Oleh: DONI KOLI
03.00 am
Waktu penghabisanku hampir tiba. Tinggal sejumput jejak lagi dan aku akan sampai pada babak tertinggi pencarianku selama ini.
Aku hanya perlu menuntaskan misi terakhirku. Segala sesuatu telah aku persiapkan. Skema penyerangan dan pengeboman di kedai kopi Starbucks sudah terencana sistematis dan apik.
Gerhana matahari semalam jadi simbol alam yang purna meyakinkanku bahwa aku akan berhasil memenangkan perang pamungkasku.
Isteriku, Irma, sedang duduk resah di atas tempat tidur. Anak lelakiku satu-satunya, Mino, yang baru berusia dua tahun sedang tertidur pulas di sampingnya. Pagi ini jadi kesempatan terakhir aku menyaksikan pemandangan ini.
“Irma, kuatkan dirimu. Tak usah kau berat hati akan daku”.
“Ama sayang. Usai saja misi gilamu ini. Apakah tak ada cara lain selain harus melakukan perbuatan keji ini?”.
Kamu tak tahu Rina, ini pembunuhan suci. Pembunuhan suci yang akan memenangkan aku.
“Tidak Irma. Tak usah kau ragukan lagi niat matangku ini. Hanya dengan cara ini aku dapat mencapai kebahagiaan tertinggi”.
Irma tak menjawab lagi. Aku tahu cinta Irma akanku amat tulus. Ia menerima aku apa adanya, termasuk saat aku membeberkan latar-belakang kehidupanku yang unik sekaligus kontroversial.
Aku memang terlalu egois untuk meninggalkannya sekarang. Tapi, konsekuensi paling logis dari pencarian finalku tidak bisa terhindarkan. Aku beranjak berdiri dan menyabet tas ransel yang cukup berat. Kecupan terakhir aku berikan pada Mino. Dia adalah mutiara indah dalam hatiku, dalam raganya mengalir darah dan dagingku.