ReportasePeristiwaNilai Marianus Sae Cacat, Koalisi Pemuda Desak PDIP Cabut Dukungan

Nilai Marianus Sae Cacat, Koalisi Pemuda Desak PDIP Cabut Dukungan

Jakarta, Floresa.co – Sejumlah pemuda NTT yang menyebut diri”Koalisi untuk Demokrasi Berintegritas di NTT” menggelar aksi unjuk rasa ke kantor DPP PDIP di Jakarta, Kamis, 23 November 2017.

Mereka meminta partai pemenang Pemilu 2014 itu tidak mendukung Bupati Ngada, Marianus Sae untuk menjadi calon gubernur NTT dalam Pilgub tahun depan karena menganggapnya bermasalah secara hukum dan moral.

Koalisi ini terdiri sejumlah elemen masyarakat, yakni Komite Masyarakat Ngada-Jakarta (Kommas Ngada-Jakarta), Forum Pemuda NTT Penggerak Keadilan dan Perdamaian (Formadda NTT), Amman Flobamora dan Kompak NTT.

“Kami mendengar salah satu nama yang akan diusung PDIP di Pilgub NTT adalah Marianus Sae. Jika ini benar, maka kami sangat menyayangkan, karena Marianus adalah bupati yang patut diduga masih bermasalah secara hukum dan moral,” kata Gregorius Kune, perwakilan koalisi.

“PDIP seharusnya mengusung bacagub yang berintegritas, tidak boleh orang yang bermasalah secara hukum dan moral,” lanjutnya.

Nama Marianus memang santer dikabarkan sebagai kandidat yang diusung PDIP.

Ia sendiri pun di beberapa media mengaku optimis didukung oleh partai itu yang memiliki 9 kursi di DPRD NTT.

Dengan tambahan dukungan dari PKB, sebagaimana juga diklaim Marianus, yang memiliki 5 kursi, maka ia sudah  melampaui syarat minimal koalisi partai pengusung pasangan calon gubernur-wakil gubernur di NTT.

Kune menjelaskan, Marianus merupakan bupati yang menyandang status tersangka dalam kasus pemblokiran Bandara Turelelo-Soa, Ngada, Bejawa, NTT pada 21 Desember 2013.

Kasus ini, kata dia, sudah lama ditangani oleh Polda NTT dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kementerian Perhubungan, namun penanganannya sangat lamban dan tidak jelas sampai sekarang.

“Kasus blokir bandara ini sangat jelas karena yang memerintah Satpol PP Ngada untuk blokir Bandara pada saat itu adalah Marianus Sae. Tetapi, status Marianus Sae masih tersangka, sementara 23 Satpol PP sudah masuk penjara. Padahal, Satpol PP ini hanya menjalankan perintah atasan kala itu,” tandas dia. 

“Kasus Marianus Sae menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum dan dunia penerbangan kita. Kami minta Marianus Sae diproses secara hukum agar mendapatkan kepastian hukum,” lanjut Kune.

Ia menambahkan, kasus moral yang diduga dilakukan Marianus Sae adalah menghamili mantan pembantunya, Maria Sisilia Natalia dan melahirkan seorang anak yang bernama Reginaldus Flavius.

Menurutnya, kasus ini telah diadvokasi oleh para suster dan pastor di Maumere, Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Berdasarkan keterangan Ketua Tim Relawan Kemanusiaan untuk Flores (TRUK-F), Suster Eustochia Monika Nata SSpS, kata dia, Natalia melahirkan seorang bayi laki-laki pada 7 Mei 2012, hasil hubungannya dengan Bupati Marianus.

Namun, bupati selalu membantah hal ini. 

“Bahkan Suster Eustochia mengatakan pada November 2013 bahwa pihaknya mempunyai data data berupa catatan, surat kuasa, rekaman, video wawancara,” katanya.

“Semua data itu menyebutkan bahwa ayah biologis anak dari Maria Sisilia Natalia adalah Bupati Ngada,” lanjutnya.

Hendrikus Hali Atagoran, anggota koalisi yang juga menjadi koordinator bidang Advokasi dan Hukum Formadda NTT mengatakan, PDIP mempunyai tanggung jawab konstitusional dan moral untuk melahirkan pemimpin-pemimpin derah yang berkualitas, berintegritas, jujur, dan bersih.

Harapannya, lanjut dia, pemimpin-pemimpin daerah tersebut mampu membawa masyarakat kepada kesejahteraan.

“Nah, jika PDIP mendukung Marianus Sae, maka bisa berdampak negatif terhadap PDIP karena akan dinilai oleh masyarakat NTT mendukung orang yang diduga bermasalah secara hukum dan moral,” katanya.

“Hal ini tidak sesuai dengan semangat Nawa Cita dan revolusi mental yang diusung PDIP bersama Jokowi-JK di tingkat nasional,” lanjut Hali.

Di tengah catatan buruk yang disampaikan koalisi ini, nama Marianus Sae, oleh sebagian pihak dianggap sebagai “kuda hitam” dalam Pilgub NTT.

Sisi lain Marianus adalah komitmennya dalam reformasi birokrasi dan rasionalisasi anggaran daerah selama memimpin Ngada, dengan memangkas apa yang ia sebut praktek pemborosan anggaran.

Dalam wawancara dengan Floresa.co beberapa waktu lalu, ia menjelaskaan, setelah adanya pemangkasan di sejumlah pos pengeluaran, biaya operasional kantor menjadi Rp 30 miliar dari sebelumnya Rp 98 miliar, operasional kendaraan jadi Rp 7 miliar dari Rp 37 miliar dan untuk perjalanan dinas menjadi Rp 22 miliar dari sebelumnya Rp 68 miliar.

BACA: Terobosan Marianus Sae di Ngada yang Hendak Ditularkan untuk NTT

“Setelah dipangkas lalu gabung, saya plot semua ke infratsruktur yang dulu anggarannya Rp 2 miliar. Saya plotkan Rp 10 hingga belas miliar. Anggaran kesehatan dinaikkan, demikian juga pendidikan,” katanya.

ARL/Floresa

DUKUNG KAMI

Terima kasih telah membaca artikel kami.

Floresa adalah media independen. Setiap laporan kami lahir dari kerja keras rekan-rekan reporter dan editor yang terus berupaya merawat komitmen agar jurnalisme melayani kepentingan publik.

Kami menggalang dukungan publik, bagian dari cara untuk terus bertahan dan menjaga independensi.

Cara salurkan bantuan bisa dicek pada tautan ini: https://floresa.co/dukung-kami

Terima kasih untuk kawan-kawan yang telah mendukung kami.

Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

BACA JUGA

spot_img

TERKINI

BANYAK DIBACA