Nietzsche, Kematian Tuhan dan Gereja Kita

Gott ist tot! Gott bleibt toto! Und wir haben ihn getoter!)

Tuhan telah mati! Tuhan tetap mati! Dan kitalah yang membunuhnya!

Inilah ungkapan Nietzsche (1844-1900) yang termasyur dalam Thus Spoke Zarathustra –ditulis pada periode akhir masa hidupnya (1988).

Kalau umat Kristiani melihat kematian Tuhan Yesus Kristus sebagai jalan penebusan, tidak demikian bagi filsuf Jerman yang memang dikenal sebagai penantang fundasi Kristianitas dan moralitas tradisional ini. Melalui ungkapan “Tuhan sudah mati”, ia memang ingin hidup tanpa Tuhan. Menurutnya, manusia akan menjadi lebih kreatif tanpa adanya Tuhan.

Tentu keinginan Nietzsche itu bukan tanpa alasan. Di tahun-tahun ia hidup, pandangan tentang Tuhan cukup mengkuatirkan. Tuhan di tangan kaum hierarki gereja yang kaku, misalnya, lebih menggambarkan Tuhan para hierarki. Tuhan menjadi sosok yang lebih menghukum dan perlu ditaati daripada Tuhan yang penuh cinta dan Maha Pengampun.

Tuhan lantas menjadi ke-manusia-manusia-an atau Tuhan antrophomorfistik. Dan manusia, salah satunya Nietzsche, akhirnya tidak melihat Tuhan pada dirinya sendiri. Tuhan yang mestinya selalu penuh misteri dan tak pernah habis terdefinisikan berhasil didefinisikan secara kaku oleh para pengkhotbah, kaum biarawan-biarawati, hierarki, dan umat yang hidup saat itu, entah melalui doktrin-doktrin keagamaan atau dalam ungkapan sehari-hari.

Jelas bahwa ini adalah kritikan yang disampaikan kepada kaum fundamentalis agama. Orang yang terlalu “dekat” dengan Gereja atau mendarahdagingkan doktrin-doktrin bisa paling cepat mengadili orang lain; menyamakan suaranya dengan suara Tuhan, menganggap kemarahan dan ketidaksenangannya sebagai kemarahan dan ketidaksenangan Tuhan.

Di zaman Nietzsche itu, juga kelihatan jelas, orang yang “mabuk” karena agama memang benar-benar lebih berbahaya daripada orang yang mabuk karena alkohol. Pembunuhan, misalnya bisa dibenarkan atas nama agama. Tak salahlah jika Nietzsche lantas menyamakan saja Gereja dengan kuburan Tuhan.

“Masih diceritakan lagi bahwa pada hari yang sama si orang sinting itu masuk ke dalam berbagai gereja di mana ia mulai menyanyikan Requiem Aeternam Deo [Istirahat kekal bagi Tuhan]. Ketika dilemparkan keluar dan harus menjelaskan alasannya, ia menjawab, ‘Gereja-gereja itu apa, sih, kalau bukan rongga-rongga dan kuburan-kuburan Tuhan,” demikian Nietzsche.

Dari latar belakang itu, bisa ditafsir bahwa ungkapan “Tuhan sudah mati” merupakan suatu sindiran yang dialamatkan kepada, salah satunya, kaum beragama. Nietzsche paham bahwa Tuhan sebetulnya tidak dapat mati. Kalau Tuhan dapat mati, itu bukan Tuhan lagi. Maka kalau dikatakan “Tuhan sudah mati” mencerminkan suatu sikap antipati yang sudah kelewat batas karena kekecewaan yang mendalam.

Dari sinilah pesan penting bisa ditarik oleh kaum Kristiani terutama pada saat merayakan hari wafat Yesus Kristus pada Jumat Agung ini.

Dosa apakah yang harus dikuburkan bersamaan dengan kematian Yesus hari ini? Tuhan Yesus macam apakah yang wafat hari ini?

Tentu jawabannya adalah kebalikan apa yang disampaikan Nietzsche. Kalau orang-orang seperti Nietzsche, agama pernah ditakuti dan bahkan sepertinya percaya kepada Tuhan membuat orang tidak berkembang dengan baik, kini perlu mengembalikan agama pada tempatnya. Di Gereja perlulah setiap orang merasa nyaman, aman, dicintai, mendapat peneguhan dan berkembang dengan baik.

Gereja demikian pernah ada pada abad pertama. Gereja identik dengan orang-orang yang berkumpul, berdoa dan mengadakan perjamuan bersama. Mereka melihat diri setara karena saudara dalam iman. Tak ada istilah tuan dan budak. Tak ada yang penghormatan berlebihan terhadap sesama. Sebaliknya, dalam situasi penderitaan, mereka saling berbagi. Kekurangan satu orang menjadi masalah bersama (bdk. I Korintus 11). Karenanya saling berbagi dan peduli adalah karakter paling menonjol dari komunitas jemaat perdana itu.

Bukankah kehidupan yang demikian diidam-idamkan Nietzsche? Ketika adanya Tuhan tidak serta-merta membuat kita tidak bebas mengembangkan diri. Adanya Tuhan justru membuat kita cepat bertindak menolong sesama, menganggap yang lain setara dan mudah memperlihatkan solidaritas kepada sesama yang menderita.

Jika kenyataannya demikian, sesungguhnya Tuhan tidak pernah mati. Kematian Yesus bukanlah kematian Tuhan. Tanpa harus disalibkan, Yesus sebagai manusia toh pada akhirnya mati—Tuhan tidak pernah mati,kalau mati itu bukan Tuhan, karena Tuhan adalah kekal—Jadi melalui kehidupan dan kematian Yesus kita sebetulnya perlu belajar merendahkan diri sebagaimana dirinya yang merendahkan diri dari tahta keilahian menjadi manusia biasa sampai pada titik semenderita-menderitanya.

Dengan demikian, yang harusnya mati dan dikuburkan bersamaan dengan kematian Yesus adalah ambisi kita untuk selalu ingin menjadi “tuan” terhadap sesama dalam kehidupan sehari-hari. Kita yang ingin ditaati, dihormati, dilayani dalam kehidupan menggereja.

Sebab ketika ingin ditaati, dihormati, dan dilayani, kita memberikan kesaksian buruk kepada orang lain. Apalagi ketika semua keinginan untuk ditaati, dihormati, dan dilayani itu disampaikan atas nama Tuhan.

Di situlah sesungguhnya Tuhan mati dan kita adalah pembunuhnya!

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini