Diskusi Film “Ingatan dari Timor,” Mahasiswa dan Kaum Muda di Ruteng Rawat Ingatan Kolektif, Lawan Penghapusan Sejarah

Film ini menjadi bukti bahwa suara korban dan kebenaran sejarah tidak boleh dikubur oleh narasi kekuasaan, kata pembicara dalam diskusi

Floresa.co – Mahasiswa dan kaum muda di Ruteng, Kabupaten Manggarai, NTT menggelar nobar dan diskusi film Ingatan dari Timor yang merekam sejarah kelam pelanggaran hak asasi manusia (HAM) selama pendudukan Indonesia di Timor-Leste.

Acara tersebut digelar hybrid dari markas kolektif kaum muda Rumah Baca Aksara di Langgo, Ruteng pada 2 Agustus.

Ingatan dari Timor yang diproduksi Nobar Film dan Watchdog mengisahkan upaya seorang mahasiswa Indonesia menggali ingatan tentang tragedi kemanusiaan di Timor Leste lebih dari dua dekade lalu yang selama ini dihapus dari buku pelajaran sejarah Indonesia.

Aurelia Papur, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta yang menjadi salah satu pembicara dalam sesi diskusi menilai film itu penting bagi masyarakat untuk menyadari hak atas kebenaran (right to truth) dan hak untuk mengetahui sejarah bangsa. 

“Film ini menjadi alat perlawanan terhadap lupa kolektif dan penghapusan sejarah (oleh) negara. Film ini menghidupkan kembali suara-suara yang selama ini dikubur oleh narasi tunggal kekuasaan,” katanya.

Film tersebut secara umum menyoroti berbagai pelanggaran HAM, ketidakadilan, pemerkosaan massal yang dilakukan sistematis, termasuk genosida di Timor Leste pada masa pendudukan Indonesia pada 1975 hingga pergolakan menuju dan pasca-referendum pada 1999.

Cantika Manteiro, mahasiswi di Universitas Katolik Indonesia (Unika) St. Paulus Ruteng menyoroti kontradiksi antara patriotisme palsu yang didengung-dengungkan di Indonesia selama dan setelah konflik itu dengan ketahanan warga Timor Leste dalam merawat luka masa lalu. 

Dengan dalih patriotisme, kata dia dalam diskusi tersebut, “negara menarasikan sejarah yang manis,” kendati sebenarnya hal itu merupakan upaya untuk membungkus bangkai busuk kekejaman di masa lalu.

“Kita diajarkan untuk mencintai negara, tetapi tidak diajarkan untuk bersikap kritis dalam mengelola hal atau informasi yang sebenarnya,” katanya.

“Kita diajarkan untuk tunduk pada sistem yang kaku dan ambigu serta didoktrin untuk memihak tanpa tahu konteksnya,” tambahnya. 

Karena itu, kata Cantika, hal semacam ini perlu diretas agar tidak menyimpan sejarah yang cacat bagi generasi mendatang.

Ia mengajak kaum muda untuk berani menggugat dan menelisik kembali kisah kelam yang sengaja disembunyikan oleh negara.

Ia juga mengajak kaum muda untuk meluruskan narasi sejarah yang selama ini dibungkam. 

“Kita harus berani mempertanyakan kebenaran sejarah dan menentang sistem pemerintahan yang menjajah serta membuka mata bagi korban,” katanya.

Sementara itu, Trisno Arkadeus, narasumber lain dan rekan Cantika di Unika St. Paulus berkata, pengungkapan kebenaran sejarah kelam sangat penting demi tercapainya keadilan bagi korban sekaligus sebagai langkah awal menuju rekonsiliasi. 

Tanpa pengakuan terhadap kesalahan masa lalu, kata dia, mustahil mewujudkan keadilan yang hakiki. 

Ia mengajak peserta diskusi menjadikan film tersebut sebagai cermin untuk melihat sikap pemerintah yang seringkali mengabaikan korban pelanggaran HAM.

“Jika kita gagal belajar dari sejarah, kita akan terus mengulangi kesalahan yang sama,” katanya.

Aurelia menambahkan, film itu juga mengingatkan bahwa suara korban dan kebenaran sejarah tidak boleh dikubur oleh narasi kekuasaan. 

“Mengakui luka sejarah bukanlah tanda kelemahan, melainkan langkah berani menuju perdamaian yang lebih bermakna,” katanya.

Timor-Leste merupakan wilayah jajahan Portugis sebelum Indonesia melakukan invasi pada 1975, membuat wilayahnya menjadi salah satu dari 27 provinsi dengan nama Timor-Timur.

Namun, wilayah yang berbatasan darat dengan Provinsi NTT itu terus bergolak dan meninggalkan jejak berdarah pelanggaran HAM hingga mencapai referendum pada 1999.

Periode pasca-referendum dimulai setelah pengumuman jajak pendapat pada 4 September 1999. Konflik terus bergolak terutama antara kelompok pro kemerdekaan dan kelompok pro integrasi yang dikenal dengan milisi Mahidi (Mati Hidup dengan Indonesia). Kelompok ini memiliki hubungan dekat dengan TNI.

Periode ini dikenal dengan “Operasi Bumi Hangus,” karena TNI dan kelompok paramiliter pro integrasi menghancurkan infrastruktur di Timor Leste yang dibangun era Soeharto. 

Sedikitnya 1.200 sampai 1.500 orang meninggal dunia, sementara sekitar 2.500 orang dipindahkan secara paksa ke wilayah Timor bagian barat.

Timor-Leste mendeklarasikan kemerdekaan pada 20 Mei 2002. 

Pilihan pemerintahan kedua negara yang mengutamakan relasi bilateral pasca kemerdekaan membuat pembicaraan tentang penegakan hukum kasus pelanggaran HAM dipinggirkan, sehingga tetap menjadi catatan kelam sejarah.

Editor: Ryan Dagur

Solidaritas untuk Kawan Kami, Mikael Jonaldi

Jonal, salah satu jurnalis Floresa, sedang butuh biaya untuk operasi jantung. Kami mengharapkan solidaritas kawan-kawan untuk ikut membantu Jonal

DUKUNG KAMI

Terima kasih telah membaca artikel kami.

Floresa adalah media independen. Setiap laporan kami lahir dari kerja keras rekan-rekan reporter dan editor yang terus berupaya merawat komitmen agar jurnalisme melayani kepentingan publik.

Kami menggalang dukungan publik, bagian dari cara untuk terus bertahan dan menjaga independensi.

Cara salurkan bantuan bisa dicek pada tautan ini: https://floresa.co/dukung-kami

Terima kasih untuk kawan-kawan yang telah mendukung kami.

Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA