Floresa.co – Warga adat yang ditangkap petugas Kantor Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam [BBKSDA] NTT Wilayah II Ruteng, dipulangkan ke kampungnya di Ngkiong, Desa Ngkiong Dora, Kecamatan Lambaleda Timur pada 21 Maret malam, setelah ditahan selama satu hari di Mapolres Manggarai Timur.
Yohanes Emas, 56 tahun, ditangkap di Lok Pahar, wilayah yang mereka sebut bagian dari lahan ulayat Lando-Lawi pada 20 Maret saat tengah istirahat siang bersama warga lainnya di sebuah pondok.
Delapan petugas BBKSDA menyita 54 lembar papan dan dua puluhan balok kayu “sebagai barang bukti” tudingan bahwa Yohanes mengambil kayu dan mendirikan rumah di kawasan hutan lindung Taman Wisata Alam [TWA] Ruteng.
Berbicara kepada Floresa pada 22 Maret, Kepala BBKSDA Wilayah II Ruteng, Daniwari Widiyanto membenarkan pemulangan Yohanes “karena kondisi kesehatan.”
“Sambil tetap berproses kasusnya di Polres, yang bersangkutan dikenakan wajib lapor,” katanya.
Alasan yang sama disampaikan Lasarus Rabun, 53 tahun, adik kandung Yohanes yang mengaku diberitahu petugas BBKSDA bahwa “kondisi kesehatan kakaknya tidak memungkinkan masuk sel tahanan.”
Informasi itu, kata Lasarus, disampaikan saat dia bersama kerabat lainnya mengunjungi Yohanes di Polres Manggarai Timur di Borong pada 21 Maret siang.
Kunjungan ke Borong dilakukan beberapa jam setelah Lasarus bersama sembilan warga lainnya dari Gendang Ngkiong, Lando, Cumbi mendatangi Kantor BBKSDA Wilayah II di Ruteng, ibukota Kabupaten Manggarai.
Mereka menemui Daniwari untuk meminta otoritas itu membebaskan Yohanes serta mengembalikan papan dan balok kayu yang telah disita “karena dia beraktivitas di lahan ulayat kami.”
Kapolres: Penahanan Tak Sesuai Aturan
Sementara Daniwari menyebut pemulangan Yohanes karena alasan kesehatan, Kapolres Manggarai Timur AKBP Suryanto mengatakan alasan yang lain.
“Nggak, walaupun kesehatan juga, tetap aturannya juga belum [sesuai].” katanya kepada Floresa pada 22 Maret.
Suryanto menjelaskan, penahanan Yohanes tidak sesuai dengan aturan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang menyebutkan kewajiban pemenuhan lima alat bukti.
Lima alat bukti yang sah, berdasarkan Pasal 184 ayat 1 KUHAP adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.
“Kedua, kasus itu belum kita naikkan penyidikan, baru penyelidikan, belum dimintai keterangan-keterangan saksi-saksi,” kata Suryanto.
“Saksi penangkap juga belum ada, kalau keterangannya pelaku doang, nggak bisa dijadikan satu alat bukti,” katanya.
Selain itu, kata dia, polisi juga belum mengecek langsung barang bukti yang ada di tempat kejadian perkara [TKP] karena belum ada foto “posisinya benar di wilayah TWA atau tidak.”
“Kita sesuai prosedur. Kalau kita langsung masukkan ke penjara, belum dinaikkan penyidikan dan ditetapkan tersangka, sprinhan [surat perintah penahanan] belum ada, kita [akan digugat] praperadilan,” lanjutnya.
Namun, kata Suryanto, pemulangan Yohanes tak berarti proses hukum kasusnya dihentikan.
“Jadi bukan dilepaskan, dia [Yohanes] wajib lapor,” katanya.
Ia berkata pihaknya menunggu keterangan para saksi, termasuk saksi ahli dari BBKSDA yang akan disampaikan pada 24 Maret.
“Anggota [polisi] hari ini baru ke TKP, nanti cek dulu di situ, barang buktinya di situ benar enggak, dicek pakai google map [apakah] wilayah itu bukan tanah [ulayat],” katanya yang mengklaim turun lokasi bergantung pada kesiapan petugas BBKSDA.
