnya bermasalah sejak awal.
Ia menjelaskan, lahan yang sekarang masuk dalam wilayah IUP PT Aditya dalam posisi sengketa antara warga dengan perusahaan tambang. Warga, kata dia, sejak awal menolak.
Namun, kemudian, Bupati Tote menerbitkan SK di tengah situasi konflik. “Bagaimana SK itu bisa keluar sementara belum ada penyelesaian sengketa”, jelas Morgan.
Isi SK itu, kata dia, juga bermasalah, karena dapat dipastikan, lokasi tambang juga memasukkan wilayah hak ulayat mereka, sehingga seluruh anak kampung yang berada di sekitar wilayah tambang kemungkinan bakal lenyap.
“Kapan pemerintah duduk bersama masyarakat untuk mendiskusikan tambang itu. Apalagi belum pernah melakukan analisis dampak lingkungan (AMDAL), sehingga masyarakat benar-benar tidak paham dengan tambang. Kami takut jika sesewaktu terjadi dampak negatif yang kita tidak inginkan,” ungkap Morgan.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Cabang NTT menjelaskan, proses pengambilan lahan masyarakat untuk tambang di daerah itu memang dilakukan dengan pemaksaan.
Melky Nahar, Manajer Kampanye Walhi NTT mengatakan, pemerintah bersama aparat Polisi dan TNI menakut-nakuti warga yang tidak mau menyerahkan tanah ulayatnya ke PT Aditya.
Karena itu, kata dia, berhadapan dengan kasus 21 warga Tumbak yang sudah jadi tersangka, polisi tidak bisa serta merta menggunakan dalil aturan, tanpa melihat fakta riil, mengapa sampai masyarakat mempertahankan tanah ulayatnya.
Ia menambahkan, aparat keamanan di Manggarai Timur saat ini sudah menjadi bagian dari persekongkolan jahat antara korporasi tambang dan pemerintah lokal.
“Bupati Tote yang dipilih langsung oleh warga untuk kedua kalinya, sesungguhnya sudah menjadi mafia dan penjilat investor tambang”, tegas Melky.
Kasus tambang di Tumbak, kata dia, juga membuktikan bahwa hadirnya pertambangan di Manggarai Timur tanpa melibatkan masyarakat.
“Bupati dengan kekuasaan yang dimilikinya melangsungkan transaksi gelap penerbitan IUP tanpa melibatkan rakyat”, jelas Melky.
Ia juga mengecam DPRD Manggarai Timur yang seharusnya menjadi lembaga terdepan membela masyarakat.
“Tapi mereka acuh tak acuh dan masa bodoh. DPRD turut melegitimasi prosesi hancurnya kedaulatan masyarakat Manggarai Timur. Lebih dari itu, DPRD terindikasi kuat mendapatkan fee dari investor tambang”, ungkapnya.
Karena itu, kata dia, Walhi NTT mendesak Bupati Tote segera membantu membebaskan 21 warga Tumbak.
“Kami juga mendesak DPRD Matim untuk berhenti menjadi pecundang yang membiarkan investor tambang, Polisi dan TNI mengobrak-abrik tanah ulayat warga”, jelas Melky.
Inkonsistensi Bupati Tote
Kasus di Tumbak hanya salah satu dari konflik yang terjadi antara masyarakat dengan perusahan tambang, pasca kabupaten itu pisah dari kabupten induk, Manggarai.
Sebelumnya, terjadi konflik serupa di Satar Teu, juga di Desa Golo Lijun, Elar dimana masyakat menolak kehadiran PT Manggarai Manganese.
Sejauh ini, belum ada langkah serius dari pihak pemerintah untuk menangani konflik yang terjadi. Beberapa kali Floresa berupaya menghubungi Bupati Tote, serta Dinas Pertambangan Manggarai Timur untuk meminta penjelasan terkait situasi yang ada, namun belum mendapat respon.
Padahal, ketika Bupati Tote baru setahun menduduki kursi empuk di ruang jabatan, ia dengan lantang menegaskan, dirinya tidak akan menerima kehadiran tambang, sebuah komitmen yang menuai decak kagum dan optimisme publik akan hadirnya pola pemerintahan yang mau mendengarkan suara rakyat kecil.
Ia dianggap menghadirkan sikap berbeda dari Bupati Manggarai Christian Rotok, yang dikenal suka mengobral izin tambang.
Janji tolak tambang disampaikan Tote saat pertemuan dengan warga Manggarai Raya di Hotel Ibis, Jakarta Barat, Jumat 10 Desember 2010. Sebagaimana dilansir Flores Pos, Selasa 14 Desember 2010, Tote menegaskan, “Secara pribadi saya tadinya melihat pertambangan berpotensi meningkatkan kesejahteraan penduduk, tetapi setelah ada penolakan dari masyarakat, apalagi air sungai jadi hitam dan beberapa dampak buruk terhadap lingkungan sekitarnya, maka saya tolak tambang. Jadi, saya tidak akan pernah mengeluarkan izin tambang.”
Pernyataannya kala itu disambut tepuk tangan meriah peserta diskusi.
Ia juga menambahkan sejumlah catatan, antara lain, akan meninjau kembali seluruh proses izin tambang dan tidak akan mengeluarkan izin baru, membentuk tim khusus mengkaji seluruh proses izin tambang dan memberdayakan masyarakat melalui pertanian organik, perikanan serta pariwisata.
Namun, apa lacur, faktanya kini, semua janji itu tak lagi diingat. Berdasarkan data JPIC-OFM, jumlah perusahan tambang yang kini beroperasi di Manggarai Timur, yaitu 3 perusahan (PT Aditya, Manggarai Manganese dan PT Arumbai Manganbekti), merupakan yang terbanyak dibanding dengan Manggarai, dimana saat ini hanya satu perusahan yang sedang beroperasi, yaitu PT Global Commodity Asia.
Sementara di Manggarai Barat, semua IUP yang diterbitkan bupati sebelumnya, Fidelis Pranda, hingga kini masih dibekukan, pasca penerbitan moratorium oleh Bupati Agustinus Ch Dula.
“Rupanya, Bupati Tote setengah sadar saat bicara tahun 2010 itu. Buktinya, sekarang ia malahan lebih ngawur setelah menduduki kursi kekuasaan”, kata Melky.