Floresa.co – Pengacara wisatawan korban dugaan pemerkosaan di Labuan Bajo kembali bersurat ke Mabes Polri meminta untuk mendesak Polres Manggarai Barat segera menindaklanjuti kasusnya.
Surat tersebut ditujukan kepada Kepala Badan Reserse dan Kriminal [Kabareskrim] Polri, Komjen Wahyu Widada.
Dalam surat yang salinannya diterima Floresa pada Kamis, 26 Oktober, ketiga kuasa hukum korban “memohon” polisi segera memberikan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan [SP2HP].”
Permohonan merupakan respons kuasa hukum atas ketiadaan tindak lanjut penanganan laporan kepolisian bernomor LP/83/iV/2020/NTT/Res Mabar.
Kasus ini dilaporkan kepada Polres Manggarai Barat pada 14 Juni 2020 oleh korban yang mengaku diperkosa setelah mengonsumsi minuman beralkohol yang dibawa dua pelaku bersama empat rekan mereka.
Sejak dilaporkan, sebut kuasa hukum dalam surat bertanggal 18 Oktober 2023 itu kepada Wahyu, “tak ada tindak lanjut” yang mendorong mereka mengirim surat pengaduan kepada Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
Surat aduan kepada Listyo terkirim pada 6 Juni 2023. Wahyu telah membalas surat aduan tersebut pada 3 Juli 2023, yang intinya menjelaskan tahapan penanganan pengaduan masyarakat. Surat balasan itu tidak menjelaskan tindak lanjut penanganan kasus.
Siti “Ipung” Sapurah, ketua tim kuasa hukum korban mengatakan kepada Floresa pada 26 Oktober, “kami memohon laporan dugaan pemerkosaan yang per hari ini ada di Polres Mabar dapat diambil alih Kabareskrim agar kedudukan kasusnya bisa terang.”
Bertahun-tahun menanti gerakan polisi yang tak kunjung tampak, tim kuasa hukum korban dalam surat 18 Oktober juga menyampaikan desakan serupa bagi Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan [Kadiv Propam] Polri, Irjen Syahardiantono.
Kadiv Propam bertugas memeriksa pelanggaran etik dan disiplin terhadap seluruh anggota Polri. Ia juga melayani pengaduan masyarakat atas dugaan penyimpangan tingkah laku oleh anggota institusinya.
Tim kuasa hukum meminta Syahardiantono “membantu kami mencari keadilan.”
“Seperti yang diucapkan Kapolri saat menyampaikan visi dan misi dalam fit and proper test di depan anggota DPR RI,” tulis kuasa hukum menyitir Listyo: ‘Jika saya terpilih menjadi Kapolri, maka tak ada lagi istilah hukum itu tajam ke bawah dan tumpul ke atas.’
Tim kuasa hukum juga “mengingatkan kembali” masih banyak upaya mencari keadilan di kepolisian yang ibarat “jauh panggang dari api.” Peribahasa itu menunjukkan sulitnya polisi memenuhi ekspektasi pencari keadilan..
Sebelumnya, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban [LPSK] melakukan asesmen terhadap kondisi psikologis korban.
Kepada kuasa hukum, LPSK menyatakan pada akhir bulan lalu bahwa klien mereka merupakan “korban pemerkosaan” dan “masih mengalami trauma berat.”
Mengacu pada hasil asesmen itu, LPSK menyebut pendampingan kepada korban membutuhkan waktu hingga enam bulan. Hasil asesmen juga sudah diserahkan ke salah satu pusat layanan psikologi di Bali, domisili korban saat ini.
Selain itu, LPSK berencana mendatangi Polres Manggarai Barat untuk memberikan hasil asesmen “bahwa kasus ini termasuk dugaan pemerkosaan,” kata Ipung.
“Artinya kasus ini dapat dibuka kembali,” katanya, merujuk pada syarat dua alat bukti yang sudah terpenuhi, yaitu visum et repertum dan data visum psikolog.
“Jika LPSK sudah melakukan asesmen, apakah polisi masih tak mau mengusut kasusnya?” kata Ipung.
Bila tak juga terlihat tindak lanjut kepolisian, lanjutnya, “agaknya polisi perlu belajar banyak tentang tindak pidana kekerasan seksual terhadap perempuan.“
Kasus dugaan pemerkosaan ini terjadi pada 12 Juni 2020.
Dalam wawancara dengan Floresa, korban meyakini bahwa ia adalah korban pemerkosaan. Ia mengaku kehilangan kesadaran saat kejadian setelah ikut mengkonsumsi minuman jenis Soju yang dibawa pelaku.
Keesokan harinya, ketika sadar, korban yang menemukan tanda-tanda kekerasan pada tubuhnya melapor polisi.
Ia mengaku menemukan berbagai kejanggalan sejak awal penanganan kasus ini. Salah satu misteri yang hendak dicari jawaban oleh korban adalah penyebab ia kehilangan kesadaran saat kejadian.
Karena itu, saat menjalani visum et repertum di Rumah Sakit Umum Daerah Komodo di Labuan Bajo, ia bersikukuh meminta dilakukan tes urin untuk mengetahui kandungan minuman itu.
Namun, polisi yang bertugas menemaninya melakukan visum menghalang-halangi tes itu. Tes kemudian dilakukan setelah korban terus memaksa dan membayar sendiri.
Keanehan berlanjut karena pihak rumah sakit tidak menyerahkan hasil tes urin kepada korban. Lebih dari tiga tahun kemudian, yaitu pada Oktober 2023, pihak rumah sakit baru mengirim salinannya.
Pihak rumah sakit mengaku telah memberikan hasil tes urin itu kepada polisi dan lupa memberi hasil tes itu kepada korban. Di sisi lain, polisi mengklaim tidak pernah menerima hasil tes tersebut dan menyebut tes urin di luar tanggung jawab mereka. Sayangnya, rumah sakit tidak mau memberi informasi terkait polisi yang menerima hasil itu.
Korban juga tidak melihat keseriusan polisi untuk mencari alat bukti, misalnya polisi tidak melakukan olah tempat kejadian perkara. Korban malah mengumpulkan sendiri botol bekas minuman dan menyerahkannya kepada polisi.
Kejanggalan lain adalah ia baru dapat melihat hasil visum setelah menolak permintaan terduga pelaku melakukan mediasi.
Di sisi lain, polisi kemudian menyatakan menghentikan kasus ini setelah menyimak keterangan dua terduga pelaku.
Dalam wawancara pada 2 Oktober dengan Floresa, Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Polres Manggarai Barat saat itu, Karina Viktoria Anam mengklaim “tidak ada alasan untuk menindaklanjuti” prosesnya dan “hanya bisa dibuka kembali jika korban atau pengacara korban punya bukti lain yang kuat.”
Pada 19 Oktober atau nyaris dua pekan sesudah menerbitkan laporan yang mengutip Karina, Floresa mendapat informasi bahwa ia sudah diganti.