Starbucks

Baca Juga

Langkah kakiku yang berat mengiringi jalanku ke pintu rumah. Sebelum benar-benar membenamkan diriku pada pagi buta yang masih cukup menyelimuti aku dalam sisa gelap, aku sedikit berbalik dan memandang Irma yang habis harapan di belakangku.

Aku tak perlu merangkul atau menciumnya. Biarlah aku kuat dan bebas untuk misi terakhirku. Rina aku telah menjaminmu.

06.00 am

Kamis pagi yang cerah secerah beberapa pagi sebelumnya. Kenyataan ini tentu paradoks, karena Januari adalah bulan dimana hujan sebetulnya masih mengguyur Jakarta dan bumi Indonesia yang beriklim tropis.

Aku dan Arif kini berada tepat di depan kedai kopi Starbucks. Secercah cahaya surya menyembul dari ufuk timur bumi. Starbucks, kedai kopi klasik dengan rasa kopi membius belum dibuka. Perlu setengah jam lagi kedai kopi terkenal di seantero Jakarta ini dibuka.

Sejenak, aku memandang wajah Arif. Keberanian yang keruh namun meyakinkan lahir dari biji matanya. Aku yakin dia juga telah melewati pergulatan panjang sebelum ikut menuntaskan misi terakhir ini.

Kami hanya perlu menuntaskan misi terakhir ini sebelum menikmati babak tertinggi perjuangan kami.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kawan-kawan bisa berdonasi dengan cara klik di sini.

Terkini