Bukan Kasus Pertama
Ketua Pelaksana Harian Aliansi Masyarakat Adat Nusantara [AMAN] Nusa Bunga, Maximilianus Herson Loi, yang mendampingi warga bertemu BBKSDA pada 21 Maret menyesalkan penangkapan Yohanes karena petugas tidak mempertimbangkan status wilayah tersebut yang kini tengah diidentifikasi sebagai wilayah hukum adat.
“Selama proses identifikasi berjalan, mestinya penangkapan tidak boleh terjadi,” katanya.
Identifikasi yang dimaksud Herson adalah tahap pertama sebelum verifikasi dan validasi kawasan hukum adat yang kini sedang berjalan di Wilayah adat Gendang Ngkiong dan Lawi.
Proses itu, kata dia, dilakukan oleh Panitia Masyarakat Adat yang dibentuk melalui Surat Keputusan Bupati Manggarai Timur Nomor HK/57/Tahun 2021 tentang Pembentukan Panitia Masyarakat Hukum Adat di Kecamatan Lambaleda Timur.
“BKSDA adalah salah satu unsur dalam panitia masyarakat adat Manggarai Timur, dan tugas panitia, selain identifikasi, verifikasi dan validasi adalah juga menyelesaikan persoalan-persoalan yang menyangkut tata batas ulayat dan hutan itu,” katanya.
“Mestinya dalam proses itu, penangkapan terhadap masyarakat harus dihentikan dulu sampai ada validasi apakah itu betul kawasan hutan atau tanah ulayat,” lanjut Herson yang juga menegaskan “Kabupaten Manggarai Timur sudah punya peraturan daerah yang khusus mengatur terkait eksistensi masyarakat adat.”
Proses identifikasi, verifikasi dan validasi wilayah hukum adat di kawasan itu berhubungan dengan dengan sengketa berdekade terkait perbedaan klaim lahan ulayat oleh warga adat dan kawasan TWA Ruteng oleh BBKSDA.
Penangkapan Yohanes terjadi belum setahun setelah Mahkamah Agung [MA] memutuskan Mikael Ane, warga lainnya dari Ngkiong, tidak bersalah dalam kasus pembangunan rumah di wilayah itu.
Mikael, 58 tahun, yang ditangkap pada 28 Maret 2023 dan divonis penjara oleh Pengadilan Negeri Ruteng pada pada 5 September 2023, dibebaskan MA karena dinyatakan tidak melakukan pelanggaran pidana, kendati putusan kasasi Pengadilan Tinggi Kupang pada 22 November 2023 menguatkan putusan PN Ruteng.
Pada 2004, konflik di wilayah itu sempat menuai pertumpahan darah ketika warga memprotes langkah pemerintah membabat tanaman kopi di wilayah Colol.
Polisi kala itu menembak mati empat petani yang menggelar unjuk rasa di Ruteng. Tujuh orang lainnya luka parah dan cacat permanen hingga kini.
Pada 2013, BBKSDA NTT sempat merumuskan upaya penyelesaian masalah tapal batas ini dengan “Konsep Tiga Pilar” yang melibatkan tiga pihak-Gereja Katolik, Masyarakat Adat dan Pemerintah.
Konsep itu mengedepankan soal musyawarah untuk membahas masalah sengketa tapal batas.
Konsep Tiga Pilar ditandatangani perwakilan masyarakat adat, perwakilan media, perwakilan lembaga swadaya masyarakat, Uskup Ruteng saat itu, Hubertus Leteng, Bupati Manggarai saat itu, Christian Rotok dan Kepala BBKSDA NTT, Wiratno.
Namun, hingga kini belum ada tindak lanjut dari konsep itu.
Herson berkata, kasus yang dialami Mikael seharusnya menjadi dasar pertimbangan BBKSDA maupun polisi dalam penangkapan Yohanes Emas.
“Kalau Mikael dinyatakan tidak melakukan pelanggaran pidana oleh Mahkamah Agung, mestinya sama dengan kasus Yohanes ini, karena dia mengambil kayu dan membangun rumah di lahan ulayat masyarakat adat,” katanya.
Editor: Ryan Dagur